Kemiskinan, Kesejahteraan, dan Kebahagiaan Ali Khomsan
Terkait kemiskinan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana atau BKKBN dan Badan Pusat Statistik atau BPS membuat standar berbeda. Kemiskinan di Indonesia kian cerah atau kian buram? Dalam disertasinya, Iskandar (2007) menemukan, contoh penelitiannya di Bogor yang tergolong miskin menurut BPS hanya berjumlah 15 persen. Akan tetapi, saat digunakan kriteria BKKBN, jumlah orang miskin menjadi 60 persen, meningkat empat kali lipat. Di pedesaan jumlah orang miskin menurut BPS, 7 persen, tetapi menurut kriteria BKKBN, 44 persen. Ini menunjukkan, menurut BPS, hidup orang yang tergolong tidak miskin pun juga tidak sejahtera. Kemiskinan dan kesejahteraan menjadi isu penting—apalagi di Indonesia—karena peningkatan ekonomi makro yang selama ini disuarakan pemerintah, banyak menyisakan pekerjaan rumah berupa kemiskinan dan lapangan kerja yang masih sulit. Krisis ekonomi 1998 meningkatkan jumlah orang miskin menjadi 24,23 persen. Tahun 2006, jumlah orang miskin turun menjadi 17,8 persen. Namun, angka ini masih lebih tinggi daripada jumlah orang miskin tahun 2005, (16 persen). Di pedesaan, kemiskinan kian menyeruak karena pemilikan lahan produksi kian sempit. Ini mendorong pengangguran terselubung atau melahirkan buruh-buruh baru di sektor pertanian, menyemai bibit kemiskinan yang berkembang. Menyertai transformasi struktural di sektor pertanian adalah konversi lahan dari penggunaan pertanian ke nonpertanian. Di Jawa, pada tahun 1984-1988, rata-rata 36.000 hektar lahan sawah telah dikonversikan ke permukiman dan industri. Harga yang relatif tinggi sering "merayu" petani untuk menjual sawahnya. Setelah itu mereka terpaksa memasuki profesi baru yang belum dikenal. Karena alih profesi itu tidak direncanakan secara saksama, banyak petani yang turun taraf hidupnya. Ukuran kesejahteraan Tidak kalah rumit, kemiskinan yang dialami buruh perkotaan, yang kebanyakan menjadi buruh kontrak tanpa jaminan hidup masa depan. Pemutusan kerja akibat masa kontrak habis, bisa menjerumuskan buruh industri ke jurang kemiskinan. Saat mereka menerima upah minimum regional (UMR) sebagai gaji bulanan, kualitas hidup mereka sebenarnya masih pas-pasan. Hilangnya pekerjaan menjadikan mereka sebagai orang miskin. Ukuran kesejahteraan lebih kompleks dari kemiskinan. Kesejahteraan harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kerohanian. Orang yang bisa berobat ke dokter bila sakit, dapat menjalankan ibadah agamanya dengan baik, dan mudah mengakses makanan bergizi, adalah orang sejahtera. Karena itu, ketidaksejahteraan dapat terjadi karena alasan ekonomi atau non-ekonomi. Kesejahteraan dapat diraih jika seseorang dapat mengakses pekerjaan, pendapatan, pangan, pendidikan, tempat tinggal, kesehatan, dan lainnya. Kesehatan adalah salah satu indikator kesejahteraan. Secara makro, ini dicerminkan oleh angka kematian bayi, angka harapan hidup, dan angka kematian ibu melahirkan. Berbagai indikator itu terkait mudah-tidaknya akses seseorang terhadap layanan kesehatan. Pendidikan menjadi kunci penting guna mengatasi kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Upaya pemerintah membagikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) ke sekolah-sekolah bertujuan agar masyarakat dapat mendapat pendidikan secara gratis atau murah. Masyarakat yang terdidik berpeluang meraih pekerjaan lebih baik sehingga mereka terhindar dari kemiskinan. Kini, fenomena perempuan bekerja sudah kian lazim. Mungkin ini terkait upaya meraih kesejahteraan lebih tinggi bagi rumah tangga, atau sekadar untuk menunjukkan jati diri perempuan. Studi menunjukkan, perempuan yang bekerja memiliki kepuasan hidup lebih tinggi dibanding yang tidak bekerja. Di pedesaan, buruh tani perempuan bekerja keras bukan untuk menunjukkan eksistensinya, tetapi agar kehidupan keluarganya kian sejahtera. Rumah tangga petani merasa lebih sejahtera bila telah memiliki rumah sendiri, anggota keluarganya tidak buta huruf, dan dapat menyekolahkan anak. Di perkotaan, beban berat yang dirasakan orang miskin adalah biaya pendidikan. Benar, pemerintah menggratiskan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), tetapi orangtua masih harus memikul biaya uang buku, transportasi, uang piknik, dan lainnya. Beberapa peristiwa tragis terjadi karena tidak mampu membayar kegiatan sekolah. Ini membuka mata kita, kemiskinan dapat mengakibatkan perbuatan nekat. Dua langkah Ada dua langkah besar yang bisa diambil untuk mengatasi kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Pertama, penyediaan fasilitas umum dan sosial bagi masyarakat kurang mampu. Pendidikan adalah pintu masuk utama untuk mengatasi kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia seolah sulit terpecahkan karena selama ini kita kurang hirau terhadap masalah pendidikan. Pendidikan akan membuat rakyat melek huruf, cerdas, kreatif, dan mampu bersaing dengan tenaga kerja dari mancanegara. Di perguruan tinggi, orang miskin kian sulit mendapat layanan pendidikan. Diciptakan beberapa jalur tes masuk untuk menjadi mahasiswa. Jalur mahal dengan persaingan lebih sedikit atau jalur murah dengan persaingan amat ketat. Kaum miskin memilih jalur murah dengan peluang diterima kian kecil. Terbebas dari kemiskinan atau ketidaksejahteraan adalah langkah untuk mendekati pintu kebahagiaan. Bahagia dapat didefinisikan sebagai keadaan tenteram, aman, terbebas dari segala hal yang menyusahkan. Bagi sebagian orang, bebas dari kemiskinan adalah prasyarat untuk mencapai kebahagiaan. Bagi yang lain, pemilikan harta bukan jaminan untuk meraih kebahagiaan. Ini mungkin benar bagi orang-orang berharta yang tidak memiliki masalah ekonomi. Namun, bagi orang miskin, tuntutan utama mereka adalah mendapat penghasilan yang layak dari hasil pekerjaannya. Aspek finansial adalah penentu kebahagiaan orang miskin. Uang memang bukan segalanya, tetapi tidak memiliki uang, segalanya bisa bertambah sulit. Ali Khomsan Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB