Sumber:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070710204429

Oleh : Vima Tista Putriana 

10-Jul-2007, 22:13:03 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia Tiga setengah abad berada di bawah penjajahan Belanda 
yang sangat tidak beradab telah membuat bangsa Indonesia tumbuh 
menjadi bangsa yang "rendah diri". Meskipun sudah lebih dari 60 
tahun merdeka, tetapi sindrom "mental bangsa terjajah" ini tetap 
belum hilang. Masih saja merasa diri belum sejajar dengan bangsa 
lain.

Satu contoh sederhana keminderan ini terlihat dari diskriminasi 
tingkat gaji yang sangat tinggi antara expatriate dan anak negeri 
sendiri. Para expatriate di Indonesia digaji 10 kali lipat dari 
orang Indonesia meskipun dengan tingkat pendidikan, kemampuan, 
tanggung jawab dan kinerja yang sama. 

Seorang foreign engineer di Jakarta misalnya, menurut standar 
Bappenas, mendapatkan gaji sekitar US $5.000,00 per tahun. 
Sebaliknya orang Indonesia, dengan kualifikasi sama hanya menerima 
sebesar $500,00 saja. Tidak jarang dalam suatu proyek, meskipun 
dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi semisal MSc atau PHd, 
orang Indonesia digaji tetap lebih rendah dari expatriate yang cuma 
BSc (Rahardjo,2006).

Di samping gaji tinggi, biasanya expatrite juga mendapat berbagai 
fasilitas berlimpah seperti berkantor di kawasan segitiga mas 
(Sudirman, Thamrin dan Kuningan), tempat tinggal di apartemen mewah, 
keanggotan di club-club olah raga dan hiburan elite dan lain-lain. 

Intinya mereka sangat dimanjakan, sehingga tidak salah kalau 
dikatakan Indonesia adalah syurga bagi para expatriate.
Sebenarnya tidak masalah jika expatriate digaji sedemikian tinggi 
jika memang memiliki kemampuan unik yang tidak dimiliki oleh orang 
Indonesia dan betul-betul dibutuhkan. Tetapi jika kemampuan dan 
kinerja sama, lalu digaji lebih tinggi hanya karena statusnya bule, 
sungguh tidak logis menurut cara fakir orang yang berjiwa "merdeka". 

Jika pemerintah atau perusahaan harus membayar mahal hanya untuk 
status ke-bule-an saja, bukankah ini standar yang sangat stupid. 
Ketika jasa seseorang dihargai cuma 1/10 dari koleganya, hanya 
karena dia orang INDONESIA, berarti sungguh malang menjadi orang 
Indonesia.

Mirisnya lagi, yang mengeluarkan standar gaji yang sangat 
diskriminatif ini adalah Bappenas-Pemerintah Indonesia sendiri. 
Berarti pemerintah Indonsia melecehkan rakyatnya sendiri, menganggap 
bodoh bangsanya sendiri. Ini sungguh bertolak belakang dari peran 
yang seharusnya dimainkan oleh pemerintah.

Bukankah pemerintah suatu negara seharusnya menyokong rakyatnya, 
mendorong mereka supaya bisa maju, jika belum mampu difasilitasi 
supaya mencapai kualifikasi sama dengan expatriate. Singkatnya 
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak bangsa untuk bisa 
berkembang dan mengekspolasi potensinya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak selalu yang bernama bule 
lebih pintar dari orang Indonesia. Banyak diantara mereka memiliki 
kemampuan biasa-biasa saja. Malah mungkin di negaranya berada pada 
lapis ke-3 atau 4, tapi di Indonesia mereka disanjung sedemikian 
rupa, mendapatkan posisi yang sangat bagus dan hidup mewah.

Keadaan ini tidak hanya berlaku di dunia bisnis, tetapi juga pada 
proyek-proyek pemerintah. Suatu kali tim peneliti dari UGM mendapat 
tugas membuat perencanaan daerah wisata pulau Jemur, di Kabupaten 
Rokan Hulu Riau. Sebagai arsitek dan perencana local, tim ini hanya 
mendapat dana sebesar 500 juta rupiah untuk jangka waktu 6 (enam) 
bulan. Sementara ada satu kabupaten lain yang lebih percaya pada 
konsultan dari Singapura harus mengeluarkan anggaran sebesar 3 
milyar rupiah. 

Saat hasil penelitian dan perencanaan sama sama dipresentasikan, 
ternyata perencanaan yang dibuat tim peneliti UGM tidak kalah bagus 
dari konsultan Singapura yang dibayar enam kali lipat lebih tinggi. 
Malahan perencaanan UGM terlihat lebih menyentuh apa yang dibutuhkan 
masyarakat karena mereka memadukan dengan metode Partisipatory 
Planning sehinga mereka tahu betul apa keinginan masyarakat. 

