Bener banget apa yang disampaikan mbak sefty.... kebetulan saya jg pernah
kerja di kantor yang banyak bule-nya.... perbandingan fasilitas dan
gaji...wah...bukan main.....sebagai gambaran...seorang bule (xpat) itu
paling minim gajinya sebulan $ 25,000 (kalau dikonversi ke rupiah sekitar
250juta) + fasilitas + reimburse all expense
....apartemen...laundry....sampai beli aqua gelas di Hero aja di reimburse
juga.....

Sementara ....... kalau pakle (pasangannya bule / Indonesia) gajinya paling
tinggi 60juta/bulan.... apalagi kayak saya yang levelnya baru staff....
hiks..hiks... malu ah nyebutinnya.... :)

Padahal mereka kerja di Indonesia...dan mengeruk kekayaan alam Indonesia....
aneh ya negeri ini....?

Makanya sekali lagi...kita mesti merubah paradigma berfikir kita....mari
ciptakan generasi2 yang cerdas dan pintar.... yang punya niat ikhlas utk
memajukan negara dan rakyat Indonesia... yang bukan hanya menjadikan materi
sebagai satu2nya parameter kesuksesan dan kebahagiaan....

Kalau kita..ortu sdh bisa memberikan contoh yang baik kepada anak
kita...Indonesia akan menjadi bangsa yang makmur..adil...dan sejahtera....
Insya Allah...

Wassalam,
dwi

*
jadimengenangbeberapatahunsilamsaatdisekelilingbanyakorangbuleberkeliaran...
:)

On 7/11/07, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:

Sumber:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070710204429

Oleh : Vima Tista Putriana

10-Jul-2007, 22:13:03 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia Tiga setengah abad berada di bawah penjajahan Belanda
yang sangat tidak beradab telah membuat bangsa Indonesia tumbuh
menjadi bangsa yang "rendah diri". Meskipun sudah lebih dari 60
tahun merdeka, tetapi sindrom "mental bangsa terjajah" ini tetap
belum hilang. Masih saja merasa diri belum sejajar dengan bangsa
lain.

Satu contoh sederhana keminderan ini terlihat dari diskriminasi
tingkat gaji yang sangat tinggi antara expatriate dan anak negeri
sendiri. Para expatriate di Indonesia digaji 10 kali lipat dari
orang Indonesia meskipun dengan tingkat pendidikan, kemampuan,
tanggung jawab dan kinerja yang sama.

Seorang foreign engineer di Jakarta misalnya, menurut standar
Bappenas, mendapatkan gaji sekitar US $5.000,00 per tahun.
Sebaliknya orang Indonesia, dengan kualifikasi sama hanya menerima
sebesar $500,00 saja. Tidak jarang dalam suatu proyek, meskipun
dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi semisal MSc atau PHd,
orang Indonesia digaji tetap lebih rendah dari expatriate yang cuma
BSc (Rahardjo,2006).

Di samping gaji tinggi, biasanya expatrite juga mendapat berbagai
fasilitas berlimpah seperti berkantor di kawasan segitiga mas
(Sudirman, Thamrin dan Kuningan), tempat tinggal di apartemen mewah,
keanggotan di club-club olah raga dan hiburan elite dan lain-lain.

Intinya mereka sangat dimanjakan, sehingga tidak salah kalau
dikatakan Indonesia adalah syurga bagi para expatriate.
Sebenarnya tidak masalah jika expatriate digaji sedemikian tinggi
jika memang memiliki kemampuan unik yang tidak dimiliki oleh orang
Indonesia dan betul-betul dibutuhkan. Tetapi jika kemampuan dan
kinerja sama, lalu digaji lebih tinggi hanya karena statusnya bule,
sungguh tidak logis menurut cara fakir orang yang berjiwa "merdeka".

Jika pemerintah atau perusahaan harus membayar mahal hanya untuk
status ke-bule-an saja, bukankah ini standar yang sangat stupid.
Ketika jasa seseorang dihargai cuma 1/10 dari koleganya, hanya
karena dia orang INDONESIA, berarti sungguh malang menjadi orang
Indonesia.

Mirisnya lagi, yang mengeluarkan standar gaji yang sangat
diskriminatif ini adalah Bappenas-Pemerintah Indonesia sendiri.
Berarti pemerintah Indonsia melecehkan rakyatnya sendiri, menganggap
bodoh bangsanya sendiri. Ini sungguh bertolak belakang dari peran
yang seharusnya dimainkan oleh pemerintah.

Bukankah pemerintah suatu negara seharusnya menyokong rakyatnya,
mendorong mereka supaya bisa maju, jika belum mampu difasilitasi
supaya mencapai kualifikasi sama dengan expatriate. Singkatnya
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak bangsa untuk bisa
berkembang dan mengekspolasi potensinya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak selalu yang bernama bule
lebih pintar dari orang Indonesia. Banyak diantara mereka memiliki
kemampuan biasa-biasa saja. Malah mungkin di negaranya berada pada
lapis ke-3 atau 4, tapi di Indonesia mereka disanjung sedemikian
rupa, mendapatkan posisi yang sangat bagus dan hidup mewah.

