Mbak Farida,
Saranku sebaiknya sih gak usah dikasih empeng ya.
Wajar kok mbak kalau shally senang masukin jari atau apapun ke
mulutnya.
Memang fasenya (fase oral). Waktu dulu Alyssa spt itu aku
biarkan dia mencoba.
Hanya kalo udah kelamaan masukkin jempol ke mulut, aku
lepas pelan2 sambil diajak bicara
& dialihkan ke hal lain.
Tapi mau dikasih empeng atau gak ? terserah mbak
aja.
Yang terbaik aja ya. Ini aku attach artikel ttg empeng untuk
perbandingan.
Mamanya Alyssa
|
--- Begin Message ---Sumber : Tabloid NAKITA MASIH TERGANTUNG EMPENG Di usia batita, si kecil harusnya tak mengisap empeng lagi. Kalau begitu, kenapa masih ada anak batita yang ngempeng?Sebetulnya, persoalan ngempeng adalah masalah kebiasaan. Seperti dipaparkan Dra. Rina Ruchiani, umumnya, orang tua yang tak mau repot menghadapi kegelisahan dan kerewelan bayinya akan menjejalkan empeng di mulut anaknya. Hingga, tertanamlah kebiasaan itu sampai si anak usia batita. Memang, aku psikolog dari RSIA Hermina Jatinegara, Jakarta ini, manfaat pemberian empeng di usia bayi ada kaitannya dengan pemuasan fase oral (fase di mana kepuasan anak berada di mulutnya) yang berlangsung sampai usia satu tahun. Dengan demikian, harusnya di usia batita, fase oral sudah lewat masanya. "Apalagi biasanya anak usia satu tahunan sudah makan macam-macam dan sudah bisa merasakan makanan enak. Makanya, jarang sekali di usia batita ada anak yang masih mengempeng." Apalagi, usia batita juga identik dengan fase anal di mana kepuasan berada di duburnya atau ke arah toilet training. Jadi, tegas Rina, jika di usia batita seorang anak masih ngempeng, hal ini lebih dikarenakan pola kebiasaannya yang terdahulu. Ditambah, orang tua tak mau mengusahakan agar anak melepaskan kebiasaan mengempengnya. Memang, sekali anak dibiasakan mengempeng, maka hal itu akan terus berlanjut menjadi kebiasaan. Dengan mengempeng dia merasakan kepuasan karena dari situ dia mendapatkan rasa nyaman atau rasa enak. Kebiasaan itu pun diteruskannya. Terlebih jika orang tua tak memarahinya karena kebiasaan itu dianggap tak membahayakan. Cara Ampuh Melepaskan Empeng Menurut Rina, kalau anak di atas satu tahun masih juga ngempeng, orang tua perlu secara konsisten dan konsekuen mengusahakan agar kebiasaan itu tak berlarut-larut. Sebagaimana diketahui, mengempeng terlalu lama dapat berakibat buruk bagi pembentukan rahang dan posisi gigi. Nah, berikut ini cara ampuh melepaskan empeng dari si kecil: * Jangan ganti empengnya yang sudah rusak dengan empeng baru. Empeng yang rusak rasanya tak enak, dengan begitu diharapkan ia mau beralih dari aktivitas mengempeng ke aktivitas lain. * Buang empeng itu dengan disaksikan oleh si kecil. Agar ia tak marah dan kecewa, katakan alasan mengapa kita membuang empengnya. Tentu saja alasan itu harus dapat diterima oleh anak umur 1-3 tahun. Misal, jika empengnya itu memang sudah rusak, kita bisa mengatakan, "Lihat, nih, empeng kamu, kan, sudah rusak, tidak bisa dipakai lagi. Empeng yang rusak biasanya jadi sarang kuman. Nah, kalau kamu masih ngempeng juga, nanti kumannya masuk ke mulut. Bisa bikin sakit, lo." Lalu, kepadanya kita beri gambaran pula tentang apa itu kuman. Hal ini bukan berarti kita membohongi tapi memang mengatakan yang sebenarnya. Jadi sebelum dibuang jangan lupa beri penjelasan yang masuk akal pada si kecil. * Beri penjelasan secara konsisten, dan kalau perlu secara terus-menerus. Berbarengan dengan itu, kita pun bisa juga membandingkan dirinya dengan anak-anak lain yang sebaya. Misal, "Apakah teman kamu ada juga yang ngempeng? Kamu tidak malu kalau temanmu yang lain tak ada yang ngempeng?" Anak usia batita, kan, sudah bisa diajak bicara seperti itu, karena nalarnya memang sudah sampai. Juga, anak yang sudah mulai bermain dengan anak-anak sebaya lain sebetulnya sudah punya rasa malu. * Alihkan perhatiannya pada kegiatan lain kalau pada dirinya muncul kembali keinginan mengempeng. Dengan begitu, ia bisa melupakan empengnya untuk sementara waktu dan kemudian untuk selamanya. Kalau empengnya memang sudah dibuang, kita harus bersikap tegas dan konsisten dengan keputusannya untuk tak memberi empeng pada si kecil. Tak Beda Dengan "Mengempeng" Benda Lain Rina berpendapat, mengempeng bisa dianalogkan dengan kelekatan atau ketergantungan anak pada benda lain, seperti lekat dengan bantal dekilnya, selimut usang, pegang pusarnya sebelum tidur, dan lain-lain. Kebiasaan ini sebetulnya tak muncul begitu saja, tapi dibentuk oleh perilaku yang dilakukan berulang-ulang sejak usia awalnya. Secara psikologis, kelekatan anak pada benda-benda seperti itu memberikan rasa nikmat dan nyaman kepada dirinya. Jadi, sama halnya dengan mengisap empeng.
--- End Message ---
--- Begin Message ---Stop Kebiasaan Menghisap Jempol! Mother: Saturday, 6 Sep 2003 10:20:41 WIB Saat masih bayi, menghisap jempol merupakan kebiasaan yang wajar. Namun bila kebiasaan ini berlanjut hingga balita, bisa menimbulkan akibat buruk pada struktur gigi dan bibirnya. Menghisap jempol bagi seorang bayi, merupakan hal yang normal. Selain 'kebiasaan' ini memang telah ada sejak bayi masih di dalam kandungan, kegiatan tersebut merupakan efek dari reflek menghisap yang dimiliki oleh setiap bayi yang baru lahir. Menghisap jempol atau empeng/dot, juga salah satu cara bayi usia 2-4 tahun untuk menenangkan dirinya. Beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan, kebanyakan balita menghisap jari, terutama jempolnya, secara spontan sambil melakukan aktivitas lain, misalnya, mempermainkan rambut atau selimutnya. Normal Hingga Usia 5 Tahun Beberapa kajian menunjukkan, hampir setengah jumlah anak-anak di dunia ini pernah menghisap ibu jari semasa bayi. Puncaknya adalah saat anak berusia 18-21 bulan. Memang, ada beberapa yang sudah berhenti pada usia ini. Yang jelas, 80% anak-anak meninggalkan kebiasaan ini pada usia 5 tahun, dan 95% berhenti pada usia 6 tahun dengan sendirinya. Menurut psikolog Ike R. Anggraika, Psi., pada bayi kebiasaan ini tergolong sehat dan normal. "Menghisap jempol saat bayi merasa lelah, stres dan lapar merupakan hal yang normal. Hal ini membuatnya mendapatkan rasa aman dengan lingkungan sekitarnya. "Biasanya kebiasaan ini akan hilang sendiri saat memasuki usia 4-5 tahun," terang psikolog dari Klinik Anakku, Cinere ini. Namun, sebelum anak berusia 6 tahun , ada baiknya orangtua mulai mencoba menghentikan kebiasaannya menghisap jempol. Menurut Drg. Magdalena Lesmana, Sp.Ort., kebiasaan menghisap jempol