Penolakan Makin Kuat

RUU APP Tidak Kompeten Menanggulangi Pornografi

Jakarta, Kompas - Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang
Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) semakin menguat. Kamis (23/2),
pada waktu yang sama di tempat terpisah di Gedung DPR RI berlangsung
diskusi publik dan konferensi pers, yang pada intinya menolak
substansi RUU tersebut.

Diskusi publik diselenggarakan di pelataran Gedung Nusantara II oleh
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan menghadirkan empat
narasumber dari pihak yang menolak RUU APP, yakni Putu Wijaya, Myra
Diarsi, Musdah Mulia, dan Ki Manteb Soedharsono.

Penolakan terhadap substansi RUU APP juga disampaikan berbagai
organisasi kemasyarakatan —di antaranya, Masyarakat Tolak Pornografi
(MTP), Media Ramah Keluarga (Marka), Jaringan Kerja Prolegnas Pro
Perempuan (JKP3), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan
Demokrasi (KPI), ICRP, LBH Jakarta, Fatayat NU—dalam pernyataan
bersama yang dibacakan Ratna Batara Munti dalam konferensi pers di
Ruangan Pers, Gedung Nusantara III.

Mereka menolak RUU APP sebab isinya tidak mengatur terperinci
pembatasan siaran media yang mengarah pada pornografi, distribusi
barang pornografi, dan perlindungan anak dari tayangan media atau
internet bernuansa pornografi. Juga digugat pengaturan pornoaksi yang
dinilai terlalu jauh masuk ke ruang privat, misalnya dengan mengatur
cara berpakaian dan berekspresi, serta mengabaikan keberagaman masyarakat.

Pada diskusi publik, sastrawan Putu dan dalang Ki Manteb secara tegas
menyatakan menolak substansi RUU APP. Menurut Putu, sebaiknya DPR
memfokuskan pembahasannya pada hal-hal yang lebih penting. Sebab,
segala hal yang diatur dalam RUU APP sudah terdapat dalam KUHP serta
beberapa UU lainnya.

"Tanpa menunggu UU ini, polisi sudah bisa bertindak untuk melindungi
masyarakat dari kecabulan. Tapi selama ini pelaksanaannya masih
seremonial," kata Putu.

Myra dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), menyebutkan bahwa pangkal kekisruhan RUU APP adalah
definisi pornografi dan pornoaksi yang tidak jelas. Hal itu membuat
RUU APP tidak kompeten dalam menanggulangi pornografi yang dampaknya
dirasakan bersama.

Pendapat senada disampaikan NKE Triwijati (pengajar Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya), dalam diskusi yang diselenggarakan Harian
Kompas dan Radio Sonora di Surabaya pada hari yang sama. Menurut
Triwijati, kalaupun RUU itu hendak diteruskan harus ada perubahan
mendasar dalam substansinya.

Narasumber lain dalam diskusi itu, sastrawan Budi Darma dan pengamat
media Sirikit Syah, pengadaan UU dan badan baru hanya akan menimbulkan
biaya tinggi dan kerumitan birokrasi.

"Tidak perlu membuat aturan terlalu detail yang justru dapat menjebak.
Selain itu, perlu dipertimbangkan kemajemukan adat istiadat serta
kepercayaan bangsa Indonesia," kata Budi.

Penyangga moral

Musdah mengingatkan agar RUU APP tidak dipolitisir dalam isu agama.
"Kita harus berpikir jernih agar tidak tersesat dalam isu yang politis
itu," katanya.

Ia menambahkan, dalam pandangan Islam bukan hanya perempuan yang harus
menjadi penyangga moral, melainkan juga laki-laki. "Dalam masyarakat
kita, dalam banyak aspek, yang dianggap sebagai penyangga moral hanya
perempuan. Kalau ada yang mengarah pada pornografi, yang disalahkan
perempuan," ungkapnya. (NMP/LAM/ATK)






http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke