dari
http://vgsiahaya.wordpress.com/2008/12/14/hatta-kecipratan-maaf-kencing-soekarno
Hatta Kecipratan (maaf) Kencing
Soekarno<http://vgsiahaya.wordpress.com/2008/12/14/hatta-kecipratan-maaf-kencing-soekarno/>

Kalau menyebut Soekarno, pasti mutlak akan menambahkan dengan kata Hatta
dibelakangnya. Sebaliknya pun begitu. Keduanya seperti senyawa. "Soul mate",
kata orang menjuluki. Soekarno tanpa Hatta, seperti ban tanpa mobil. Mobil
tanpa ban, ya 'gak ada gunanya juga. Seperti Hatta tanpa Soekarno. Begitu
senyawanya hubungan kedua orang itu, hingga menjadi satu individu: SOEKARNO
HATTA.

*'Dikenali' *

Tak banyak diantara kita yang ingin tahu, kapan sebenarnya Mohammad Hatta
bertemu Soekarno pertama kali. Mereka diperkenalkan bukan dalam sebuah
sekolah/institusi atau ketemu di jalan. Atau pun ngobrol kebetulan lagi
antri, sambil tukar kartu nama atau pun saling barter nomor telepon. Mereka
bertemu secara maya melalui argumentasi perang kata dalam berbagai tulisan.
Meski beda watak dan pembawaan, ekspresi mereka sama: anti penindasan. Bukan
kemerdekaan! Lho koq?  Soal ini mereka beda mata angin.

"Pendidikan rakyat dulu, baru merdeka", pendapat Hatta. "Oh tidak! Merdeka
dulu baru pendidikan", Soekarno ngotot. "Jalan Bung (Hatta) akan tercapai
kalau hari kiamat", tegas Soekarno memberi alasan. Analoginya, kabur dulu
dari penjara. Masalah pakai baju atau tidak, mau lari kemana, setelah itu
makan apa, itu urusan no. 17. Yang penting, kabur dulu! Merdeka. Keduanya
sama-sama benar. Yang salah siapa? Ya kita sekarang! Kenapa nggak mau
pinter-pinter meski sudah merdeka dibebaskan Soekarno Hatta sebagai bangsa,

Hatta bertemu pertama kalinya dengan manusia yang bernama Soekarno di
Bandung. Dia diantar oleh seorang nasionalis yang juga kawan Soekarno pada
tahun 1933. Masa itu mereka lagi getol-getolnya melawan penindasan dengan
ketajaman berpikir. Pertemuan itu membuat mereka berada dalam satu perahu,
tapi lain pemandangan. Hatta memandang ke kanan, Soekarno ke kiri, tapi
perahu tetap ke depan. Ke arah kebebasan bangsa.

Soekarno sangat memerlukan Hatta dan begitu sebaliknya. Waktu pulang dari
pembuangan di Bengkulu tahun 1942 (sebelumnya di Flores), tak ada yang
menjemput Soekarno di Pasar Ikan, sebuah pelabuhan kapal kayu di Jakarta.
Dengan pertolongan seorang nelayan, Soekarno minta dipanggilkan Anwar
Tjokroaminoto, yang memang bekas iparnya. Anwar itu saudara kandung Utari,
istri pertama Soekarno, yang juga putri dari pejuang Haji Oemar Said
Tjokroamninoto (Maia Ahmad Dhani juga cicitnya Oemar Tjokroaminoto, tapi
saya 'gak tahu dari anak Pak Tjokro yang mana). Lalu Soekarno juga minta
dipanggilkan Mr. Sartono, pengacara yang pernah membelanya melawan penguasa
kolonial di pengadilan yang tak adil di Bandung beberapa tahun lalu. Tapi
ada satu orang lagi yang dimohon Soekarno untuk datang menjemput, ya Hatta.

Bahkan ketika Jumat pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno yang sedang
demam meriang sambil  tidur-tiduran di kamarnya, hanya menunggu Hatta untuk
membacakan naskah proklamasi. Untungnya Hatta orang yang super super super
disiplin, jadi dia datang tepat waktu. 'Gak kebayang kalau Hatta molor dan
baru datang pukul 1 siang. Alasan ngantuk atau ketiduran misalnya (saat itu
bulan puasa dan Hatta pulang pagi abis begadang menyusun naskah proklamasi).
Kalo Hatta telat datang, detik-detik bersejarah proklamasi kita mungkin
bukan pukul 10, tapi pukul 1 siang, sesuai datangnya Hatta. Begitu
pentingnya Hatta bagi Soekarno.

*'Dikencingi' *

Hari Rabu, 8 Agustus 1945, dr. Soeharto, dokter kesayangan Soekarno,
mendapat perintah dari majikannya. "To, besok kita pergi ke luar negeri.
Sama Bung Hatta!", ajak Soekarno. Sang dokter panik dan ketakutan. Hari gini
ke luar negeri? Pikir dr. Soeharto yang gundah dengan ajakan yang penuh
bahaya, di saat Indonesia masih menjadi teater perang antara Jepang dan
Sekutu.

"*Kemana", tanya dokter penasaran.*

*"Rahasia. Pokoknya ke luar negeri", jawab Soekarno singkat. *

Esoknya, Soekarno, bersama Hatta dan KRT Radjiman Wediodiningrat (saat itu
tokoh senior dalam gerakan kemerdekaan), juga dr. Soeharto pergi menemui
Marsekal Hisaichi Terauchi, panglima tentara Jepang yang menguasai Asia
Tenggara. Mereka berempat ke Dalat, markas Terauchi, di pinggiran kota
Saigon (sekarang Ho Chi Minh City), Vietnam, dalam rangka pembentukan sebuah
badan yang mempersiapkan kemerdekaan.

Tanggal 13 Agustus 1945, mereka kembali ke Jakarta dengan mampir ke
Singapura terdahulu, menggunakan sebuah pesawat pembom bermesin ganda. Tanpa
kursi. Tanpa toilet. Yang ada cuma kursi untuk tiga orang di belakang pilot.
Dinding pesawat pun bolong-bolong bekas terkena peluru tentara Sekutu,
sehingga bisa membekukan orang bila sedang di udara.

Nah, dalam perjalanan ke Singapura itu, Soekarno kebelet mau pipis. Wah,
gawat! Gak ada toilet atau apa saja dech yang bisa dijadikan "toilet
darurat". Terpaksa, Soekarno melepas hajat kecilnya yang gak bisa ditahan
lagi, dekat lubang yang bolong di bagian belakang pesawat. Angin pun sedang
bertiup kencang di atas ketinggian udara. Byuuuur… air seni Soekarno nyiprat
kemana-mana, dan butir-butiran halus air seni itu tampias terkena tiupan
angin kencang yang mengenai Hatta dan penumpang lain.

*'Dinikahkan'*

Kalau saja Hatta itu perempuan atau sebaliknya Soekarno seorang perempuan,
mungkin mereka berpacaran dan menikah. Sebuah perumpamaan untuk melukiskan
hubungan yang mesra seirama tapi tetap berbeda. Ya beda, dua orang yang
berasal dari kultur sosial jauh saling berseberangan. Soekarno luwes (kalo
mau 'gak dibilang genit) sama wanita. Hatta sebaliknya, kaku dan bisa merah
mukanya bila berhadapan dengan wanita, apalagi yang manis sebaya.

Saking kakunya dengan lawan jenis, Hatta yang tersita pikiran cemerlangnya
untuk kebebasan Indonesia, lupa dengan perempuan. Mikirin pacaran intens
saja tidak, apalagi berumah tangga. "Nanti saja dech kalau Indonesia sudah
merdeka", kata Hatta kalau ditanya kapan menikah.

Akhirnya Indonesia merdeka juga. Tanda-tanda Hatta mau melirik perempuan
belum nampak. Sekitar sebulan setelah dia dan Soekarno memerdekakan
Indonesia, Soekarno kepikiran juga dengan partnernya, yang akhirnya bersedia
menepati janji kawinnya. Hatta sudah punya incaran gadis, tapi kurang berani
untuk melamar.

Pada menjelang tengah malam di kota Bandung yang diselimuti udara dingin,
Soekarno kebetulan sedang di kota itu. Jarum jam menunjuk angka 11. Artinya
sudah larut untuk ukuran Bandung kala itu. Orang pun sudah siap bermimpi
pulas di tempat tidur. Tiba-tiba saja, Soekarno mengajak sahabat karibnya
dr. Suharto, untuk pergi ke rumah keluarga Abdul Rahim. Rumahnya kalo
sekarang di Jalan Pajajaran no 11.