akan mengganggu perkembangan giginya. "Kebiasaan menghisap jempol, bisa mengakibatkan gigi anak menjadi over bite atau tonggos," ungkapnya. Tipe Aktif dan Pasif Biasanya saat memasuki usia 6 tahun, gigi susu si kecil akan mulai tanggal dan digantikan dengan gigi tetap. Di usia ini juga, bila ada kelainan saat pertumbuhan giginya, akan bersifat permanen dan sulit diperbaiki. Nah, kebiasaan menghisap jempol akan menyebabkan gigi dan rahang atasnya tertekan. Ini akan menyebabkan gigi terlalu keluar dan tidak rata dengan rahang dan gigi bawahnya. Menurut Dr. McIlwain, MD., dokter gigi dari American Academy of Cosmetic Dentistry (AACD), ada dua tipe kebiasaan menghisap jempol (Thumb Sucking) pada anak, yaitu tipe aktif dan tipe pasif. Tipe yang pasif, biasanya hanya menempatkan jempol di dalam mulut dan membiarkannya begitu saja tanpa adanya tekanan menghisap dan tidak menyebabkan kelainan pada tulang rahang maupun gigi. Sedangkan tipe aktif, merupakan tipe yang menghisap jempol dengan cara mendesak dan melakukan tekanan yang beruntun ke gigi. Bila kebiasaan ini berlanjut hingga waktu yang lama, akan berefek negatif pada posisi gigi permanen nantinya, begitu juga dengan keseimbangan letak rahangnya kelak. "Tekanan yang terus menerus ini akan menyebabkan gigi keluar dari posisi yang seharusnya, dan mempersempit lengkung gigi, yang menyebabkan gigi atas terlalu rapat sehingga anak akan mengalami Open Bite (kedua lingkaran gigi atas dan bawah, tidak sejajar dan menyebabkan mulut tidak dapat menutup dengan sempurna) dan kesulitan pengucapan. Kelainan Rahang, Gigi dan Pengucapan Posisi lingkaran gigi yang tidak sama (open bite) ini, menurut McIlwain, akan mengganggu keindahan wajah si kecil kelak. Open bite muncul saat Si Kecil memasukkan tangan ataupun jempolnya ke dalam mulut. Hal yang sama juga bisa terjadi, bila ia suka menekan lidahnya ke gigi atas dan bawahnya saat menelan, yang mengakibatkan gigi keluar dari posisi normalnya. Balita yang meneruskan kebiasaan ini, juga mempunyai kecenderungan berbicara cadel. Keadaan ini disebabkan akibat kondisi tekanan lidah. "Efek menghisap akan menyebabkan kondisi lidah terdorong ke atas, yang menyebabkan lidah memberikan tekanan pada gigi atas, menimbulkan gigi terdorong dari posisi normal dan menyebabkan distorsi pada bunyi yang diucapkan," terang Sabine Hack, M.D, dokter gigi dari AACD ini. Efek permanen yang ditimbulkan akibat kebiasaan menghisap jempol, adalah menyempitnya rahang atas dan merenggangnya gigi bawah yang akan menyebabkan penghambatan atau berubahnya susunan gigi saat anak memasuki usia 6 tahun. Efek lainnya, gigi depan atas juga bisa mencuat keluar (tonggos), gigi tumbuh menyilang (Crossbite) dan kelainan tulang wajah. Di lain pihak, kebiasaan menghisap jempol juga bisa menyebabkan masalah belajar menelan pada si kecil. "Untuk anak-anak yang tidak suka menghisap jempol atau jari lainnya, mereka mampu meletakkan lidahnya di langit-langit mulut saat menelan," terang Hack. Pada anak yang suka menghisap jempol, mereka sulit menelan karena lidah mereka berada di depan diantara gigi depan. "Keadaan ini menyebabkan kesulitan saat menelan, sehingga membutuhkan latihan untuk memperbaiki gerakan lidah tersebut." Deteksi Dini dan Cegah Kelainan Untuk menghindari kelainan-kelainan yang disebabkan oleh kebiasaan anak menghisap jempol, Hack menyarankan orangtua untuk mulai mendeteksi masalah-masalah potensial yang mungkin terjadi pada buah hatinya sedini mungkin. "Bukan saja untuk mengantisipasi struktur perkembangan giginya, tapi juga perkembangan emosionalnya." Kelainan tulang yang bisa terjadi, juga bisa mengakibatkan dampak buruk dan menjadi masalah kepercayaan diri, terutama pada anak-anak. Perasaan minder akan mengganggu penyesuaian sosial anak. Psikologi Ike S. Anggraini menyatakan, "Karena kelainan yang dialami, anak bisa diejek ataupun diolok-olok oleh temannya, sehingga menjadi rendah diri dan menarik diri dari pergaulan." Oleh karena itu, kelainan itu harus di cegah dan dikoreksi sepenuhnya sedini mungkin, baik yang akan berdampak pada masalah fisik maupun psikologi anak. "Tanggapan lingkungan ini bisa berpengaruh positif. Positif jika si kecil jadi termotivasi untuk meninggalkan kebiasaannya. Tapi banyak juga yang tetap tak bisa berhenti menghisap jempol, sebab kepuasan yang dirasakan anak lebih besar. Ini membutuhkan intervensi, bantuan dari orangtua," tegas Ike. Diakui Ike dan Hack, mengajarkan anak meninggalkan kebiasaan menghisap jempol bukan hal yang mudah. Semua ini membutuhkan dukungan, kesabaran, dan tekenunan orangtua. "Kalau ingin lebih mudah, biasakan anak mengenal alat minum dan makan sejak dini dan secara bertahap," ujar Ike. Hari pertama mencegahnya untuk tidak menghisap jempol, biasanya adalah hari yang teramat sulit baginya. "Hampir terjadi pada semua kebiasaan, keinginan untuk menghilangkan kebiasaan tersebut akan terasa berjalan sangat lambat, tapi lama kelamaan akan menjadi mudah baginya," jelas Hack. "Akan ada beberapa rintangan, sebelum kebiasaan ini bisa benar-benar dilupakan olehnya." Pada saat proses pembelajaran, Ike dan Hack menyarankan agar orangtua banyak menunjukkan sikap toleransi agar anak merasa nyaman dan aman. Misalnya, tidak ngomel saat anak menumpahkan susu, atau tidak marah jika gelasnya terjatuh. Dukungan dan toleransi membuat anak merasa aman dan percaya bahwa ia bisa melakukannya. Menghilangkan Kebiasaan Menghisap Jempol Sudah telanjur punya kebiasaan menghisap jempol bukan berarti tak bisa berubah, lho. Bisa kok asal Anda sabar, sabar dan sabar.... Sering tunjukkan dan katakan bahwa teman-temannya sudah tak ngempong lagi. "Hanya anak bayi lho yang masih ngempong. Kakak anak bayi atau sudah besar ya?" Perlihatkan gambar-gambar gigi. "Lihat, kalau sering ngempeng nanti lama-lama giginya rusak. Terus tumbuhnya tak bagus seperti ini. Kalau anak Mama yang cakep ini jadi jelek, bagaimana?" Beri dukungan dan pujian setiap kali anak tidak menghisap jempolnya. Senyum manis, belaian sayang, pelukan dan kecupan sangat berharga bagi anak. Untuk anak yang telanjur rendah diri karena ejekan teman-temannya, bangkitkan kembali semangatnya dengan menunjukkan kelebihan dirinya. Sesekali undanglah teman-temannya ke rumah, untuk bermain bersama. (Rahmi Hastari/Berbagai sumber) Sumber: Tabloid Ibu & Anak
--- End Message ---
--------------------------------------------------------------------- >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]