Harga Minyak dan Bencana Fiskal
Senin, 16 Juni 2008 | 00:18 WIB

A Tony Prasetiantono

Pekan lalu harga minyak menembus rekor baru, 139 dollar AS per barrel.
Angka ini benar-benar membuat frustrasi. Meski kemudian agak
terkoreksi ke bawah, harga minyak tetap di atas 135 dollar.

Pada titik ini, kian disadari ramalan harga minyak akan mencapai 150
dollar per barrel pada Juli atau Agustus 2008, serta 200 dollar AS per
barrel pada akhir 2008 atau mungkin 2009, bukan main-main. Ini
benar-benar serius.

Anehnya, pemerintah justru mengajukan asumsi harga minyak 120 dollar
AS per barrel untuk APBN 2009. Apakah pemerintah berusaha melakukan
persuasi, dengan mengais asa agar pasar dapat ditenangkan?

Tiga analisis minyak

Dari berbagai analisis mengenai fenomena kenaikan harga minyak, saya
mencoba memilahnya menjadi tiga jenis. Pertama, analisis yang
menjelaskan kenaikan harga minyak dari aspek fundamental ekonomi
(economic fundamental). Ekonom ahli perminyakan Italia, Leonardo
Maugeri (The Age of Oil, 2008), adalah yang terdepan dalam analisis ini.

Para penganut paham ini berangkat dari analisis, kenaikan harga minyak
dunia merupakan hasil tarik-menarik penawaran dan permintaan.
Penawaran tersendat karena operator minyak kekurangan insentif harga.
Hingga akhir 2002, harga minyak dunia hanya 30 dollar AS per barrel,
padahal biaya produksi semakin naik karena kian banyak sumur minyak
berada di lepas pantai (off-shore fields). Biaya eksplorasi
tambang-tambang yang terletak di laut dalam juga jauh lebih mahal.

Sementara itu, upaya mencari energi alternatif kerap kandas. Bahkan
Maugeri (2008: 282) menyindir, negara-negara Barat suka memberlakukan
standar ganda tentang isu nuklir. Saat negara-negara berkembang,
misalnya Iran, berusaha menemukan nuklir sebagai energi alternatif,
selalu dihambat dengan berbagai dalih.

Analisis kedua, menggantungkan analisisnya pada realitas sejarah dan
politik. Analis yang mengikuti jalur ini, antara lain Duncan Clarke
(Empires of Oil: Corporate Oil in Barbarian Worlds, Profile Books,
London, 2007). Clarke melihat komoditas minyak menjadi ajang perebutan
kekuasaan besar ("kekaisaran" atau empires) dalam perekonomian dunia.
Ia menggambarkannya sebagai barbarian, atau machiavellisme. Paham yang
diangkat Niccolò Machiavelli (1469-1527) dari Florence, Italia, ini
berkonotasikan negatif, cenderung manipulatif dan tak dapat dipercaya.

Dinamika industri minyak senantiasa terkait konflik dan perang, yang
diwarnai hasrat berkuasa. Dalam sejarah, ada empat tonggak terpenting
yang menyebabkan harga minyak bergolak dramatis. Pertama, konflik
Terusan Suez (1956). Kedua, konflik Arab-Israel (1973). Ketiga, perang
Teluk Persia (1991). Keempat, fenomena terorisme dan invasi AS ke
Irak. Daftar itu masih bisa ditambah dengan perang Irak-Iran yang
berlangsung delapan tahun sejak 1978. Dalam analisis ini, sepanjang
konflik tidak bisa dihentikan, harga minyak akan terus meletup-letup.

Analisis ketiga, mengaitkan kenaikan harga minyak dengan ulah
spekulan. Seiring semakin "canggih"-nya sektor finansial, para fund
manager (manajer keuangan yang mengalokasikan dana para investor
besar) pun rajin menciptakan kreativitas dan peluang. Hasilnya, ketika
sekian jenis investasi "konvensional" sudah tidak atraktif lagi,
minyak masuk wilayah spekulasi. Para spekulan juga memanfaatkan
informasi dan momentum saat supply dan demand minyak berimpitan ketat
pada keseimbangan 84 juta barrel per hari, yang memungkinkan
terjadinya eksplosi harga.

Charles Morris (The Trillion Dollar Meltdown, Public Affairs, New
York, 2008) memandang sektor finansial sudah seperti kasino, yang
harus dikoreksi. Menurut dia, perekonomian dunia sejak 1980-an
mengalami pergeseran dari manajemen yang berorientasi pada pemerintah
(government-centric) menuju ke orientasi pasar (market-driven). Inilah
faktor kunci kebangkitan perekonomian AS pada 1980-an dan 1990-an.

