Aduhh...jadi terharu nih bacanya....tnx ya mbak..

Btw...hanya pengen tahu lebih dalam lagi.....apakah setiap anak sewaktu
dimarahi ortunya selalu menimbulkan luka yg dalam (sep. ilustrasi di bawah
paku yg dicabut akan menimbulkan lubang). Atau kemarahan yg seperti apa yg
membuat anak merasa begitu terluka? Karena kok saya hampir tdk pernah tahu
sewaktu kecil saya dimarahin seperti apa...perasaannya (seingat2 saya) kok
marah ortu saya dulu seperti apa ya sehingga saya merasa gak pernah deh
dimarahin. 

Salam,
Fenty

-------Original Message-------

From: [EMAIL PROTECTED]
Date: 23 Agustus 2004 10:30:26
To: balita-anda
Subject: [balita-anda] Fw: Artikel "Marah dengan Kasih Sayang"

FW: [daarut-tauhiid] Marah dengan Kasih Sayang"Ferry Hadary"
<[EMAIL PROTECTED]> ,wrote:

PETIKAN ARTIKEL:

- Bayangkan, betapa wajah lugu dengan sorot mata
berbinar itu meredup cahayanya karena api kemarahan
yang tidak hanya membakar Anda, tetapi juga jiwa tunas
muda yang sedang tumbuh tersebut.
- Ingatlah mereka hanyalah seorang kanak-kanak, bukan
orang dewasa dalam tubuh yang kecil!
- Mereka bukan anak ikan, yang begitu lahir langsung
bisa berenang.
- Mereka juga bukan anak ayam, yang begitu menetas
langsung bisa jalan.
- Mereka adalah anak manusia, yang memerlukan proses
untuk setiap tahap perkembangannya.
- Hilangkan rasa marah bila anak membuat kotor, atau
bersikap "nakal", yang mereka butuhkan adalah
bimbingan dengan kasih sayang. Bukankah selain sebagai
"penyejuk mata orang tuanya" anak juga sebuah "amanah"
yang dititipkan Allah kepada Anda, orang tuanya.

************************************************

MARAH DENGAN KASIH SAYANG
Marah dan kasih sayang adalah dua hal yang berbeda.
Ibarat api dengan air, kondisi ini memberikan efek
yang berlawanan kepada orang yang menerima. Istilah
dakwah dengan kasih sayang mungkin sudah biasa Anda
dengar, namun marah disertai kasih sayang, sudahkah
Anda lakukan?

Didie, balita gendut berusia 2 tahun itu menangis
menggerung-gerung di tanah. Baju putih bersihnya penuh
berlepotan tanah, suara tangisnya pun membahana.
Dengan mata melotot si ibu menarik tangan anaknya agar
bangun, dan sebuah cubitan dengan spontan membuat si
bocah berdiri diiringi tangis yang semakin tinggi
nadanya. Begitu ancaman cubitan kedua terlihat dari
tangan sang ibu, suara tangisnya ditahan menjadi
sedu-sedan.

Apa yang telah dilakukan bocah itu? Ternyata sepele
saja. Ia menginginkan mobilan kecil yang dibawa
sebayanya, anak tetangga sebelah. Keinginan yang
lumrah buat seorang anak yang belum mengerti definisi
kepemilikan. Pantaskah ibu memarahinya secara
berlebihan?

Umumnya seseorang akan melampiaskan amarahnya dengan
disertai emosi, tidak hanya kepada orang dewasa namun
juga kepada anak-anaknya. Padahal emosi ini berkaitan
erat dengan tingkah laku yang akan muncul. Baik berupa
ekspresi wajah maupun tindakan seperti, pelototan
mata, cubitan, umpatan, membanting benda, maupun
pemukulan.

Apa yang sering membuat orang tua marah secara
berlebihan? Stres acapkali menjadi pemicu kemarahan
orang tua. Beban kerja sebagai ibu rumah tangga dengan
pekerjaan yang tidak pernah selesai dan cenderung
monoton, juga salah satu penyebab stres. Atau beban
kerja di kantor juga bisa menyebabkan stres semakin
menumpuk. Tanpa sadar, ketika di rumah luapan stres
ini dilampiaskan dalam bentuk marah dan sikap keras
kepada anak-anaknya sendiri.

Betapa menyedihkan melihat anak yang seharusnya
mendapatkan kasih sayang tetapi justru menerima
tindakan kekerasan hanya karena orang tua mengalami
stres dan tidak tahu harus berbuat apa. Bayangkan,
betapa wajah lugu dengan sorot mata berbinar itu
meredup cahayanya karena api kemarahan yang tidak
hanya membakar Anda, tetapi juga jiwa tunas muda yang
sedang tumbuh tersebut.

