sorry, artikel ini dapet dari mana.... kalo saya baca, kayaknya si penulis banyak mengangkat ayat dan hadits tapi cuman untuk pelengkap tulisannya aja tanpa ngerti isi dan maksudnya. yang saya tangkep dari tulisan ini, isinya cuman opini pribadi, dari prasangka buruk mengenai kedudukan wanita dalam islam. kalo buat saya sih, tulisan ini cuman nambah wawasan aja, bahwa ternyata ada orang2 yg berpendapat seperti ini. soalnya yang saya tau, islam datang itu meninggikan derajat perempuan yang pada jaman jahiliyah dulu sangat direndahkan oleh laki2. contohnya, di artikel ini, dibilang membolehkan poligami adalah salah satu bukti bahwa kedudukan wanita direndahkan oleh agama (dalam hal ini pasti Islam lah ya), padahal dulu ayat itu turun, karena orang2 arab jahiliyah biasa punya istri sampe lebih dari 10 tanpa memperhatikan nafkah lahir batinnya. makanya Islam membatasi boleh sampe 4, tapi harus adil.
mudah2an yg lain juga gitu, jadinya ngga ikut2 kebawa berburuk sangka kepada ajaran Islam dalam hal kedudukan wanita khususnya, dan ajaran Islam keseluruhan pada umumnya. salam, papa dewa ------------------------------ Striving for Excellence ------------------------------ ----- Original Message ----- From: "ika" <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Wednesday, September 17, 2003 6:05 PM Subject: [balita-anda] OOT: Tentang Sunat Perempuan Ini benar2 OOT ya.... mumpung ada yang nanya tentang sunat perempuan. Artikel ini saya ambil dari webnya RAHIMA, Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan.. Ika Merayakan Seksualitas Perempuan "Seseorang tidak akan sampai pada cinta Tuhan yang sejati, sebelum merasakan cinta yang sejati terhadap (dari) perempuan". Ujaran yang cukup terkenal di kalangan sufi cinta [tashawwuf al-'ishq] ini, mengisyaratkan betapa agungnya perempuan. Cinta Tuhan hanya didapat dengan cinta perempuan. Tetapi di saat yang sama ia mencitrakan perempuan sebagai obyek cinta, bukan yang sebaliknya. Ujaran ini, yang lebih tepat dikatakan sebagai pemeo, sangat mudah dicari padanannya dalam pemikiran keagamaan, dari semua agama termasuk Islam. Perempuan diagungkan, tetapi di saat yang sama dinistakan dengan dijadikan obyek atas berbagai kepentingan di luar dirinya. Dalam hal seksualitas, 'agama' tidak memberikan hak kepada perempuan sebagai mahluk yang independen, atau setidaknya sama seperti laki-laki. Baik seksualitas perempuan dalam maknanya sebagai identitas diri (self identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), maupun orientasi seksual (sexual orientation). Salah satu contoh, dalam pemikiran fikih ada perbedaan pandangan apakah seorang isteri memiliki hak untuk menikmati (baca: meminta) hubungan seks dari suami. Bahkan ada pandangan bahwa suami tidak berkewajiban melayani keinginan seksualitas isteri. Berbeda dengan hasrat suami yang jika tidak dilayani oleh isteri maka sang isteri akan dilaknat oleh malaikat, seksualitas perempuan hanyalah pelengkap dari seksualitas laki-laki. Ia hanya ada bagi kepentingan di luar dirinya. Ia harus dikontrol, bahkan disembunyikan dan dipendam karena bisa mengancam kepentingan-kepentingan yang lain. Berawal dari Khitan Ketika khitan perempuan dianggap sebagai perbuatan mulia, ia sebetulnya telah menjadi awal dari kontrol terhadap seksualitas perempuan. Perempuan tidak memiliki hak atas seksualitasnya. Padahal dalam analisis dalil [argumentasi], seperti dikatakan oleh Ibn Hajar al-'Asqalani, Asy-Syawkani, Muhammad Syaltut, Sayyid Sabiq, Wahbah Az-Zuhaili dan Anwar Ahmad, tidak ada satupun teks hadis yang valid [shâhih] sebagai dasar hukum khitan perempuan. Tetapi ulama-ulama madzhab bersikeras menyatakan bahwa khitan perempuan setidaknya adalah perbuatan mulia, untuk tidak mengatakan wajib seperti yang dinyatakan oleh mazhab Syafi'I (Lihat: al-'Asqallani, Fath al-Bari, 1993: XI/530. Asy-Syaukani, Nayl al-Authar, I/138. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 1987: I/36 dan az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, 1989: III/642). Argumentasi yang diajukan untuk mendukung syari'at [perbuatan] khitan, semuanya mengarah kepada khitan laki-laki. Khitan sebagai ajaran yang baik [millah] yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim atas dirinya, adalah khitan laki-laki. Juga argumentasi bahwa khitan akan memudahkan membersihkan sisa kotoran (baca: air kencing) dari kelamin, membuat seseorang secara medis menjadi lebih sehat, menambah kenikmatan dan memperlama hubungan intim seseorang. Semua ini adalah argumentasi bagi mendukung khitan laki-laki, bukan khitan perempuan. Sebaliknya, khitan pada perempuan tidak ada kaitannya dengan kebersihan kelamin, atau menjadi lebih sehat. Justru bisa menjadi sangat negatif dari sudut kebutuhan seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat. Karena ujung klentit adalah organ seks perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan dan rangsangan bagi kenikmatan seksual perempuan. Dengan mengkhitan ujung klentit, daerah erogen (sensitif) akan berpindah dari muka (clitorus) ke belakang (liang vagina). Rangsangan perempuan akan berkurang, gairahnya lemah, dan susah memperoleh kenikmatan (orgasme) ketika hubungan kelamin. Apalagi praktik khitan yang sampai memotong bibir kecil (labia minora), yang terjadi di beberapa tempat di Afrika, sering menimbulkan trauma psikologis. Praktek ini membuat perempuan tidak dapat menikmati hubungan seksual sama sekali (lihat: Elga Sarapung, Agama dan Kesehatan Reproduksi, 1999: 118). Ketika argumentasi teks tidak ada, maka pemuliaan khitan perempuan oleh agama, hanya bisa dipahami melalui paradigma pengontrolan seksualitas perempuan. Agama ikut mengontrol seksualitas perempuan. Mulai dari ajaran kesucian (baca: keperawanan) perempuan yang harus dipertahankan, bahkan harus memiliki tanda kesucian (baca: selaput dara) pada awal perkawianan. Untuk itu, sebaiknya ia tidak memiliki organ yang mudah terangsang, sehingga tidak mudah tergoda dan tergelincir dalam kenistaan yang merusak kesuciaanya. Sebagai istri ia harus siap melayani kebutuhan seksual suami kapan saja, sementara ia sendiri tidak dianjurkan meminta kepada suaminya, apalagi menuntut kepuasan dan kenikmatan seksual. Perempuan juga harus siap menerima perlakuan poligami dari suaminya yang menuntut kesiapan psikologi agar tidak agresif dalam kehidupan seksual. Untuk tujuan itu semua, setiap komponen budaya harus mengkondisikan perempuan agar siap menerima beban di atas, diantaranya dengan mendukung praktik khitan perempuan yang akan mengarah kepada kepasifan seksualnya. Tepatnya mengontrol seksualitas perempuan untuk kepentingan seksualitas laki-laki. Khitan perempuan tidak memiliki dasar teks yang valid, alasan medis yang kuat dan tidak sesuai dengan rasionalitas kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan, maupun konsep 'mu'âsyarah bil ma'rûf' dalam perkawinan. Karena itu, atas nama agama dan kemaslahatan, khitan seharusnya tidak bisa lagi dilanjutkan. Dalam pandangan Al-Mawardi, khitan itu hanya diperbolehkan jika mendatangkan kemaslahatan. Jika tidak, ia sama dengan melukai (baca: memotong) anggota tubuh yang hukum asalnya adalah haram (lihat: al-'Asqallani, Ibid). Karena Tubuh Perempuan itu Fitnah Dalam pemikiran keagamaan banyak sekali anjuran, berupa perintah dan larangan, yang hanya berkaitan dengan perempuan. Hanya karena identitas seksya adalah perempuan. Perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa alasan, tanpa ditemani kerabat dekat [mahram], harus menutup rapat seluruh tubuhnya, tidak diperkenankan berhias untuk umum, diharamkan menyambung rambut, mencukur alis, menggambar di tubuhnya, bersuara lantang, memimpin (menjadi imam) shalat, diharuskan berkabung atas kematian suami selama empat bulan sepuluh hari dan perintah-perintah lain yang hanya ditujukan kepada perempuan.Tumpukan perintah dan larangan ini bisa ditarik benang merahnya pada pandangan 'figur perempuan sebagai penggoda'. Dalam bahasa fikihnya, (tubuh) perempuan adalah fitnah dan seksualitasnya mengancam [dharar] stabilitas sosial keagamaan umat. Di satu sisi, kekhawatiran terhadap fitnah ini memicu lahirnya aturan-aturan yang mengekang kebebasan perempuan, di sisi lain menghargai perempuan hanya sebatas orientasi fitnah, dengan makna-maknanya yang erotis dan sensual. Dalam kitab 'Uqûd al-Lujayn, Syeikh Nawawi (1230-1314H/1813-1897M) menyitir sebuah hadis: "Perempuan adalah perangkap bagi setan (untuk menggoda manusia). Andaikata syahwat (baca: libido) ini tidak ada, niscaya perempuan tidak punya kuasa (baca: posisi) di mata pria". (lihat: FK3, Wajah Baru Relasi Suami Isteri, 2001, 154). Karena itu, kriteria perempuan yang baik [shâlih] tidak terlepas dari penilaian sejauh mana ia bisa mengecilkan potensi-potensi fitnah itu di hadapan masyarakat, di saat yang sama ia bisa menawarkan fantasi fitnah tersebut di hadapan suaminya. Seperti yang disebut dalam hadis shahih bahwa: "Perempuan yang shalih adalah perempuan yang jika dilihat oleh kamu (suami) menyenangkan, jika diperintah bersedia melaksanakan, jika ditinggalkan mau menjaga dirinya dan harta suaminya" (Hadis Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i, lihat: FK3: Op. Cit, hal. 47-48). Identitas perempuan ada pada fitnah (baca: sensualitas) tubuhnya. Dalam relasi suami isteri menurut fikih, kewajiban isteri hanyalah memberikan kesempatan [tamkîn] bagi suami untuk menikmati tubuhnya. Kapan saja suami berkeinginan dan di mana saja. "Ketika suami mengajaknya berhubungan intim, isteri harus memenuhinya sekalipun ia sedang di dapur atau di punggung unta", dalam suatu hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi Turmudzi (Sunan Turmudzi, no. hadis, 1160, III/465). Bahkan: "Ketika suami mengajaknya berhubungan intim, kemudian ia menolaknya, sehingga suami tidur dengan penuh kegundahan, ia dilaknat oleh para malaikat sampai pagi", riwayat al-Bukhari (Shahih Bukhari, no. hadis: 3065 dan 4898). Dalam suatu riwayat, Rabi'ah al-'Adawiyyah setiap malam selalu berhias, memakai pakaian yang indah, menyemprotkan wewangian ke tubuhnya, lalu menawarkan dirinya ke suaminya. "Silahkan, aku persembahkan tubuhku untukmu". Jika suami tidak berminat, ia lepas semua pakaian indahnya, ia cuci tubuhnya dari wewangian, lalu menghadap Allah Swt. Ia mendirikan sembahyang dan berdzikir sepanjang malam (lihat: FK3: Op. Cit. 181-182). Demikian tugas inti perempuan; mempersiapkan tubuhnya untuk dinikmati suaminya. Perempuan itu fitnah, yang dinilai darinya adalah fantasi fitnahnya. Karena ia fitnah yang akan menggiurkan orang lain, ia harus dijinakkan sejak di dalam rumah, sebelum kemudian dijinakkan oleh aturan dan norma-noram sosial. Fitnah (baca: hasrat seks perempuan) yang dijinakkan ini, pada akhirnya dianggap sebagai sebuah kenyataan. Bahwa seksualitas perempuan itu sudah terjinakkan atau pasif, tidak seperti laki-laki yang agresif. Karena kepasifannya, perempuan tidak memliki hak untuk mengaktualisasikan hasrat seksualitasnya. Bahkan dalam relasi suami-isteri, hasrat seksual perempuan diukur tidak dari dalam dirinya. Hasrat seksualnya diukur dari kesanggupan dan kemungkinan waktu yang dimiliki laki-laki. Dalam fikih, ada beragam pendapat tentang hak perempuan untuk memperoleh layanan seksual dari suaminya. Ada yang mengatakan sekali dalam empat hari, dengan asumsi seorang laki-laki memiliki empat isteri dan setiap isteri berhak giliran satu malam. Ada yang mengatakan satu bulan sekali, ada yang empat bulan sekali dan ada yang menyatakan bahwa isteri hanya berhak menuntut satu layanan selama perkawinan. Alasannya, layanan seksual dari suami itu tergantung hasrat seks darinya. Hasrat seks tidak bisa dipaksakan, atau ditentukan dengan batasan-batasan waktu. Apalagi hasrat seks laki-laki tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan. Laki-laki yang tidak berhasrat, penisnya tidak bisa ereksi, sehingga tidak mungkin melayani kebutuhan isterinya. Potensi fitnah dianggap -oleh pemikiran keagamaan- secara inheren melekat pada perempuan. Domestifikasi perempuan, lahir dari anjuran perlindungan masyarakat dari fitnah perempuan. Dalam sebuah riwayat hadis: "Setiap perempuan yang keluar rumah, akan diikuti setan sambil menghembuskan bisikan: goda ini, bujuk itu. Dalam setiap langkahnya lahir setan-setan penggoda. Dalam setiap ayunan tangannya keluar setan-setan penyesat". "Shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di mushalla kampungmu, dan shalatmu di mushalla kampungmu lebih baik dari shalatmu di masjidku (Nabi)" (Riwayat Ahmad, VI/371). Bahkan diriwayatkan: "Shalat perempuan yang paling dicintai Allah, adalah di tempat yang paling gelap di dalam rumahnya" (Riwayat Ibn Khuzaimah, at-Targhib, I/227 dan al-Baihaqi, III/131). Karena kekhawatiran fitnah perempuan yang akan merusak tatanan masyarakat, perempuan tidak disarankan untuk keluar rumah tanpa keperluan. Kalaupun harus keluar, sebisa mungkin tidak sendirian. Karena kehadiran tubuh perempuan di tengah masyarakat dengan sendirinya menggoda mereka. Masyarakat akan terangsang, tergoda dan mungkin bangkit melakukan sesuatu terhadap tubuh perempuan. Anjuran tidak keluar rumah terhadap perempuan, disamping melindungi masyarakat dari fitnah tubuhnya, juga melindunginya dari fitnah dirinya yang ditimbulkan terhadap mereka. Pemikiran keagamaan yang cenderung melarang perempuan untuk memimpin shalat, memegang jabatan publik, maupun memimpin negara, juga banyak dipengaruhi stigma 'perempuan adalah fitnah'. Dalam pemikiran ini, kehadiran tubuh perempuan di depan jama'ah shalat, dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyu'an dan membuyarkan konsentrasi mereka dalam menghadap Allah. Tubuh-tubuh perempuan juga tidak diharapkan duduk dalam jabatan-jabatan publik, karena kehadirannya hanya akan menggoda masyarakat dan memalingkan perhatian mereka dari tugas-tugas yang semestinya mereka kerjakan. Seksualitas perempuan, dalam pemikiran keagamaan dianggap fitnah yang membahayakan. Baik terhadap dirinya, maupun orang lain. Dalam peringatan yang dinyatakan oleh Nabi: "Tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan". (Riwayat al-Bukhari, no. hadis:4808). Dalam riwayat Abu Hurairah lebih tragis lagi: "Sumber kesialan [syu'm] itu ada tiga: perempuan, rumah dan kuda", (Riwayat Bukhari. Lihat: al-'Asqallani, VI/150-152). Demikianlah, bangunan pemikiran keagamaan (baca: fikih) menyangkut relasi perempuan dengan dirinya, laki-laki pasangannya, atau dengan masyarakatnya, didirikan atas dasar pandangan bahwa perempuan adalah fitnah dan sumber kesialan. Fikih 'amanah' versus fikih 'fitnah' Fikih 'relasi laki-laki dan perempuan' yang dikembangkan atas dasar anggapan bahwa perempuan itu fitnah, saat ini tidak layak lagi dilestarikan. Fitnah adalah kata yang terkait dengan kondisi dan situasi tertentu. Fikih fitnah muncul dalam situasi sosial yang penuh dengan gejolak, kecurigaan, ketakutan dan kewaspadaan. Biasanya, orang yang memiliki posisi paling lemah di masyarakat yang akan dikenakan banyak aturan, demi kewaspadaan dan perlindungan sosial. Dalam hal ini, perempuan akan banyak dikontrol atas nama perlindungan daripada laki-laki. Saat ini, dalam masyarakat kedamaian yang harus dikembangkan adalah fikih 'amanah' bukan fikih 'fitnah'. Dalam masyarakat damai, format hukum -termasuk fikih- tidak lagi harus didasarkan pada kecurigaan atau ketakutan satu dari yang lain. Tetapi pada moralitas tanggung jawab, atau tepatnya fikih 'amanah'. Yaitu fikih yang mengembangkan norma-norma yang mendasar pada nilai-nilai tanggung jawab, kebersamaan dan saling pengertian dan penghargaan. Yaitu fikih yang dibangun atas prinsip-prinsip kemaslahatan bersama, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan untuk semua. Seperti yang dinyatakan Ibn al-Qayyim al-Jawzi (w. 751H). Berbeda dengan hadis yang secara sepihak menganggap perempuan sebagai fitnah, dalam al-Qur'an kata fitnah adalah muncul sebagai relasi timbal balik. Di dalam al-Qur'an kebaikan adalah fitnah, keburukan juga fitnah (QS. Al-Anbiya, 35), rasul adalah fitnah bagi kaumnya (QS. Ad-Dukhan, 49) dan kaumnya adalah fitnah baginya (QS. Al-Maidah, 5: 49), orang kafir adalah fitnah bagi orang mukmin (QS. Al-Buruj, 85: 10) dan orang mukmin adalah fitnah bagi orang kafir (QS. Al-Mumtahanah, 60: 5), bahkan setiap orang adalah fitnah bagi yang lain, atau sebagian orang atas sebagian yang lain (QS. Al-An'am, 6:53 dan al-Furqan, 25: 20). Karena itu, fitnah tidak hanya melekat pada tubuh perempuan terhadap laki-laki. Tetapi juga melekat pada tubuh laki-laki terhadap perempuan. Pandangan al-Qur'an lebih proporsional bila dibandingkan teks hadis bahwa perempuan adalah fitnah yang paling membahayakan bagi laki-laki. Pandangan yang tanpa ada timbal baliknya, bahwa laki-laki juga fitnah bagi perempuan. Padahal, baik laki-laki terhadap perempuan atau perempuan terhadap laki-laki keduanya sama-sama memiliki potensi fitnah dan pada saat yang sama memiliki potensi maslahah. Stigma fitnah salah satu dari keduanya, tanpa satu yang lain, adalah salah dan tidak sesuai dengan perspektif al-Qur'an. Karena itu, Aisyah ra menolak keras teks hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa tubuh perempuan itu sumber kesialan. Katanya, tidak mungkin teks ini keluar dari mulut