Keadaan ini tidak hanya berlaku di dunia bisnis, tetapi juga pada
proyek-proyek pemerintah. Suatu kali tim peneliti dari UGM mendapat
tugas membuat perencanaan daerah wisata pulau Jemur, di Kabupaten
Rokan Hulu Riau. Sebagai arsitek dan perencana local, tim ini hanya
mendapat dana sebesar 500 juta rupiah untuk jangka waktu 6 (enam)
bulan. Sementara ada satu kabupaten lain yang lebih percaya pada
konsultan dari Singapura harus mengeluarkan anggaran sebesar 3
milyar rupiah.

Saat hasil penelitian dan perencanaan sama sama dipresentasikan,
ternyata perencanaan yang dibuat tim peneliti UGM tidak kalah bagus
dari konsultan Singapura yang dibayar enam kali lipat lebih tinggi.
Malahan perencaanan UGM terlihat lebih menyentuh apa yang dibutuhkan
masyarakat karena mereka memadukan dengan metode Partisipatory
Planning sehinga mereka tahu betul apa keinginan masyarakat.

Sebenarnya kita sendiri yang menempatkan para expatriate pada posisi
yang sangat tinggi, menyanjung mereka sedemikian rupa, begitu
percaya dan yakin mereka lebih baik, dan lebih berkualitas.
Sebaliknya tidak memberi perlakuan sama kepada bangsa sendiri.
Secara umum di seluruh dunia, expatriate memang digaji lebih tinggi
dari pekerja lokal, namun perbedaannya tidak separah di Indonesia.
Di Silicon Valley misalnya, gaji seorang software engineer
(expatriate) dua kali pekerja lokal, termasuk jika expatriate-nya
orang Indonesia (Patriawan, 2006).

Pemerintah Indonesia sepertinya tidak yakin dengan kemampuan
sendiri. Inilah warisan mental Inlander (sindrom minder, rasa rendah
diri, dan inferior) dari Belanda (Yulianto, 2007). Padahal fakta
membuktikan banyak anak-anak Indonesia yang brilliant malah
dimanfaatkan oleh orang luar negeri. Bukankah banyak jebolan ITB
yang menjadi enginer-nya perusahan-perusahan minyak dunia di Houston
misalnya, yang dikenal sebagai kota minyak dunia. Itu membuktikan
kalau kualifikasi anak Indonesia, sama sekali tidak kalah dengan
yang bernama bule.

Mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga, dimana potensi
mereka seharusnya dimaksimalkan untuk membangun bangsa. Yang
terjadi malah mereka "disia-siakan", dan dimanfaatkan negara lain.
Bukankah lebih baik memanggil mereka pulang dan memberi penghargaan
yang sama sebagaimana layaknya expatriate, ketimbang menggaji orang
asing. Ibarat memberikan sumbangan, lebih baik kepada saudara
sendiri dahulu baru kepada yang lebih jauh.

Disamping perlunya memberikan kesempatan yang sama kepada putra-
putri dalan negeri sendiri, seharusnya pemerintah sangat berhati-
hati dalam pemakaian expatriate , terutama untuk bidang perencanaan.
Persoalannya bukan hanya sekedar pembayaran yang jauh lebih tinggi,
tetapi menyangkut aspek lain yang lebih luas. Perlu digarisbawahi,
pada proyek-proyek pemerintah, masuknya para expatriate ke Indonesia
bukan karena sebuah rekruitment terbuka.

Mereka adalah "AGEN-AGEN" yang dipekerjakan oleh pemerintah dari
negara mereka, lalu ditempatkan pada lembaga lembaga strategis di
Indonesia, khususnya dalam bidang-bidang perencanaan.

Sebagaimana diketahui, fondasi dari sebuah pembangunan baik fisik
maupun mental adalah pada aspek perencanaan. Ketika para expatriate
berada pada posisi perencanaan, maka dengn mudah mereka menyuntikkan
virus virus kapitalis didalamnya. Mereka memang sengaja dihadirkan
melalui proyek- proyek besar yang didanai oleh negara-negara asing.
Ini adalah dampak negatif bagi bangsa Indonesia yang perlu
diwaspadai oleh pemerintah.

Karena itu, perlu adanya perubahan paradigma yang menganggap bangsa
asing (bangsa berkulit putih) lebih baik dari orang Indonesia.
Pemerintah juga sebaiknya segera melakukan pemetaan SDM yang
dimiliki Indonesia, baik menyangkut kuantitas maupun kualitas.
Dengan adanya statistik lengkap dan peta yang jelas tentang
penyebaran SDM Indonesia di berbagai disiplin ilmu, maka akan
didapatkan gambaran jelas tentang kekuatan SDM Indonesia.

Dengan kedua hal ini, diharapkan Bappenas-pemerintah- dapat merevisi
standarnya yang tidak rasional tersebut. dan menggantinya dengan
standar yang lebih mencerminkan jiwa merdeka sebuah bangsa. Lebih
jauh, pemerintah bisa mendapatkan keyakinan bahwa sebenarnya
tersedia cukup SDM dengan jumlah dan kualifikasi yang memadai,
sehingga tidak selalu harus bergantung pada expatriate. Pada
akhirnya diharapkan ibu pertiwi dapat menjadi syurga bagi anak
negeri sendiri.




--
[70449090][dwiwahyono.blogspot.com][YM: dwiwahyono_mail]

Kirim email ke