Sebenarnya kita sendiri yang menempatkan para expatriate pada posisi 
yang sangat tinggi, menyanjung mereka sedemikian rupa, begitu 
percaya dan yakin mereka lebih baik, dan lebih berkualitas. 
Sebaliknya tidak memberi perlakuan sama kepada bangsa sendiri. 
Secara umum di seluruh dunia, expatriate memang digaji lebih tinggi 
dari pekerja lokal, namun perbedaannya tidak separah di Indonesia. 
Di Silicon Valley misalnya, gaji seorang software engineer 
(expatriate) dua kali pekerja lokal, termasuk jika expatriate-nya 
orang Indonesia (Patriawan, 2006).

Pemerintah Indonesia sepertinya tidak yakin dengan kemampuan 
sendiri. Inilah warisan mental Inlander (sindrom minder, rasa rendah 
diri, dan inferior) dari Belanda (Yulianto, 2007). Padahal fakta 
membuktikan banyak anak-anak Indonesia yang brilliant malah 
dimanfaatkan oleh orang luar negeri. Bukankah banyak jebolan ITB 
yang menjadi enginer-nya perusahan-perusahan minyak dunia di Houston 
misalnya, yang dikenal sebagai kota minyak dunia. Itu membuktikan 
kalau kualifikasi anak Indonesia, sama sekali tidak kalah dengan 
yang bernama bule.

Mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga, dimana potensi 
mereka seharusnya dimaksimalkan untuk membangun bangsa. Yang 
terjadi malah mereka "disia-siakan", dan dimanfaatkan negara lain. 
Bukankah lebih baik memanggil mereka pulang dan memberi penghargaan 
yang sama sebagaimana layaknya expatriate, ketimbang menggaji orang 
asing. Ibarat memberikan sumbangan, lebih baik kepada saudara 
sendiri dahulu baru kepada yang lebih jauh.

Disamping perlunya memberikan kesempatan yang sama kepada putra-
putri dalan negeri sendiri, seharusnya pemerintah sangat berhati-
hati dalam pemakaian expatriate , terutama untuk bidang perencanaan. 
Persoalannya bukan hanya sekedar pembayaran yang jauh lebih tinggi, 
tetapi menyangkut aspek lain yang lebih luas. Perlu digarisbawahi, 
pada proyek-proyek pemerintah, masuknya para expatriate ke Indonesia 
bukan karena sebuah rekruitment terbuka. 

Mereka adalah "AGEN-AGEN" yang dipekerjakan oleh pemerintah dari 
negara mereka, lalu ditempatkan pada lembaga lembaga strategis di 
Indonesia, khususnya dalam bidang-bidang perencanaan.

Sebagaimana diketahui, fondasi dari sebuah pembangunan baik fisik 
maupun mental adalah pada aspek perencanaan. Ketika para expatriate 
berada pada posisi perencanaan, maka dengn mudah mereka menyuntikkan 
virus virus kapitalis didalamnya. Mereka memang sengaja dihadirkan 
melalui proyek- proyek besar yang didanai oleh negara-negara asing. 
Ini adalah dampak negatif bagi bangsa Indonesia yang perlu 
diwaspadai oleh pemerintah.

Karena itu, perlu adanya perubahan paradigma yang menganggap bangsa 
asing (bangsa berkulit putih) lebih baik dari orang Indonesia. 
Pemerintah juga sebaiknya segera melakukan pemetaan SDM yang 
dimiliki Indonesia, baik menyangkut kuantitas maupun kualitas. 
Dengan adanya statistik lengkap dan peta yang jelas tentang 
penyebaran SDM Indonesia di berbagai disiplin ilmu, maka akan 
didapatkan gambaran jelas tentang kekuatan SDM Indonesia.

Dengan kedua hal ini, diharapkan Bappenas-pemerintah- dapat merevisi 
standarnya yang tidak rasional tersebut. dan menggantinya dengan 
standar yang lebih mencerminkan jiwa merdeka sebuah bangsa. Lebih 
jauh, pemerintah bisa mendapatkan keyakinan bahwa sebenarnya 
tersedia cukup SDM dengan jumlah dan kualifikasi yang memadai, 
sehingga tidak selalu harus bergantung pada expatriate. Pada 
akhirnya diharapkan ibu pertiwi dapat menjadi syurga bagi anak 
negeri sendiri.

Kirim email ke