Mba Ratna...
 
Iya bener... mungkin temennya musti punya skala prioritas. Apa yang paling 
penting dalam hidupnya musti dipikir ulang.
Anak atau karir/uang?
 
Dengan dia resign, saya rasa dia tidak perlu membayar 2 baby sitter yang pasti 
mahal itu. Itu pasti bisa menekan cost yang ada. Teman mba ratna bisa langsung 
mengurus balitanya sendiri. Itu juga kalo memilih untuk mengurus anak di rumah 
dengan memikirkan bahwa menjaga, merawat dan mendidik anak adalah tanggung 
jawab kita sebagai seorang Ibu... Dan dengan di rumah, pasti akan ada banyak 
cost yang bisa ditekan karena kita mengontrol sendiri segala bentuk pengeluaran.
 
Mba Ratna, saya bisa berkata seperti ini karena saya juga baru saja 
meninggalkan pekerjaan saya yang punya masa depan baik kalo blh saya katakan 
seperti itu. Untuk mengurus kedua bayi kembar saya dan ikut suami pindah ke 
Semarang.
Dulu sebelum resign, saya juga bingung bagaimana caranya hidup dengan tidak 
bekerja dan menggantungkan hidup sepenuhnya kepada suami, yang berpenghasilan 
cukup untuk kami berempat. Sempat berpikir untuk pisa kota saja. Tapi ketika 
memikirkan nasib anak2 yang masih sangat kecil, keputusan menjadi berbeda.
 
Dan kini setelah saya menjalani 3 bulan di rumah dan langsung merawat kedua 
buah hati saya,saya malah tidak pernah berpikir untuk kembali ke kantor. 
Melihat pertumbuhan mereka langsung dengan mata kepala saya sendiri... 
memberikan kepuasan tersendiri. 
 
Awalnya memang tidak mudah, saya akui. Tapi inilah hidup... prioritas musti 
ada. 
Mudah2an sekelumit cerita ini, bisa memberikan referensi untuk teman Mba Ratna. 
 
 
Cheers,
Bunda Totti dan Anya
 



> Date: Wed, 25 Jul 2007 16:28:14 +0700> From: [EMAIL PROTECTED]> To: 
> balita-anda@balita-anda.com> Subject: Re: [balita-anda] Istri (juga ibu) 
> frustasi> > Mbak Ratna....> > Mungkin temennya perlu ngomong2 ama sy tuhhhh 
> :):):)> > Sy dengan latar belakang keluarga yang sama seperti sobat mbak, dan 
> suami sy> org yang biasa2 aja.> Namanya perjalanan pernikahan tidak selamanya 
> mulus.> > Intinya mbak, dengan istri menganggap suami tidak bisa menjadi 
> kepala> keluarga yang bisa mencukupi kebutuhan istri dan anak itu merupakan> 
> statement yang kurang bijaksana ya... secara suami juga tetep bekerja demi> 
> keluarga.> > Cobalah meminta sobat mbak untuk memahami ini, dan masalah 
> suster dsb,> mungkin bisa dibilang cara pemilihan atau seleksi BS nya kurang 
> cermat,> karena kondisinya mirip dengan sy. Tapi lain halnya jika ada 
> kesempatan> untuk titip ke ortu, ya sekalian bawa BS nya ama anak2nya ke 
> ortu. Pagi> dianter sore dijemput. Ya udah konsekuensi, jadi gak bisa juga 
> kita bilang> capek.> > Alternatif kedua: cari kerjaan yang di deket rumah, 
> tidak usah pikirkan gaji> yang penting ad pekerjaan dan bisa ngurus anak. 
> Memang dengan gaji yang> besar kebanyakan orang tidak mau mengorbankan 
> sedikit buat anak2nya. SOalnya> temen sy juga demikian, dia berangkat pagi 
> dan pulang jam 9 malam, wkt> ketemu anak gak ada, dan juga kualitas terhadap 
> anak pendekatannya tidak> terlalu baik. Jadinya efeknya ke anak. Tapi temen 
> aku tidka merasa bersalah,> dan dia enjoy dg hidupnya nah loh....> > Menurut 
> sy kita sebagai perempuan boleh dan sah2 aja bekerja, tapi tanggung> jawab 
> ketika kita di rumah ya tetep HARUS dijalankan, kita tidak boleh> mengeluh 
> capek dsb, meski badan kita capek, tapi anak2 adalah permata hati> kita dan 
> butuh waktu kita juga. biasanya anak nakal itu karena kurang> perhatian dari 
> ortunya.> > ya banyak2 ditimbang2 baik buruknya.... selama tujuannya buat 
> anak pasti ada> jalan keluar.> Ya karena sy muslim sy berdoa aja, semoga kita 
> diperlancar semua, banyak> ikhtiar.> > > salam,> Y> > > On 7/25/07, Ratna 
> Wulan Sari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:> >> > Dear rekans BA,> > Salah satu 
> sobatku tadi nelpon curhat panjang banget,… singkatnya dia> > dalam keadaan 
> frustasi.> > Sobatku ini seorang karyawati perusahaan asing, gajinya lumayan 
> besar.> > Punya suami yang bekerja di perusahaan konglomerasi dalam negri 
> dengan> > gaji 1/3 gajinya.> > Punya anak balita 2 orang. Suami istri ini 
> berasal dari latar belakang> > berbeda. Sobatku anak orang kaya> > dan biasa 
> hidup enak. Suaminya anak orang kekurangan yang biasa prihatin.> > Singkat 
> cerita awalnya hidup mereka bahagia. Masalah muncul ketika sudah> > punya dua 
> orang anak,> > Dan anak2nya kurang perhatian karena orang tuanya sibuk 
> bekerja. Biarpun> > masing2 anak punya baby sitter dan ada> > pembantu lagi 
> dirumah, masalah selalu timbul. Pembantu keluar-masuk. Baby> > sitter sudah 
> dicoba dari> > pengasuh biasa sampai baby sitter selalu ngga pas. Yang bagus 
> cuma kerja> > sebentar keluar karena kawin,> > urusan keluarga etc. Alhasil 
> gonta-ganti pengasuh/pembantu sudah biasa.> > Yang kasihan anak2 tsb> > (2 
> dan 4 tahun) jadi terlantar dan kurang perhatian. Yang TK jadi nakal> > dan 
> kalau ngomong agak kasar, mungkin> > karena ibunya ini stress dan jadi suka 
> marah2 setelah memikirkan keadaan> > rumah masih memikirkan pekerjaan> > di 
> kantor. Juga kurang perhatian karena pengasuhnya bolak-balik ganti.> > Yang 2 
> tahun jadi kurus karena ternyata tidak diurus dengan baik oleh> > BS-nya – 
> akhirnya dipecat. Sekarang dalam> > keadaan sakit dan sobatku ngga bisa cuti 
> karena dikejar deadline.> > Pekerjaannya sangat menyita waktu.> > Terpaksa 
> anak-anaknya dititipkan dirumah orangtuanya.Tapi kan tidak bisa> > 
> terus-terusan begitu.> > Sebenernya sobatku ini ingin resign saja untuk bisa 
> mengurus anak dengan> > baik, tapi memikirkan kebutuhan> > saat ini yang 
> sangat tinggi rasanya ngga mungkin mengandalkan gaji> > suaminya saja. 
> Lagipula sayang> > rasanya meninggalkan pekerjaan dengan gaji puluhan juta 
> begitu saja. Yang> > bikin sobatku frustasi suaminya> > Itu dirasanya ngga 
> mampu untuk menjadi kepala keluarga yang baik alias> > ngga bisa menghasilkan 
> dengan layak> > untuk standard kehidupannya yang sebenernya tidak mewah tapi 
> tidak> > pas-pasan banget. - Sebetulnya sih menurut saya> > bukan salah 
> suaminya, tapi memang dia itu jauh lebih pintar dari suaminya> > dalam hal 
> mencari uang, jadi sulit kalau> > dibandingkan karena kemampuan suaminya 
> memang mentok -. Memikirkan kalau> > dia resign berarti anak2nya harus 
> pindah> > kerumah yang lebih kecil, mungkin cuma punya pembantu 1 yang 
> berarti> > selain mengasuh anak dia harus mengerjakan> > pekerjaan rumah 
> tangga yang sebelumnya jarang dikerjakan, mungkin dia> > malahan bakal jatuh 
> sakit kecapean, kemungkinan> > anaknya ngga bisa les musik dan balet lagi 
> atau beli susu dan buah-buahan> > yang selama ini rutin dikonsumsi, dll, 
> bikin> > sobatku tambah frustasi.> > Saya nulis ini karena rasanya banyak 
> ibu2 BA yang mengalami kejadian yang> > mirip, walau mungkin tidak 100% sama> 
> > (termasuk saya juga, karir dan anak selalu jadi dilema). Kalau ada yang> > 
> mau sharing atau sumbang saran untuk sobatku ini,> > kira-kira bagaimana 
> mengatasi masalahnya. Apa memang resign adalah pilihan> > terbaik ?> >> > 
> Regards,> > ratna> >> >> > 
> __________________________________________________________________> > Yahoo! 
> Singapore Answers> > Real people. Real questions. Real answers. Share what 
> you know at> > http://answers.yahoo.com.sg> > > > > -- > Yesi> 
> http://www.de-bloemen.blogspot.com/
_________________________________________________________________
Did you know you can now customize your mailbox with different colours to suit 
your mood with the new Windows Live Hotmail?
http://get.live.com/mail/features

Kirim email ke