Sebelumnya mohon maaf bung Arifin Tanzil:
Boleh jadi apa yang anda katakan ada benarnya. Saya tidak bermaksud 
membantah anda, yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwa:
Agama (yang mana pun) sebagai produk budaya pasti harus hidup dengan 
tunjangan akar-akar budaya dari mana ia dilahirkan. Tanpa itu ia 
pasti akan mati. 
Di luar lingkup budaya dari mana ia dilahirkan, agama tidak akan 
dapat bertahan hidup lama (pasti ditolak oleh masyarakat dari latar 
belakang budaya yang berbeda). Untuk bisa bertahan hidup, agama-
agama misioner (termasuk di sini Katolik, dan juga Buddha di 
Tiongkok dulu) harus melakukan penyesuaian dengan budaya setempat. 
Proses penyesuaian itu dikenal dengan istilah Inkulturasi. 
Tetapi, jangan salah persepsi! Penyesuaian itu bukan penyesuaian 
teologis, tetapi antropologis! Kita tahu agama Buddha lahir dan 
berkembang dengan latar belakang kebudayaan India, ketika ia 
berkembang ke luar lingkup budaya India (ke negeri Tiongkok 
misalnya), ia harus mengalami proses inkulturasi dengan lingkup 
budaya baru agar bisa tetap hidup (diterima oleh masyarakat 
Tiongkok). Penyesuaian-penyesuaian dalam proses inkulturasi itu 
antara lain terjadi pada bahasa yang digunakan, bentuk-bentuk arca, 
model pakaian para rahib/biarawan dll yang semuanya adalah bentuk 
luar dari sebuah agama. Bagian dalam (inti ajarannya)agama Buddha 
sediri tidak pernah diganggu-gugat. 
Nah, proses inkulturasi agama Buddha di Tiongkok itu terjadi secara 
alamiah (artinya tidak disadari oleh yang bersangkutan)dan ternyata 
berhasil. Pengalaman ini dipelajari oleh para sosiolog agama Barat, 
lalu dibakukan dalam sebuah sistim yang kita kenal dengan istilah 
Inkulturasi. Itulah yang dapat kita saksikan dengan segala apa yang 
dilakukan oleh gereja Katolik hari ini di dalam masyarakat Asia 
(termasuk masyarakat Tionghoa di Indonesia). Apakah itu salah atau 
buruk? Entahlah!! 


Salam, 


Erik
--------------------------------------------------------------------
In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Arifin Tanzil 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Kalo kita pelajari pendeta pastor dr yg dulu2 7 mungkin smp 
sekarang, memang mereka mendalami suatu kebudayaan bukan utk -
seperti yg diharapkan bang Rinto- mengenal & mengerti sehingga dapat 
hidup damai berdampingan. Melainkan utk dapat lebih mudah merasuk & 
diterima utk pd akhirnya merubah masyarakat lain itu utk menjadi 
seperti (kebudayaan=agama)  mereka.
>   Segala cara dipake dr yg halus sampe yg kasar dan mereka punya 
itu semua dr marketing ala 'paradise seller' sampe tentara yesusnya 
leo manuputty (kata si mayat)







.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke