Majalah Ummat, edisi No.29 Thn. IV/ 1 Feb 99 http://www.ummat.co.id/ummat/No.29_IV_1feb99/iptek.htm Makna di Balik Ocehan Bayi ====================== Bayi yang mengoceh tak karuan bukan berarti tanpa makna. Sebaliknya, itu pertanda kecerdasan dan proses belajar berbahasa. "Wo fe we. Li na li. De ko de. Ga ti." Inilah pola ocehan yang sering keluar dari mulut bayi usia lima-tujuh bulan. Kedengarannya ocehan itu tak bermakna. Padahal, bayi sebetulnya sedang membuktikan kecerdasannya. Selain bisa mengingat struktur sederhana percakapan orang dewasa, bayi juga mengoceh untuk membantunya agar mudah belajar bahasa saat bertambah usia. Dalam bahasa Mabel Rice, seorang spesialis percakapan di University of Kansas, "Ocehan bayi memainkan peranan penting dalam membantu kanak-kanak belajar bahasa." Ocehan bayi, ini diperkuat Patricia Kuhl, Direktur Departemen Speech and Hearing University of Washington, Seattle, sama dengan pelatihan membangun fondasi berbahasa. Mengoceh juga menunjukkan kecerdasan. Karena, bayi harus mentransformasikan suara untuk diselaraskan dengan kemampuan vokal mereka. Jadi, bayi tak cuma mengingat apa yang didengar dari orang tua, "Mereka harus mengubah suara orang dewasa menjadi frekuensi yang bisa digunakan," papar Kuhl. "Tepatnya, bayi melakukan analisis percakapan." Sebuah penelitian terbaru juga menolak anggapan yang meremehkan kemampuan dan kecerdasan bayi. Penelitian itu membuktikan, betapa bayi usia tujuh bulan sudah mampu mengenali aturan mirip bahasa abstrak dalam suku kata sederhana. Mengenali Perbedaan. Kesimpulan ini dituangkan oleh seorang psikolog New York University, Gary Marcus, penulis utama artikel yang mewartakan penemuan itu pada jurnal Science, edisi akhir Desember. "Bayi memiliki alat-alat belajar yang hebat," kata Marcus. "Kalau tidak, mereka tak akan mampu mempelajari hal-hal yang diketahui orang dewasa." Penelitian terakhir Marcus setidaknya telah memperkaya debat tentang bagaiman bayi belajar bahasa. Apakah ada bagian khusus pada otak bayi yang bertugas menguraikan bahasa, seperti diyakini linguis dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), Noam Chomsky? Atau apakah bayi belajar dengan mendengarkan kata-kata di sekelilingnya? Apakah belajar bahasa pada dasarnya tak ada bedanya dengan belajar mengikat tali sepatu? Marcus percaya, belajar lebih dari sekadar pengalaman biasa. Salah satu tujuan eksperimen Marcus, terutama adalah ingin menunjukkan bahwa kemampuan belajar dan penggunaan aturan tertentu tak tergantung pada sekolah atau instruksi eksplisit. Dalam eksperimen Marcus, kepada 45 bayi diperdengarkan rangkaian sejumlah kalimat. Isinya tiga jenis suara komputer yang mengandung satu suku kata. Pada awal suara sepanjang dua menit, semua kalimat tanpa makna punya pola serupa, seperti "li ti li, wo fe wo, ga ni ga". Polanya, kata ketiga selalu mengulangi kata yang pertama, atau disebut juga pola A-B-A. Bayi-bayi yang lain diperdengarkan pola A-B-B, "li ti ti, wo fe fe, ga ni ni", atau pola A-A-B, "li li ni, wo wo fe, ga ga ni". Lalu, eksperimen dilanjutkan dengan potongan suara kedua. Separo dari bayi-bayi itu mendengarkan suara dengan pola yang sama seperti pola pertama. Yang lain, mendengarkan satu dari dua pola yang lain. Kecerdasan bayi diukur dari berapa lama mereka memberi perhatian—khususnya cara mendengar dan melihat. Di depan speaker yang memainkan suara dipasang cahaya merah berkedip-kedip. Idenya, bayi-bayi akan melihat kedipan cahaya bila suara yang mereka dengar menarik, kata Marcus. Bila suaranya ternyata sudah pernah mereka dengar sebelumnya, perhatian bayi-bayi itu ternyata beralih. Bila potongan suara kedua menggunakan pola baru, mereka akan memberi perhatian lebih dan mendengarkan lebih lama. Bernalar Abstrak. Setiap bayi mengalami percobaan selama belasan kali. Kesimpulannya, rata-rata selama enam detik bayi hanya mendengarkan potongan kedua, yang menggunakan pola lama dan serupa. Sedangkan pada pola berbeda, mereka mendengarkan selama sembilan detik. "Itu artinya, kemampuan mempelajari aturan merupakan alat fundamental dalam pikiran bayi," ujar Marcus. Berdasarkan temuan Marcus, bayi juga bisa mengenali struktur-struktur kalimat, sebuah alat penting untuk belajar menggunakan bahasa. Hal lain yang diperhatikan Marcus adalah tentang kemungkinan masa depan bayi-bayi itu setelah beranjak besar. Masih perlu diketahui kelanjutannya, apakah bayi yang tes eksperimennya buruk, di kemudian hari nanti punya masalah saat berbicara atau memahami percakapan. Bila benar begitu, eksperimen Marcus bisa dijadikan alat diagnostik sederhana untuk melihat kanak-kanak mana yang butuh pelatihan bahasa ekstra. Juga, jangan dilupakan peran para orang tua. Suara-suara percakapan bernada cinta dan kasih sayang, yang dilontarkan saat bermain bersama bayi, jelas berdampak positif. Karena, bagi bayi, saat kebersamaan itu secara tidak langsung mengajarkannya untuk berbicara. (Surya Kusuma) http://pencarian-informasi.or.id/ - Solusi Pencarian Informasi di Internet Untuk melihat diskusi milis ini sebelumnya, klik: http://www.mail-archive.com/balita-anda@indoglobal.com/ -------------------------------------------------------------------------- "Untuk mereka yang mendambakan anak balitanya tumbuh sehat & cerdas" Berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Berhenti berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] HI-Reliability low cost web hosting service - http://www.IndoGlobal.com