Namun, rangkaian peristiwa yang terjadi di sektor finansial akhir-
akhir ini (kebangkrutan hedge fund terkenal LTCM, Long-Term Capital
Management, 1998; skandal Enron dan Worldcom, 2001; hingga kasus
subprime mortgage, 2007) menyebabkan ia berpikir pasar yang dogmatis
seperti ini telah menjadi masalah besar.

Karena itu, "bandul jam" sudah seharusnya mulai mengayun ke arah yang
berbeda. Maksudnya, orientasi pasar secara habis-habisan harus
dikoreksi. Memang, sebesar apa pun kepercayaan kita kepada pasar
(market fundamentalism), harus disadari bahwa pasar pun sering
mengalami kegagalan dalam memenuhi kehendak publik. Saat pasar
mengalami kegagalan (market failure), pemerintah harus berinisiatif
mengoreksinya. Ini pula yang diajarkan John Maynard Keynes (1936),
ketika dirinya frustrasi menghadapi depresi ekonomi dunia.

Karena itu, menurut hemat saya, kini saatnya muncul semacam "Keynes
baru" untuk mengoreksi frustrasi sektor finansial dan kenaikan harga
minyak. Koreksi itu bisa dimulai dengan memberlakukan regulasi ketat
pada hedge fund, yang selama ini tidak atau minim tersentuh regulasi
oleh otoritas finansial di AS (Securities Exchange Commission/SEC).

Koreksi pasar dan liberalisme

Berdasarkan analisis itu, saya merasa sudah tidak mungkin lagi kita
berharap pada mekanisme pasar dan liberalisme untuk mengoreksi harga
minyak. Tanpa campur tangan pemerintah negara-negara kunci, mustahil
kita berharap harga minyak tidak mencapai 150 dollar AS per barrel,
atau bahkan 200 dollar AS per barrel, sebagaimana akhir-akhir ini
diprediksikan Goldman Sachs.

Runyamnya pasar finansial dan kenaikan harga minyak, akibat terlalu
percaya kepada pasar dan liberalisme, harus segera dikoreksi. Ada
saatnya mekanisme pasar dan liberalisme dipercayai dan memberi banyak
manfaat. Ini harus diakui. Namun pada saat lain, bisa saja pasar dan
liberalisme mengalami kegagalan dan kontraproduktif, bahkan berpotensi
menghancurkan perekonomian dunia secara kolektif. Bila ini terjadi,
koreksi pemerintah di sejumlah negara harus dilakukan. Hal inilah yang
belum saya lihat, adanya gerakan signifikan dari negara-negara besar.
Jika pembiaran ini berlarut-larut, asumsi harga minyak 120 per barrel
seperti dalam APBN 2009 akan segera menjadi wishful thinking.

Dengan asumsi optimistik itu, APBN 2009 mengandaikan subsidi BBM Rp
155 triliun dan subsidi listrik Rp 77,9 triliun. Pada situasi ini,
belanja pemerintah dalam APBN melonjak menjadi Rp 1.143 triliun.
Sedangkan defisit APBN akan mencapai Rp 83,5 triliun, setara dengan
1,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Masalahnya, apakah asumsi itu realistis? Jika harga minyak 150 dollar
AS per barrel, rasanya kita masih selamat. Pada tingkat harga itu,
defisit APBN belum melampaui 2 persen. Tetapi jika harga minyak dunia
mencapai 200 dollar AS per barrel, semua asumsi bakal jungkir balik
dan terjadi bencana fiskal (fiscal disaster). Upaya penyelamatannya
terletak pada pemangkasan pengeluaran dan memperkecil kebocoran
penerimaan pajak. Opsi menaikkan harga BBM lagi pasti dihindari karena
faktor pemilu.

Di luar itu, yang tak kalah penting, kampanye dan lobi internasional
untuk mencegah harga minyak 200 dollar AS harus digiatkan. AS, sebagai
negara yang paling boros (konsumsi minyaknya 22 juta barrel sehari,
atau 25 persen konsumsi dunia), harus berada di barisan terdepan
kampanye ini. Mereka juga harus menata hedge fund agar tidak memiliki
terlalu banyak "ruang kreatif" sehingga menjadikan minyak dan sektor
finansial sebagai ajang kasino.

Tampaknya, dunia sedang menantikan lahirnya "Keynes baru" guna
mengakhiri petaka yang belum diketahui ujungnya ini.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief
Economist BNI


Kirim email ke