Ini spekulasi saya saja tentang suasana serem yang tipikal di klenteng. Klenteng khan sudah eksis lama sekali sebelum orang tahu listrik. Di jaman sebelum ada listrik itu, tentu saja orang-orang sana menggunakan lilin buat penerangan. Fungsi lilin ini pertama-tama sekali yach tentu saja untuk penerangan. Tapi kemudian orang pun sadar bahwa lilin biasa itu baunya nggak enak, sehingga mereka pun meramu bahan lilin supaya jika terbakar baunya itu jadi harum. Situasi ini bertahan lama sekali, paling tidak cukup lama untuk terekam ke dalam memori kita.
Di sisi lain, otak kita pun katanya juga paling sensitif serta ingat terhadap bau meski secara rasional kita yach sering tidak sadar bahwa perilaku kita itu sebetulnya dipengaruhi oleh bau-bauan atau aroma tertentu itu. Gara-gara cuman membaui makanan saja kita bisa ngiler; membaui parfum tertentu kita ingat pacar kita yang ini atau itu; sementara membaui aroma tertentu bisa langsung memicu memori kita ke masa kecil atau pun ke waktu-waktu tertentu yang spesifik. Sensitivitas otak terhadap bau-bauan aroma ini saya yakin jelas-jelas merupakan salah satu peninggalan terpenting nenek moyang species kita dari jaman berburu dalam urutan evolusi kita. So, memori kita secara umum terhadap klenteng pun jadi secara spesifik ingat terhadap bau-bauan yang keluar lilin maupun kemenyan di sana. Padahal, bau itu pada awalnya hanyalah merupakan sesuatu yang secara fungsional tidak direncanakan sama sekali. Bau-bauan itu pertama-tama sekali hanyalah merupakan akibat sampingan dari kebutuhan yang nyata akan penerangan. Persis kayak jaman kita juga, pake laptop atau PC pun kita bisa main mp3, tapi jelas itu nggak cukup dan kita pun perlu iPod yang portable. 'Design follows function' katanya, 'sekali function itu sudah bisa dibereskan secara teknis'. Akibatnya buat kita yang hidup di jaman listrik, klenteng pun jadi kelihatan serem karena lilin yang sudah ketinggalan jaman itu pun masih dipertahankan. Kita tahu bahwa penerangan dari listrik bisa terang benderang kayak di surga yang penuh cahaya; sementara penerangan dari lilin cenderung suram remang-remang. Di jaman dulu orang tidak punya perbandingan karena mereka pun tidak kenal listrik dan tahunya cuman menggunakan lilin, sehingga kesan remang-remang serem pun yach tidak ada sama sekali wong di mana-mana pun yach remang-remang. Tapi buat kita di jaman ini yang punya kesadaran lain atas listrik, otomatis kita pun punya perbandingan antara -- penerangan dengan listrik dan dengan lilin. Dari perbandingan inilah terus keluar kesimpulan bahwa yang satu cenderung serem remang-remang. Tapi fungsi lilin di klenteng tradisional pun kelihatannya bakal dipertahankan terus untuk fungsi yang berbeda. Pada awalnya sekali, lilin dan segala aromanya itu betul-betul punya fungsi fisik yang dibutuhkan -- yaitu untuk penerangan. Tapi sekarang, kalau pun klenteng masih mempertahankan lilin plus aromanya itu, yach jelas fungsinya adalah untuk memicu memori kita terhadap historisitas eksistensi klenteng itu. Urusan lilin-lilinan ini jadi menarik kalau mau dilihat di Kristen. Melihatnya begini: Kristen khan punya ribuan sekte, nah..., ribuan sekte ini bisa dipilah jadi dua: yang satu lahir setelah manusia kenal listrik dan satunya lagi sebelum manusia kenal listrik. Perhatikan begitu maka langsung kelihatan bahwa sekte-sekte yang sudah eksis dari jaman pra-listrik pun jadi lebih kayak klenteng, gemar menggunakan lilin untuk merekonstruksi memori mereka atas eksistensinya. Seperti gereja Katolik misalnya, maka lilin pun bertebaran di mana-mana menimbulkan rasa ngeri atas dominasi hantunya si Yesus yang mati penasaran di salib. Sementara di antara sekte Kristen yang dari lahirnya sudah kenal listrik, maka kebutuhan untuk merekonstruksi memori mereka dengan lilin pun jadi tidak relevan. Sekte-sekte Kristen pasca-listrik ini tidak keberatan untuk kumpul-kumpul di hotel atau pun di kuburan atau pun di klenteng -- wong identitas kulturalnya praktis masih kosong melompong. Anda suka klenik? Orang Indonesia khan gila klenik!? Nah, satu hal yang menarik disimak ialah: kenapa dukun-dukun PERLU menggunakan menyan lilin dan segala macam pernik-perniknya itu? Pilihan serta tindakan itu JELAS rasional meski di permukaannya sendiri yach nyata-nyata klenik. So, apa RASIONALITAS dibalik penggunaan alat-alat klenik itu? Kenapa para dukun di mana saja (jowo bule voodoo) tidak menggunakan becak atau stetoskop atau pun palu arit buat memanggil orang mati, tapi mereka selalu saja butuh lilin atau obor, menyan serta segala macam aroma bunga-bungaan? Film modern model 'Haunted House' pun nggak ketinggalan dari hal beginian! Secara strategis mereka memilih idiom-idiom visual yang secara nyata bisa digunakan untuk merekonstruksi situasi kematian. 'Tak pikir, sekali lagi ini pun 100% mneumonics. Kalau saya mau manggil presiden, maka otomatis saya yach harus menyiapkan rumah saya agar bisa cukup representatif dan presidensial agar si presiden mau datang. Maka kalau saya mau manggil setan atau orang mati pun, logikanya yach persis sama saja. Situasi 'rumah' saya pun yach perlu representatif buat si setan untuk datang. Yang menarik tentu saja yach menelusuri persepsi kita 'situasi setani atau orang mati' itu sendiri seperti apa. Karena jawaban atas pertanyaan itulah yang kemudian menjadi dasar buat mereka untuk merekonstruksi situasinya. So, secara kolektif di mana saja, situasi itu mirip-mirip. Dukun di Barat pun juga gemar sekali menggunakan menyan, lilin dan keremang-remangan tertentu buat merekonstruksi situasi orang mati itu. Dukun di Asia pun sama saja, lilin menyan kembang-kembangan semuanya digunakan secara strategis untuk merayu orang mati agar datang. Kesadaran kolektif ini sebetulnya kultur ataukah sisa-sisa memori yang tertinggal dari evolusi species homo-sapiens ini? Kalau mau dibilang kultur, kenapa koq gejalanya bisa cukup universal? Tapi kalau mau dibilang evolutif, maka di sisi mana faktor evolusi itu main? Well, ini spekulasi saya lagi. Pertama kali sekali perhatikan proses penguburan di mana saja di dunia ini, maka secara aman kita bisa bahwa penguburan itu rata-rata dilakukan waktu ada matahari, entah pagi atau siang. Pilihan atas waktu penguburan ini jelas rasional, yaitu karena matahari bisa memberi kita penerangan yang cukup dan dibutuhkan untuk proses penguburan itu. Dari sini sekarang kita bikin aksioma ini 'ada matahari = ada penguburan'. Tapi, konsekwensi dari aksioma itu ialah: 'kita eksis bersama si mayat waktu tidak ada matahari'! Waktu tidak ada matahari, kita duduk nongkrongi si mayat menunggu datangnya matahari untuk kemudian dia di kubur! Iya khan!? Nah, dari sini saja kita bisa melihat rasionalitas fantasi umum atas siklus hidupnya para vampire. Vampire dan para setan mana saja katanya selalu ketakutan dengan matahari ... dan ternyata itu memang cukup rasional! Mereka takut terhadap matahari karena matahari merupakan simbolisasi dari proses penguburan! Bukankah tadi kita sudah menyimpulkan bahwa 'ada matahari = ada penguburan'? Maka para vampire dedemit setan yesus maria ... semuanya pun yach ketakutan sendiri terhadap 'matahari'! Para setan ini semuanya takut dikubur, karena sekali dikubur maka habislah semuanya setelah mereka masuk tanah. So, para dukun selalu PERLU lilin atau paling tidak SITUASI malam hari, karena secara universal itu memang merupakan momen-momen di mana kita duduk nongkrongi si mayat menunggu matahari untuk kemudian mengubur si mayat. Kenapa dukun juga perlu 'kembang' dan sebetulnya 'aroma' yang wanginya sangit menusuk hidung? Well, spekulasi saya lagi; yach karena mayat itu baunya minta ampun. Di jaman dulu sekali, mayat mungkin tidak langsung dikubur karena alasan apa saja; mungkin mereka pun juga cuman dibiarkan membusuk begitu saja model orang Toraja, atau mungkin mereka menunggu waktu penguburan untuk alasan apa saja. Yang pasti, mayat ini meninggalkan bau busuk dan menyajikan 'problem' yang perlu diatas. Lantas, karena orang dulu tidak kenal formalin dan segala macam jenisnya, maka mereka pun yach lantas cuman menyirami si mayat dengan kembang-kembangan dengan tujuan agar baunya itu berkurang. So, siapa bilang bahwa yang klenik serem-serem dan irrasional itu TIDAK PUNYA rasionalitas tertentu dibaliknya! :) JD -------------------------- Martha J. wrote: > Makanya jangan percaya yang bukan2. Saya pikir, karena anda percaya, > dihati anda ada juga perasaan bersalah dan takut hukuman. Lalu > bermimpi buruk, mungkin sang dewa bulan mau motong telinga anda dan > dalam mimpi itu anda ketakutan dan berusaha menutupi telinga anda. > Saking kerasnya tangan anda malah melukai telinga anda sendiri. > Ketika bangun, sudah robek sedikit atau luka kena kuku anda sendiri. > Iya enggak? > > Dulu sekali waktu kecil, belum sekolah kali, saya suka dibawa oma > saya kekelenteng. Waktu pertama kali kesana, dibilangi, jangan > nunjuk twapekong di kelenteng, nanti jari dibawah kuku yang nunjuk > akan kena bisul yang sangat menyakitkan. Orang jawa bilang cantengen. > Saya sih memang tidak pernah nunjuk2 patung itu biar sampai > dewasapun, soalnya memang serem. Boro2 mau kurang ajar, ngeliat aja > sudah ada perasaan takut. Di kelenteng kan suasananya serem. iya > enggak? > > MJ .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/