Mbak Farida,
 
Saranku sebaiknya sih gak usah dikasih empeng ya.
Wajar kok mbak kalau shally senang masukin jari atau apapun ke mulutnya.
Memang fasenya (fase oral). Waktu dulu Alyssa spt itu aku biarkan dia mencoba.
Hanya kalo udah kelamaan masukkin jempol ke mulut, aku lepas pelan2 sambil diajak bicara
& dialihkan ke hal lain.
 
Tapi mau dikasih empeng atau gak ? terserah mbak aja.
Yang terbaik aja ya. Ini aku attach artikel ttg empeng untuk perbandingan.
 
Mamanya Alyssa
----- Original Message -----
From: Farida
Sent: Thursday, March 11, 2004 10:16 AM
Subject: [balita-anda] Mo nanya tentang " Empeng "

Dear 'Nyak en Babe,
 
Tanya donk tentang positif en negatifnya kalo kita ngasih  ' EMPENGAN ' buat bayi kita, soalnya saya mo niat ngasih anak saya empeng biar dia engga gigitin jari2nya terus ... kan kotor ... pernah anak kena jamur mulutnya karena seringnya masukin jari2 tangannya ... emang sih umur 7-8 bulanan lagi gatel2nya karena mo tumbuh gigi ... tapi sebenernya anak saya itu engga rewelan ... kasih engga ya ... sharing donk 'nyak en babe BA ... tengkyu pisan ye...
 
Shally's Mom
____________________________________________________
  IncrediMail - Email has finally evolved - Click Here
--- Begin Message ---
Sumber : Tabloid NAKITA
MASIH TERGANTUNG EMPENG

Di usia batita, si kecil harusnya tak mengisap empeng lagi. Kalau begitu,
kenapa masih ada anak batita yang ngempeng?

Sebetulnya, persoalan ngempeng adalah masalah kebiasaan. Seperti dipaparkan
Dra. Rina Ruchiani, umumnya, orang tua yang tak mau repot menghadapi
kegelisahan dan kerewelan bayinya akan menjejalkan empeng di mulut anaknya.
Hingga, tertanamlah kebiasaan itu sampai si anak usia batita.


Memang, aku psikolog dari RSIA Hermina Jatinegara, Jakarta ini, manfaat
pemberian empeng di usia bayi ada kaitannya dengan pemuasan fase oral (fase
di mana kepuasan anak berada di mulutnya) yang berlangsung sampai usia satu
tahun. Dengan demikian, harusnya di usia batita, fase oral sudah lewat
masanya. "Apalagi biasanya anak usia satu tahunan sudah makan macam-macam
dan sudah bisa merasakan makanan enak. Makanya, jarang sekali di usia batita
ada anak yang masih mengempeng."


Apalagi, usia batita juga identik dengan fase anal di mana kepuasan berada
di duburnya atau ke arah toilet training. Jadi, tegas Rina, jika di usia
batita seorang anak masih ngempeng, hal ini lebih dikarenakan pola
kebiasaannya yang terdahulu. Ditambah, orang tua tak mau mengusahakan agar
anak melepaskan kebiasaan mengempengnya.

Memang, sekali anak dibiasakan mengempeng, maka hal itu akan terus berlanjut
menjadi kebiasaan. Dengan mengempeng dia merasakan kepuasan karena dari situ
dia mendapatkan rasa nyaman atau rasa enak. Kebiasaan itu pun diteruskannya.
Terlebih jika orang tua tak memarahinya karena kebiasaan itu dianggap tak
membahayakan.

Cara Ampuh Melepaskan Empeng


Menurut Rina, kalau anak di atas satu tahun masih juga ngempeng, orang tua
perlu secara konsisten dan konsekuen mengusahakan agar kebiasaan itu tak
berlarut-larut. Sebagaimana diketahui, mengempeng terlalu lama dapat
berakibat buruk bagi pembentukan rahang dan posisi gigi. Nah, berikut ini
cara ampuh melepaskan empeng dari si kecil:


* Jangan ganti empengnya yang sudah rusak dengan empeng baru.


Empeng yang rusak rasanya tak enak, dengan begitu diharapkan ia mau beralih
dari aktivitas mengempeng ke aktivitas lain.


* Buang empeng itu dengan disaksikan oleh si kecil.


Agar ia tak marah dan kecewa, katakan alasan mengapa kita membuang
empengnya. Tentu saja alasan itu harus dapat diterima oleh anak umur 1-3
tahun. Misal, jika empengnya itu memang sudah rusak, kita bisa mengatakan,
"Lihat, nih, empeng kamu, kan, sudah rusak, tidak bisa dipakai lagi. Empeng
yang rusak biasanya jadi sarang kuman. Nah, kalau kamu masih ngempeng juga,
nanti kumannya masuk ke mulut. Bisa bikin sakit, lo." Lalu, kepadanya kita
beri gambaran pula tentang apa itu kuman. Hal ini bukan berarti kita
membohongi tapi memang mengatakan yang sebenarnya. Jadi sebelum dibuang
jangan lupa beri penjelasan yang masuk akal pada si kecil.


* Beri penjelasan secara konsisten, dan kalau perlu secara terus-menerus.


Berbarengan dengan itu, kita pun bisa juga membandingkan dirinya dengan
anak-anak lain yang sebaya. Misal, "Apakah teman kamu ada juga yang
ngempeng? Kamu tidak malu kalau temanmu yang lain tak ada yang ngempeng?"
Anak usia batita, kan, sudah bisa diajak bicara seperti itu, karena nalarnya
memang sudah sampai. Juga, anak yang sudah mulai bermain dengan anak-anak
sebaya lain sebetulnya sudah punya rasa malu.


* Alihkan perhatiannya pada kegiatan lain kalau pada dirinya muncul kembali
keinginan mengempeng.


Dengan begitu, ia bisa melupakan empengnya untuk sementara waktu dan
kemudian untuk selamanya. Kalau empengnya memang sudah dibuang, kita harus
bersikap tegas dan konsisten dengan keputusannya untuk tak memberi empeng
pada si kecil.

Tak Beda Dengan "Mengempeng" Benda Lain


Rina berpendapat, mengempeng bisa dianalogkan dengan kelekatan atau
ketergantungan anak pada benda lain, seperti lekat dengan bantal dekilnya,
selimut usang, pegang pusarnya sebelum tidur, dan lain-lain. Kebiasaan ini
sebetulnya tak muncul begitu saja, tapi dibentuk oleh perilaku yang
dilakukan berulang-ulang sejak usia awalnya. Secara psikologis, kelekatan
anak pada benda-benda seperti itu memberikan rasa nikmat dan nyaman kepada
dirinya. Jadi, sama halnya dengan mengisap empeng.






--- End Message ---
--- Begin Message ---
Stop Kebiasaan Menghisap Jempol!

Mother: Saturday, 6 Sep 2003 10:20:41 WIB


Saat masih bayi, menghisap jempol merupakan kebiasaan yang wajar. Namun bila
kebiasaan ini berlanjut hingga balita, bisa menimbulkan akibat buruk pada
struktur gigi dan bibirnya. Menghisap jempol bagi seorang bayi, merupakan
hal yang normal. Selain 'kebiasaan' ini memang telah ada sejak bayi masih di
dalam kandungan, kegiatan tersebut merupakan efek dari reflek menghisap yang
dimiliki oleh setiap bayi yang baru lahir.

Menghisap jempol atau empeng/dot, juga salah satu cara bayi usia 2-4 tahun
untuk menenangkan dirinya. Beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika
menunjukkan, kebanyakan balita menghisap jari, terutama jempolnya, secara
spontan sambil melakukan aktivitas lain, misalnya, mempermainkan rambut atau
selimutnya.

Normal Hingga Usia 5 Tahun

Beberapa kajian menunjukkan, hampir setengah jumlah anak-anak di dunia ini
pernah menghisap ibu jari semasa bayi. Puncaknya adalah saat anak berusia
18-21 bulan. Memang, ada beberapa yang sudah berhenti pada usia ini. Yang
jelas, 80% anak-anak meninggalkan kebiasaan ini pada usia 5 tahun, dan 95%
berhenti pada usia 6 tahun dengan sendirinya.

