Sok inget kasus Inul..dicerca dipoyok dibreidel teu meunang itu teu meunang
ieu..aeh masyarakat ti sagala laipasan malah ngadukung..teu make dalil2
agama..teu make etika moral..tapi ningali apoosan wanita desa anuek
ngahontal kapopuleran di Indonesia keur neangan rejeki...anu moyok utamana
ti kalangan sasama seniman dangut..tokoh awewe..anu sok moralis..pada ti
juralit..karir mandeg..euweuh nu naggap...sabalikna dyukungan ka Inul..malah
mantep malah aya pangacara kondang siap bela mati2an..hasilna Inul jalan
terus ...jadi milyarder anyar...asa teubedea jeung Pilpres ayeuna...Jangji
SBY mah ngan rek ngomean anu can alus jeung teruskeun siga Agnes Monica
wae.........

2009/7/13 waluya2006 <waluya2...@yahoo.co.id>

>
>
> Dua taun ieu, kuring geus ngiluan milih opat kali, taun tukang, milih
> walikota
> Bandung jeung gubernur Jabar, taun ieu Pileg jeung Pilpres. Ngalaman
> suasana
> kampanye oge opat kali. Anehna, kuring lain tambah sumanget ku suasana ieu
> teh,
> tapi malah beuki "frigid" alias "dingin" ...hehehe, bakating ku bosen
> meureun.
> Dina palah-pilih oge sangeunahna we, teuing milih sacara emosional atawa
> milih
> sacara rasional, nu penting ngiluan we.
>
> Sigana nu ngarasa bosen lain kuring wae, da geuning aya artikel Putu Setia
> dina
> kolom Tempo interaktif, nu nyaritakeun soal kabosenan ieu:
>
> Jenuh
> Putu Setia
> Tempo Interaktif, Sabtu, 11 Juli 2009 | 22:53 WIB
>
> Hasil hitung cepat pemilihan presiden membuat saya kaget. Bukan karena
> SBY-Boediono menang, melainkan lantaran JK-Wiranto kalah telak. Sebelumnya,
> saya
> mengira suara JK-Wiranto tak buruk amat. Ini karena dukungan gencar
> tokoh-tokoh
> bisnis, pimpinan organisasi keagamaan, sampai budayawan.
>
> Saya tak tahu apa yang salah. Maklum, bukan peneliti. Dalam ranah agama,
> hubungan umat dengan tokoh agamanya biasanya erat banget. Kalau ulama atau
> pendeta menyebut sesuatu itu menyimpang dan jangan dilakukan, umat
> mengikutinya
> dengan patuh. "Tapi tidak dalam politik praktis," kata sahabat saya, yang
> menyebut dirinya peneliti masalah sosial. "Begitu agama dikaitkan dengan
> politik, yang hancur bukan hanya tokoh itu, tapi apa yang disarankan tokoh
> itu
> juga langsung dicurigai dan ditolak. Padahal boleh jadi saran tokoh itu
> sebelumnya sejalan dengan umat."
>
> Saya tak berkomentar ketika sahabat saya itu menghubungkan hal ini dengan
> kecilnya suara JK-Wiranto. Namun, saya setuju, agama hendaknya jangan
> dibawa ke
> masalah politik. Berdasarkan pengalaman selama ini, partai politik yang
> berbasis
> agama tak pernah menang mutlak. Mungkin karena sejarah bangsa ini dibangun
> berdasarkan kebinekaan etnis serta keberagaman agama, dan masyarakat masih
> ingin
> mempertahankan sejarah. Jadi sebaiknya pemimpin ormas keagamaan tetap dalam
> wilayah netral. Kasihan umatnya dan kasihan pula partai politik yang
> didukung
> itu--baik dukungan nyata maupun "bisa diduga"--yang hanya mendapat "pepesan
> kosong".
>
> Yang saya ketahui dari hasil pemilihan presiden kali ini adalah ada
> kejenuhan
> yang tinggi di masyarakat pedesaan terhadap "pemilihan". Ini bukan
> penelitian
> ilmiah, hanya pengamatan dari ngobrol kanan-kiri karena keseharian saya
> lebih
> banyak di pedesaan. Masyarakat jenuh dengan "pemilihan". Ada pemilihan
> kepala
> desa, pemilihan umum legislatif, pemilihan bupati, pemilihan gubernur,
> pemilihan
> presiden. Di setiap pemilihan bertabur bendera, umbul-umbul, dan yang
> paling
> membuat orang jenuh--ditambah muak--adalah janji-janji. Suara bising ini
> membuat
> masyarakat terganggu.
>
> Pemilihan presiden yang lalu bisa jadi puncak kebisingan. Dalam gaduh
> kebisingan, masyarakat melecehkan janji-janji, termasuk yang disebut
> "kontrak
> politik". Bahan pokok murah, pupuk gratis, petani langsung sejahtera,
> nelayan
> jadi kaya, pedagang diberi modal, uang semiliar rupiah untuk satu desa,
> laptop
> untuk mahasiswa. Semuanya belum dicerna, masyarakat sudah mencibir duluan:
> "Itu
> lagu lama minta dukungan. Kalau saja janji itu dilaksanakan, masyarakat
> sudah
> sejahtera, bukankah bupati dan gubernur sudah terpilih?"
>
> Semakin banyak tokoh mengumbar janji, semakin ditolak, karena kepercayaan
> terhadap tokoh politik sudah runtuh. Tentu, ini bukanlah kesalahan sang
> tokoh
> yang baru, melainkan kesalahan beruntun tokoh-tokoh sebelumnya. Dari sudut
> ini
> bisa dimengerti kenapa SBY-Boediono menang mutlak. Masyarakat sepertinya
> tak
> ingin ada tokoh "yang coba-coba". Kepopuleran SBY sudah tertanam jauh di
> hati
> masyarakat, ditambah lagi negeri yang "aman-aman saja tanpa gejolak". Bagi
> orang
> desa, semakin SBY diserang, semakin mantap didukung karena para
> penyerangnya
> juga sudah dikenal. Ada komentar yang saya dengar, maaf, berbau kampungan:
> "Dipasangkan dengan sandal jepit pun SBY pasti menang."
>
> Meski saya juga yakin SBY menang--saya tak mencontreng karena
> bepergian--saya
> tak menduga suaranya begitu besar. Jika betul menang satu putaran, ini bisa
> mencairkan kejenuhan di masyarakat. Yang jelas, JK tetap saya kagumi,
> beliau
> kesatria sejati: kalah tanpa dendam.
>
>  
>

Kirim email ke