Mungkin Anda pernah mendengar kisah seorang ayah yang
memberikan sekantong paku kepada anaknya yang
berkelakuan buruk. Kisah ini semoga memberikan Anda
ruang untuk berpikir, sebelum meluapkan marah kepada
buah hati tercinta. Kisahnya demikian, setiap kali si
anak marah atau tidak bisa mengendalikan diri, Sang
Ayah menyuruhnya memaku sebatang paku di pagar. Hari
pertama, banyak paku yang tertancap di pagar. Tetapi
dengan berlalunya waktu, si anak sampai pada hari di
mana tidak sebatang paku pun perlu ia tancapkan. Maka
datanglah ia kepada Ayahnya.

Si Ayah menyuruhnya mencabut kembali satu batang paku
setiap kali ia berhasil sabar dan menahan marah.
Ternyata pekerjaan mencabut ini, lebih sulit daripada
memaku. Ada lubang yang ditinggalkan begitu paku
berhasil dicabut. Setelah semua paku berhasil dicabut,
ia dapati pagar tidak kembali utuh seperti semula, ada
banyak bekas lubang-lubang paku. Apa komentar Ayah
yang bijak ini?

"Kau bisa menancapkan pisau di punggung orang dan
mencabutnya kembali, tetapi itu akan meninggalkan
luka. Tidak perduli berapa kali kau meminta maaf atau
menyesal, lukanya tetap tinggal. Ketahuilah luka
melalui ucapan sama perihnya dengan luka fisik."

Mari kita ambil hikmah dari nasehat ini, kalau Anda
memarahi anak dan kemudian meminta maaf atas
kekhilafan tersebut. Mungkin suasana kedamaian rumah
akan kembali normal, tapi tahukah Anda bahwa
perasaannya yang tergores karena amarah Anda tidak
akan hilang begitu saja? Bahkan bisa jadi kemarahan
Anda atas kesalahan yang ia perbuat justru menjadikan
anak pasif, takut mencoba dan takut melakukan
kesalahan kembali.

Sekarang bandingkan dengan Iklan deterjen ini, yang
pasti akrab ditelinga orang tua. "Bagi saya, kotor itu
tidak masalah, karena di balik kotor ada belajar!"
demikian ujar si ibu menanggapi tingkah anaknya yang
menyebabkan bajunya kotor semua. Tidak ada rasa marah
meskipun aktivitas anak tersebut akan merepotkan ibu.
Menambah beban kerjanya karena harus membereskan,
membersihkan rumah dan menambah cucian kotor.

Memang, menjadi orang tua yang baik adalah "proyek"
yang tidak pernah selesai dilakukan orang tua. Bahwa
betapa sulitnya menjadi orang tua yang baik, betul
adanya. Salah satu yang paling sulit adalah bagaimana
orang tua bisa mengendalikan emosi dalam mengasuh
anak-anaknya. Umumnya yang terjadi adalah ketika
menghadapi kenakalan anaknya, orang tua kehilangan
semua teori yang telah mereka peroleh dari buku-buku
ataupun seminar mengenai pola asuh anak. Seberapa
efektif marah yang diekspresikan orang tua mampu
meredakan kenakalan anak? Dari literatur diperoleh
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa anak balita
masih belum bisa memahami hubungan antara tindakannya
yang 'nakal' menurut kacamata orang tua dengan pukulan
yang diterimanya. Anak hanya merasakan sakit karena
dipukul, tanpa tahu kenapa dipukul. Kalaupun ia tidak
lagi melakukan tindakan 'nakal'-nya, itu bukan karena
dia menyadari kenakalannya, tetapi lebih pada rasa
takut akan dipukul lagi.

Oleh sebab itu, kenapa Anda tidak marah dengan sepenuh
kasih sayang? Bukan berarti Anda meniadakan "marah"
dalam mendidik anak. Ketika Anda marah, haruslah dalam
kondisi bahwa kesalahan tersebut memang pantas untuk
dimarahi. Jangan campurkan kesalahan kecil dengan yang
besar, sehingga ketika saat Anda memang harus marah
itu akan berdampak efektif terhadap anak.

Biarkan anak menikmati setiap tahap kehidupannya.
Jangan tergesa-gesa membentuk dirinya. Apalagi
disertai emosi untuk mengaturnya sesuai dengan standar
Anda. Ingatlah mereka hanyalah seorang kanak-kanak,
bukan orang dewasa dalam tubuh yang kecil! Jadi
bersabar dalam menghadapi tingkah pola anak, adalah
sikap yang terbaik. Mereka bukan anak ikan, yang
begitu lahir langsung bisa berenang. Mereka juga bukan
anak ayam, yang begitu menetas langsung bisa jalan.
Mereka adalah anak manusia, yang memerlukan proses
untuk setiap tahap perkembangannya.

Perhatikan, betapa menggemaskan cara mereka belajar
merangkak, belajar berjalan, memasukkan makanan yang
berlepotan di lantai, atau ketika latah meniru satu
kata, tanpa mengerti makna. Hilangkan rasa marah bila
anak membuat kotor, atau bersikap "nakal", yang mereka
butuhkan adalah bimbingan dengan kasih sayang.
Bukankah selain sebagai "penyejuk mata orang tuanya"
anak juga sebuah "amanah" yang dititipkan Allah kepada
Anda, orang tuanya.

Moslem World
(Eva Deswenti)

Kirim email ke