Menurut psikolog Ike R. Anggraika, Psi., pada bayi kebiasaan ini tergolong
sehat dan normal. "Menghisap jempol saat bayi merasa lelah, stres dan lapar
merupakan hal yang normal. Hal ini membuatnya mendapatkan rasa aman dengan
lingkungan sekitarnya. "Biasanya kebiasaan ini akan hilang sendiri saat
memasuki usia 4-5 tahun," terang psikolog dari Klinik Anakku, Cinere ini.

Namun, sebelum anak berusia 6 tahun , ada baiknya orangtua mulai mencoba
menghentikan kebiasaannya menghisap jempol. Menurut Drg. Magdalena Lesmana,
Sp.Ort., kebiasaan menghisap jempol akan mengganggu perkembangan giginya.
"Kebiasaan menghisap jempol, bisa mengakibatkan gigi anak menjadi over bite
atau tonggos," ungkapnya.

Tipe Aktif dan Pasif

Biasanya saat memasuki usia 6 tahun, gigi susu si kecil akan mulai tanggal
dan digantikan dengan gigi tetap. Di usia ini juga, bila ada kelainan saat
pertumbuhan giginya, akan bersifat permanen dan sulit diperbaiki. Nah,
kebiasaan menghisap jempol akan menyebabkan gigi dan rahang atasnya
tertekan. Ini akan menyebabkan gigi terlalu keluar dan tidak rata dengan
rahang dan gigi bawahnya.

Menurut Dr. McIlwain, MD., dokter gigi dari American Academy of Cosmetic
Dentistry (AACD), ada dua tipe kebiasaan menghisap jempol (Thumb Sucking)
pada anak, yaitu tipe aktif dan tipe pasif. Tipe yang pasif, biasanya hanya
menempatkan jempol di dalam mulut dan membiarkannya begitu saja tanpa adanya
tekanan menghisap dan tidak menyebabkan kelainan pada tulang rahang maupun
gigi.

Sedangkan tipe aktif, merupakan tipe yang menghisap jempol dengan cara
mendesak dan melakukan tekanan yang beruntun ke gigi. Bila kebiasaan ini
berlanjut hingga waktu yang lama, akan berefek negatif pada posisi gigi
permanen nantinya, begitu juga dengan keseimbangan letak rahangnya kelak.

"Tekanan yang terus menerus ini akan menyebabkan gigi keluar dari posisi
yang seharusnya, dan mempersempit lengkung gigi, yang menyebabkan gigi atas
terlalu rapat sehingga anak akan mengalami Open Bite (kedua lingkaran gigi
atas dan bawah, tidak sejajar dan menyebabkan mulut tidak dapat menutup
dengan sempurna) dan kesulitan pengucapan.

Kelainan Rahang, Gigi dan Pengucapan

Posisi lingkaran gigi yang tidak sama (open bite) ini, menurut McIlwain,
akan mengganggu keindahan wajah si kecil kelak. Open bite muncul saat Si
Kecil memasukkan tangan ataupun jempolnya ke dalam mulut. Hal yang sama juga
bisa terjadi, bila ia suka menekan lidahnya ke gigi atas dan bawahnya saat
menelan, yang mengakibatkan gigi keluar dari posisi normalnya.

Balita yang meneruskan kebiasaan ini, juga mempunyai kecenderungan berbicara
cadel. Keadaan ini disebabkan akibat kondisi tekanan lidah. "Efek menghisap
akan menyebabkan kondisi lidah terdorong ke atas, yang menyebabkan lidah
memberikan tekanan pada gigi atas, menimbulkan gigi terdorong dari posisi
normal dan menyebabkan distorsi pada bunyi yang diucapkan," terang Sabine
Hack, M.D, dokter gigi dari AACD ini.

Efek permanen yang ditimbulkan akibat kebiasaan menghisap jempol, adalah
menyempitnya rahang atas dan merenggangnya gigi bawah yang akan menyebabkan
penghambatan atau berubahnya susunan gigi saat anak memasuki usia 6 tahun.
Efek lainnya, gigi depan atas juga bisa mencuat keluar (tonggos), gigi
tumbuh menyilang (Crossbite) dan kelainan tulang wajah.