Rasul, suaminya. Iapun menyitir ayat: "Tiada bencanapun yang menimpa di muka bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah" (QS. Al-Hadid, 57: 22) (lihat: al-'Asqallani, Fath al-Bari, VI/150-152). Dengan demikian, anjuran-anjuran keagamaan yang didasarkan pada 'fitnah' perempuan harus dipahami substansi persoalannya dan konteks sosialnya. Karena fitnah adalah kata yang sarat dengan muatan-muatan konteks temporer. Misalnya, larangan perempuan keluar rumah tanpa kerabat, harus dipahami sebagai bentuk perlindungan perempuan bukan pengekangan atau pembatasan. Karena itu, ketika seorang sahabat menyampaikan kepada Nabi, bahwa isterinya pergi sendirian menunaikan ibadah haji, Nabi tidak melarang perempuan tersebut. Nabi balik menyarankan kepada sahabat tersebut: "susullah dan temani isterimu". Seksualitas Perempuan yang Maslahah Karena argumentasi fikih fitnah yang tidak lagi kuat, saat ini fikih yang harus dikembangkan adalah fikih kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Sehingga, seksualitas perempuan harus diletakkan pada proporsi yang sebenarnya. Kesempatan harus diberikan kepada perempuan untuk mengartikulasikan seksualitasnya, sama seperti kesempatan yang diberikan kepada laki-laki. Karena perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4: 1), memiliki hasrat seksual, keinginan hidup, cita-cita dan angan-angan yang tidak jauh berbeda. Kehidupan yang baik [hayâtan thayyibah] hanya bisa dibangun dengan kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja positif ['amalan shâlihan](QS. An-Nahl, 16:97). Dalam relasi suami-isteri, fikih yang dikembangkan harus tidak didasarkan pada hegemoni dan diskriminasi satu pihak pada yang lain. Tetapi pada prinsip-prinsip; [1] kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233), [2] tanggung jawab [al-amânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), [3] independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-Baqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20), [4] kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-mawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), [5] perlakuan yang baik antar sesama [mu'âsyarah bil ma'rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), [6] berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. Al-Baqarah, 2:233, Ali 'Imran, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38) [7] dan menghilangkan 'beban ganda' dalam tugas-tugas seharian [al-ghurm bil ghunm]. Prinsip-prinsip ini menuntut keadilan dan kesetaraan dalam segala hal. Misalnya dalam hal menikmati fantasi seksual, perempuan memiliki hak penuh atas kenikmatan-kenikmatan seksual. Sehingga, ketika khitan laki-laki dilakukan untuk kemaslahatan (baca: kesehatan dan kenikmatan biologis) yang kembali kepada dirinya, maka khitan perempuan juga harus dihentikan demi kemaslahatan bagi diri perempuan. Bahkan harus diharamkan, karena ternyata melemahkan seksualitas perempuan sepanjang hidupnya. Dalam realitas medis, perempuan yang tidak dikhitan lebih mudah terangsang dan lebih mudah memperoleh kenikmatan seksual, jika dibandingkan dengan perempuan yang dikhitan. Pengontrolan terhadap seksualitas perempuan harus dihentikan juga pen-subordinasiannya terhadap seksualias laki-laki. Karena ia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan. Seksualitas perempuan tidak lagi harus diukur dari luar dirinya. Karena itu, sesuai dengan konsep 'mu'âsyarah bil ma'rûf'' layanan seksual adalah hak bersama antar suami-isteri. Kenikmatan seksual juga hak bersama, sehingga hubungan intim bukanlah suatu mu'âsyarah yang ma'rûf jika hanya memuaskan satu pihak dan mengecewakan pihak lain. Dalam pandangan fikih Maliki, melayani kebutuhan seksual isteri adalah wajib. Sama wajibnya bagi isteri untuk melayani kebutuhan seksual suami. Kewajiban ini tentu saja relatif tergantung kondisi kedua belah pihak dan selama tidak mengakibatkan keburukan kepada keduanya. Demi kadilan dan kemaslahatan, orientasi fikih dalam hal kasus perkosaan harus memihak kepada korban, yaitu perempuan. Fikih semestinya tidak lagi menganggap seksualitas perempuan sebagai penyebab terjadinya perkosaan, sehingga kasus perkosaan tidak menjadi berbalik kepada perempuan. Fikih diharapkan bisa memunculkan moralitas perlindungan, pelayanan dan tanggung jawab terhadap korban. Sehingga hukum aborsi bagi perempuan korban perkosaan harus dikaitkan dengan semangat perlindungan dan pelayanan. Dengan demikian, perempuan tidak lagi takut dengan seksualitasnya sebagai perempuan. Kecenderungan traumatis juga bisa diminimalisir dari kejiwaan perempuan korban perkosaan. Fikih juga dituntut kearifannya dalam memandang persoalan-persoalan seksual dalam tataran realitas. Misalnya dalam hal orientasi seksual, perilaku yang secara normatif "dipersalahkan" seperti lesbianisme, tidak hanya disalah-salahkan. Yang lebih penting lagi, menumbuhkan pribadi-pribadi yang bertanggung jawab [amanah] dalam berperilaku seksual. Baik tanggung jawab terhadap diri sebagai pelaku, pasangan, maupun masyarakat. Dengan demikian perilaku seksual yang sehat harus dipentingkan. Sehat dalam arti sehat moral, sehat biologis dan psikologis. Fikih 'amanah' adalah fikih yang menebarkan sikap bertanggung jawab dalam hal seksualitas, bukan yang memasang ketakutan-ketakutan di setiap sudut kehidupan. Seksualitas harus dibuka, untuk dipertanggung jawabkan, bahkan harus disyukuri. Dalam suatu seminar, Indriani Bone, seorang teolog perempuan, menyatakan bahwa seksualitas perempuan harus dirayakan (baca: disyukuri). Karena ia terkait langsung dengan reproduksi manusia. Hanya perempuan yang diberikan amanah dari Tuhan untuk mengemban tanggung jawab dan beban reproduksi. Dari tubuh perempuanlah lahir manusia-manusia, awal dari sebuah peradaban. Tanpa manusia, tidak akan ada peradaban. Seksualitas, bagi perempuan, adalah bagian dari rencana-Nya yang harus disyukuri, diafirmasi dan dirayakan. Bukan ditabukan, apalagi dianggap najis. Karena itu, masyarakat harus bertaubat dari pandangan-pandangan yang seksis dan misoginis terhadap seksualitas perempuan. Dalam teologi Islam kondisi sosial yang misoginis merupakan bentuk otoriterianisme kekuasaan yang harus diruntuhkan. Dalam bahasa hadis, menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang otoriter adalah sebaik-baik jihad [afdhal al-jihâd al-qawl al-haqq amâm sulthân jâ'ir]. Dengan kata lain, mendaulatkan seksualitas perempuan dalam kondisi yang otoriter terhadap kedaulatannya adalah perbuatan terpuji. Saatnya seksualitas perempuan tidak lagi dikorbankan untuk kepentingan di luar dirinya. Karena pada prakteknya, akan mengakibatkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang berakibat buruk pada semua. Dalam Islam, semua keburukan dan kerusakan harus disingkirkan dan dilenyapkan [lâ dharara wa lâ dhirâr]. ] Faqihuddin Abdul Kodir --------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]