"*Malam begini bertamu?", tanya sang dokter keheranan.*

"'Gak apa-apa. Mereka kenalan lama saya sejak dulu", jawab Soekarno enteng.
Dokter Suharto masih penasaran diajak bertamu larut malam. Pasti ganggu tuan
rumah, pikirnya Apalagi saat itu tentara Jepang masih berkeliaran yang
mencekam warga. Sepertinya ada yang kepepet untuk dibicarakan Soekarno
dengan pasutri Abdul Rahim.

"Tentang Bung Hatta", akhirnya Soekarno menjelaskan alasannya bertamu
malam-malam ke rumah orang. Waktu Hatta bersama Soekarno meninjau Instituut
Pasteur di Bandung, Hatta kesemsem dengan seorang gadis yang bekerja disitu.
Gadis itu setelah diselidiki Soekarno, ternyata anaknya pasutri Abdul Rahim.
Namanya Rahmi. "Ya, Hatta memilih anakku sendiri", ujar Soekarno yang sudah
mengental kenal lama orang tua Rahmi.

Begitu Soekarno mengetuk pintu dan berdiri di depan rumah, Ibu Rahim (ibunda
Rahmi) segera keluar. Prat! Soekarno didamprat tuan rumah! Iyalah,
malam-malam koq ganggu  orang mau tidur, apalagi orang Bandung masih ngeri
kalo-kalo yang datang itu tentara Jepang. Maklum, Indonesia baru sebulan
merdeka. Jadilah Ibu Abdul Rahim, sebagai warga negara Indonesia pertama
yang mendamprat Presiden Republik Indonesia! Kebetulan sekali saya sekantor
dengan cicitnya yang cantik dari Ibu Rahim, si "wanita pemberani' itu.

Setelah memeluk Ibu Rahim, Soekarno menjelaskan kedatangannya. "Saya melamar
Rahmi untuk Hatta", katanya. Akhirnya Soekarno dipersilahkan menemui yang
bersangkutan di kamarnya. Soekarno berbincang serius secara singkat dengan
Rahmi. Namun sebelum Soekarno masuk ke kamar, adik kandung Rahmi, Titi,
mencegahnya. "Jangan mau, dia (Hatta) jauh lebih tua dari kamu". Hatta beda
usia 24 tahun dengan Rahmi. Titi kelak jadi istri Soebijakto, KSAL 1974-1978
dan juga ibunda dari koreografer Jay Soebijakto.

Sebelum pamit, Soekarno memeluk hangat Rahmi dan Titi, dua gadis yang sudah
seperti anaknya sendiri. Bagai kisah HC Andersen, akhirnya Hatta menikahi
Rahmi bulan November 1945 di vila Hatta yang sejuk di Megamendung, Jawa
Barat, hanya disaksikan keluarga dekat, dan sahabat sejatinya, Bung Karno
dan Fatmawati. Nah, untuk pertama kalinya Presiden RI menjadi mat comblang.
"Aku adalah satu-satunya kepala negara yang juga menjadi calo dalam mengatur
perkawinan", kata Soekarno yang juga menjodohkan Ir. Rooseno, teman
kuliahnya yang mendapat julukan Bapak Beton Indonesia, serta serentetan
daftar orang yang ingin menunggu dijodohkannya.

*'Dijauhi'*

Hatta dan Soekarno seperti koin bermuka ganda. Satu tapi beda. Kenyataan ini
sudah diketahui publik dan Soekarno sendiri sering menggembar-gemborkan
pertentangan antara mereka. Tapi bukan perbedaan sebagai sahabat dan
pribadi. "Hatta sering tidak seirama denganku", kata Soekarno menilai
sahabat kentalnya. Perbedaan dalam pandangan politik itu, kian lama
menggunung dan mudah dilihat orang. Hasilnya, Hatta tak mau lagi mendampingi
Soekarno menjadi nakhoda Indonesia. Hatta mundur sebagai wakil presiden pada
akhir tahun 1956. Padahal meski berbeda, Hatta menyukai Soekarno. Buktinya,
ketika ibukota Indonesia pindah ke Jogjakarta, Hatta lebih senang ikut
Soekarno dan membiarkan PM Sutan Sjahrir sendirian di Jakarta. Padahal
Sjahrir dan Hatta banyak se-ide, bahkan se-kampung.

Sejak Hatta mundur, Soekarno berjalan sendirian. Tak ada lagi orang sebagai
"second opinion-nya" Soekarno.  Dan ini secara perlahan mengantarkan
Soekarno ke ujung jalan akhir kekuasaannya. Hatta makin menjauhi Soekarno
dan menghiasi keretakan itu dengan tulisan dan opini yang kritis pedas
kepada sahabatnya. Kritik santun untuk menuntun sahabatnya agar berjalan
sesuai idealisme yang pernah mereka bangun bersama. Pernah sebuah majalah
keagamaan dilarang terbit Soekarno, karena memuat tulisan Hatta yang
mengkritik Soekarno. Sejak itu dwitunggal menjadi dwitanggal. Berakhirlah
Dynamic-Duo yang pernah dimiliki Indonesia. Tapi sekali lagi, mereka tidak
berpisah sebagai sahabat. Sebagai pribadi mereka tetap berkawan akrab.
Dengan sangat elegan, mereka berdua bisa membedakan wilayah pribadi dan
wilayah politik. Beda jauuuuh dengan kita sekarang.

*'Dihormati'*

Begitu hormatnya Soekarno dengan Hatta, dia memerintahkan pengawal
kepresidenan untuk tetap menjaga keselamatan keluarga Hatta, meski tidak
lagi sebagai wakil presiden. "Jaga Bung Hatta baik-baik", pesan Soekarno
kepada kepala pengawalnya, Mangil Martowidjojom setelah Hatta mundur.

Bila Hatta sakit, Soekarno sigap membesuknya dan kadang bercengkrama di
rumah Hatta di Jalan Diponegoro, yang cuma 25 meter jaraknya dari rel kereta
api. Bahkan sering Soekarno pamit dulu ke Hatta, bila ingin berkunjung ke
luar negeri. Saling hormat kedua orang ini, menular sampai ke keluarga.
Kedua keluarga mereka sudah seperti sedarah, padahal belum ada perkawinan
antara anggota keluarga mereka.

Ketika Soekarno sudah tak berdaya, Hatta-lah yang mewakili keluarga Soekarno
untuk urusan keluarga, seperti pernikahan. Hatta juga yang membela
mati-matian Soekarno yang sudah tiada, bila ada pemutarbalikan sejarah yang
sering dilakukan 'sejarawan pesanan', yang mencoba 'membunuh' atau
menghilangkan peran Soekarno dalam drama sejarah Indonesia. Suatu hari,
pernah Hatta menulis kesaksian alibi sejarah di atas kertas bermaterai,
untuk membela sahabatnya itu. Hatta sosok tegas yang lembut super sopan.
"Bung Hatta orangnya tenang tapi menghanyutkan", komentar Guntur tentang
sahabat ayahnya itu.

Julukan yang mereka dapat pun aneh dan unik: PROKLAMATOR. Tidak pernah akan
ada orang Indonesia dapat predikat itu. Pahlawan nasional bisa membludak.
Presiden dan wakil presiden akan membengkak jumlahnya. Tapi proklamator,
hanya punya SOEKARNO dan HATTA (ada juga sich 'proklamator lain' di
Indonesia, seperti upaya separatis kemerdekaan di beberapa daerah
Indonesia).  Lucunya, gelar itu baru diberikan secara resmi oleh pemerintah,
41 tahun setelah Indonesia merdeka. "It's too late", kata orang. "Ngapain
aja pemerintah semala ini?", begitu segelintir komentar.

Hatta dan Soekarno ibarat malam dan siang. Beda, Tapi dua-duanya berguna.
Kita tak bisa hidup tanpa tidur di malam senyap. Namun tak mungkin pula
menjalani seluruh hidup hanya dengan tidur-tiduran di kegelapan hari.

*Sebagai sahabat sejati, ada awal bagi Soekarno dan Hatta membangunnya. Tapi
persahabatan sejati mereka tidak akan pernah berakhir. Tidak akan pernah!
Sampai kapanpun… Mereka SATU. *


-- 
http://profmustamar.com
http://cimut.orangbiasa.com
http://orangbiasa.com

Kirim email ke