Di lain pihak, kebiasaan menghisap jempol juga bisa menyebabkan masalah
belajar menelan pada si kecil. "Untuk anak-anak yang tidak suka menghisap
jempol atau jari lainnya, mereka mampu meletakkan lidahnya di langit-langit
mulut saat menelan," terang Hack. Pada anak yang suka menghisap jempol,
mereka sulit menelan karena lidah mereka berada di depan diantara gigi
depan. "Keadaan ini menyebabkan kesulitan saat menelan, sehingga membutuhkan
latihan untuk memperbaiki gerakan lidah tersebut."

Deteksi Dini dan Cegah Kelainan

Untuk menghindari kelainan-kelainan yang disebabkan oleh kebiasaan anak
menghisap jempol, Hack menyarankan orangtua untuk mulai mendeteksi
masalah-masalah potensial yang mungkin terjadi pada buah hatinya sedini
mungkin. "Bukan saja untuk mengantisipasi struktur perkembangan giginya,
tapi juga perkembangan emosionalnya."

Kelainan tulang yang bisa terjadi, juga bisa mengakibatkan dampak buruk dan
menjadi masalah kepercayaan diri, terutama pada anak-anak. Perasaan minder
akan mengganggu penyesuaian sosial anak. Psikologi Ike S. Anggraini
menyatakan, "Karena kelainan yang dialami, anak bisa diejek ataupun
diolok-olok oleh temannya, sehingga menjadi rendah diri dan menarik diri
dari pergaulan."

Oleh karena itu, kelainan itu harus di cegah dan dikoreksi sepenuhnya sedini
mungkin, baik yang akan berdampak pada masalah fisik maupun psikologi anak.
"Tanggapan lingkungan ini bisa berpengaruh positif. Positif jika si kecil
jadi termotivasi untuk meninggalkan kebiasaannya. Tapi banyak juga yang
tetap tak bisa berhenti menghisap jempol, sebab kepuasan yang dirasakan anak
lebih besar. Ini membutuhkan intervensi, bantuan dari orangtua," tegas Ike.

Diakui Ike dan Hack, mengajarkan anak meninggalkan kebiasaan menghisap
jempol bukan hal yang mudah. Semua ini membutuhkan dukungan, kesabaran, dan
tekenunan orangtua. "Kalau ingin lebih mudah, biasakan anak mengenal alat
minum dan makan sejak dini dan secara bertahap," ujar Ike.

Hari pertama mencegahnya untuk tidak menghisap jempol, biasanya adalah hari
yang teramat sulit baginya. "Hampir terjadi pada semua kebiasaan, keinginan
untuk menghilangkan kebiasaan tersebut akan terasa berjalan sangat lambat,
tapi lama kelamaan akan menjadi mudah baginya," jelas Hack. "Akan ada
beberapa rintangan, sebelum kebiasaan ini bisa benar-benar dilupakan
olehnya."

Pada saat proses pembelajaran, Ike dan Hack menyarankan agar orangtua banyak
menunjukkan sikap toleransi agar anak merasa nyaman dan aman. Misalnya,
tidak ngomel saat anak menumpahkan susu, atau tidak marah jika gelasnya
terjatuh. Dukungan dan toleransi membuat anak merasa aman dan percaya bahwa
ia bisa melakukannya.

Menghilangkan Kebiasaan Menghisap Jempol

Sudah telanjur punya kebiasaan menghisap jempol bukan berarti tak bisa
berubah, lho. Bisa kok asal Anda sabar, sabar dan sabar....


Sering tunjukkan dan katakan bahwa teman-temannya sudah tak ngempong lagi.
"Hanya anak bayi lho yang masih ngempong. Kakak anak bayi atau sudah besar
ya?"

Perlihatkan gambar-gambar gigi. "Lihat, kalau sering ngempeng nanti
lama-lama giginya rusak. Terus tumbuhnya tak bagus seperti ini. Kalau anak
Mama yang cakep ini jadi jelek, bagaimana?"

Beri dukungan dan pujian setiap kali anak tidak menghisap jempolnya. Senyum
manis, belaian sayang, pelukan dan kecupan sangat berharga bagi anak.

Untuk anak yang telanjur rendah diri karena ejekan teman-temannya,
bangkitkan kembali semangatnya dengan menunjukkan kelebihan dirinya.
Sesekali undanglah teman-temannya ke rumah, untuk bermain bersama.
(Rahmi Hastari/Berbagai sumber)
Sumber: Tabloid Ibu & Anak





--- End Message ---
---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke