----- Original Message ----- 
From: Li Tianci 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, March 02, 2006 4:53 PM
Subject: Re: [tioin59] Fw: istilah suku Tionghoa


Sejak masa pasca-Orba terdapat kesepakatan umum untuk menggunakan istilah etnis 
untuk menyebut kelompok-kelompok ras-budaya yang berbeda satu sama lain di 
negeri yang majemuk ini. Istilah suku dianggap peryoratif seolah-olah semua 
orang di antah berantah berlatarbelakang budaya terbelakang.

Jadi mengherankan kalau masih ada sejumlah orang Tionghoa yang menginginkan 
istilah etnis diganti ke suku, ini hanya mencerminkan suatu anakronisme 
eufemisme ala Orba yang masih tertanam dalam benak mereka. Seharusnya mereka 
lebih tajam dalam mengamati perkembangan jaman, pintar-pintar menyesuaikan diri 
tanpa serah diri, artinya tenggelam sehingga kehilangan jati diri karena sifat 
asal mengikuti arus.

Pada satu sisi, sebagai warganegara yang merupakan bagian dari rakyat 
Indonesia, orang Tionghoa tentu termasuk salah satu dari sekian banyak kelompok 
etnis yang ada. Namun ternyata pada sisi lain, pada tingkat yang lebih tinggi 
dan universal, etnis Tionghoa merupakan bagian dari konstelasi ras-bangsa 
Tionghoa Han (Hanzu) yang lebih besar karena biar bagaimana juga orang Tionghoa 
dimanapun tetap keturunan dari pendahulu mereka yang berasal dari daratan 
Tiongkok dan ini kenyataan yang tidak dapat diubah.

Dunia, terutama dalam masa pasca-Perang Dingin, kian terbagi kedalam berbagai 
kelompok peradaban: terutama - Sinic (Tionghoa Han, Tibet, Korea, Vietnam, 
Jepang, Mongol dan lain-lain), Hindu, Islam-Arab/Persia, Nasrani Barat, Nasrani 
Ortodoks Timur, Afrika Hitam dan Amerika Latin. Tiap-tiap kelompok peradaban 
terdiri dari satu atau dua negeri indung (core state) dalam hal Sinic negeri 
indung adalah Tiongkok sebagai akar dari budaya tersebut yang kemudian menyebar 
ke daerah sekitarnya yang dulu merupakan wilayah teritorial Imperium Tiongkok. 
Alasan mengapa terjadi pengelompokan yang semakin tajam di masa globalisasi ini 
bisa kita bahas di kelak hari.

Seperti yang terjadi di belahan bumi lain, semua konstelasi dalam suatu 
kelompok peradaban berkiblat pada negeri indung. Dalam hal Sinic, bisa kita 
saksikan bagaimana HK, Macau telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan 
Singapura juga sedang mendekatkan diri dengan daratan Tiongkok; pola serupa 
dengan ujud berbeda juga terjadi sehubungan dengan komunitas Tionghoa di negara 
Asia lain sehingga diluar Korsel dan Jepang, ekonomi Asia Timur praktis adalah 
ekonomi Tionghoa. Ini bukan sesuatu yang patut dipertanyakan sebab apabila 
manusia yang sedang berinteraksi memiliki atribut fisik yang sama, tentu 
tingkat kepercayaan dan kredibilitas meningkat; halmana dibantu kesamaan budaya 
dan bahasa, dan juga agama/kepercayaan.

Alasan utama mengapa kelompok peradaban Nasrani (didominasi Amerika Serikat) 
melalui rezim Orba mencoba menjalankan program asimilasi terhadap orang 
Tionghoa di Indonesia yaitu agar bangsa Tionghoa yang ada di Indonesia, 
setidaknya kawula muda, terputus dari kelompok peradaban Sinic yang besar. 
Dengan kehilangan atribut budaya, bahasa dan agama/kepercayaan, diganti dengan 
yang asing maka tinggal asimilasi biologis yang mereka harapakan lambat-laun 
akan terjadi sehingga ras Tionghoa di Indonesia lenyap atau setidaknya menjadi 
jauh lebih kecil jumlahnya.

Akan tetapi belum terlambat untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat 
program asimilasi semasa lebih dari 30 tahun terakhir. Budaya, bahasa dan 
agama/kepercayaan Tionghoa kini menikmati kekebebasan yang tidak terpermana 
selama berabad-abad di bumi Nusantara. Inilah peluang emas untuk mentionghoakan 
kembali anak-cucu kita dengan berpatokan pada poin utama berikut:

1. tiap-tiap keluarga Tionghoa harus menggunakan bahasa Mandarin dan mengajar 
anak-cucu mereka mempraktekkan nilai dan adat istiadat dari budaya Tionghoa 
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang tidak mampu maka harus ada 
prakarsa mempelajari budaya dan bahasa; menghargai budaya dan bahasa asing 
tidak ada salahnya tetapi yang harus kita utamakan dan tekankan adalah milik 
kita sendiri

2. masyarakat Tionghoa harus bersatu, bukan hanya dalam konteks "Tionghoa 
Indonesia" melainkan juga "Tionghoa global"=kelompok peradaban Sinic. Seluruh 
kekuatan harus kita galang secara global untuk berbagai tujuan seperti misalnya 
penyediaan lapangan kerja dan pengentas kemiskinan bagi kaum Tionghoa yang 
kurang mapan, mendirikan sistem pendidikan Tionghoa bagi komunitas Tionghoa 
yang membutuhkannya

3, dengan persatuan dan kesatuan seluruh kaum Tionghoa, kekuatan ekonomi sudah 
kita miliki, namun di Indonesia kekuatan politik kita masih kurang maka harus 
ada inisiatif berkecimpung kedalam birokrasi, Polri-TNI dan parpol serta bidang 
non-ekonomi lain seperti dunia pendidikan, media, seni dan budaya dll. 
Demikian, posisi kita terkonsolidasi dan akan meluas; proses ini harus terjadi 
secara mendunia

4. jaga stabilitas dan kontinuitas demografis, dalam hal Indonesia tiap-tiap 
keluarga Tionghoa yang mampu dihimbau mempunyai setidaknya dua anak dan 
perkawinan harus melalui proses seleksi eugenetik yang benar dan tepat agar 
menghasilkan bibit Tionghoa yang terbaik

5. memperkenalkan budaya dan bahasa kita kepada khalayak non-Tionghoa- "tak 
kenal maka tak sayang" - "soft power" budaya Tionghoa adalah satu kekuatan 
milik kita yang jarang dimiliki kelompok peradaban yang lain. Demikian, dalam 
jangka pendek bahasa Mandarin akan menjadi suplemen terhadap bahasa Inggris 
sebagai bahasa asing terpenting dan dalam jangka panjang tidak hanya menjadi 
lingua franca yang menggantikan Inggris di Indonesia melainkan di Asia, 
setidaknya Asia Timur

6. hati-hati terhadap pengaruh agama asing yang tidak sesuai dengan budaya 
Tionghoa. Semua agama pada dasarnya baik namun yang harus kita wasapai
yaitu lembaga agama yang dimanfaatkan musuh kita untuk melemahkan kita dari 
dalam. Yang penting, agama apapun yang kita anut harus sesuai dengan falsafah 
Konghucu sebagai landasan pemersatu bangsa kita dan seluruh kelompok peradaban 
Sinic - maka penting sekali agar ajaran Konghucu disosialisasi kembali dan ini 
terkait dengan poin 1

Salam perjuangan!




Li Tianci <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
  Sebelum kita bersepakat untuk menyetujui penggunaan istilah suku untuk bangsa 
Tionghoa yang ada di Indonesia, harus kita fahami terlebih dahulu arti kata 
dari istilah tersebut.

  Suku secara harfiah diartikan sebagai "sub-kelompok dari satu golongan ras" - 
terjemahannya dalam berbagai bahasa adalah sebagai berikut: 
bu(4)luo(4)/bu(4)zu(2) - Tionghoa, tribu)=(m) - Perancis dan tribe - Inggris.

  Misalnya, penggunaan suku dalam bahasa Inggris bisa untuk "the Sioux tribe of 
American Indians" atau "the 12 tribes of Israel". Dalam bahasa Inggris dan 
bahasa lain yang berkembang maju, istilah suku hanya digunakan sebagai rujukan 
pada suatu sub-kelompok dari satu golongan ras yang lebih besar.

  Selain itu, tidak pernah terdengar penggunaan kata seperti "Cantonese tribe 
of the Han Chinese race" atau "English tribe of the Nordic race". Istilah suku 
hanya terpakai dalam konteks antropologis sebagai sebutan untuk sub-kelompok 
etnis yang tergolong primitif seperti penggunaan kata "Masai tribe", "Amungme 
tribe", "Yi tribe" dan lain sebagainya.

  Bangsa Tionghoa atau lazim disebut dengan etnis Tionghoa di Indonesia terdiri 
dari berbagai sub-kelompok etnis dari bangsa atau ras Tionghoa Han seperti 
orang Fujian (Hokian), Guangdong (Konghu), Kejia (Hakka/Khek), Chaozhou 
(Tiociu) dan lain-lain. Tetapi masing-masing sub-kelompok bukan suku-suku yang 
tergolong dalam Hanzu (ras atau resminya etnis-bangsa Han di RRT). 

  Belum lagi dalam konteks Indonesia, tidak ada dasar historis untuk memberi 
label suku kepada orang Tionghoa setempat karena semua berasal dari berbagai 
sub-kelompok etnis di daratan Tiongkok dari ras-bangsa Han. Tidak mungkin 
disamakan dengan orang Jawa, Sunda, Minang dan lain-lain yang boleh dikatakan 
sebagai suku atau sub-kelompok etnis dari cabang Melayu dari ras Austronesia 
(kedalam golongan ras ini termasuk suku-suku aborigin di bagian selatan daratan 
Tiongkok dan provinsi Taiwan seperti misalnya suku-etnis Miao, Tujia, Yenzumin 
dan lain sebagainya).

  Namun dalam konteks pribumi Melayu di Asia Tenggara. Meski sama-sama dari ras 
indung Melayu-Austronesia, perkembangan budaya dan etnogenesis selama 
berabad-abad yang terjadi sejak migrasi leluhur mereka dari bagian selatan 
daratan Tiongkok ribuan tahun lalu, telah berakibat pada keanekaragaman 
etnis-budaya. Demikian, orang Jawa berbeda dengan orang Sunda. Yang pertama 
telah banyak dipengaruhi budaya Hindu dan telah terjadi percampuran darah 
dengan berbagai suku-etnis dari India sedangkan yang kedua masih relatif murni 
kemelayuannya karena tingkat pengaruh etnis-budaya dari India tidak setinggi di 
Jawa.

  Bangsa Tionghoa di Indonesia, walaupun ada sebagian yang mengalami akulturasi 
dengan budaya pribumi setempat dengan tingkat yang berbeda-beda, rata-rata 
secara biologis masih ras-bangsa Tionghoa Han tulen. Di daerah tertentu, 
misalnya diluar pulau Jawa dimana sering terdapat keseimbangan dalam jumlah 
penduduk pri dan nonpri, kemurnian budaya Tionghoa relatif terjaga rapi. Ada 
sebagian kecil orang Tionghoa yang berdarah campuran dan kadang posisi mereka 
terjepit di tengah, namun pilihannya tergantung diri mereka apakah mau 
mentionghoakan kembali diri atau berasimilasi total kedalam tubuh pribumi 
setempat.

  Kebangkitan Tiongkok, baik secara politik dan ekonomi dalam jangka panjang 
(kemungkin jangka pendek juga) akan berdampak pada perubahan demografis yang 
drastis di Asia Tenggara. Salah contoh adalah pola migrasi dari daratan 
Tiongkok dalam gelombang besar, proses perantauan yang terputus selama beberapa 
dekade ketika Tiongkok menutup diri dibawah rezim komunis diperkirakan akan 
berlangsung pula dengan semakin meluasnya pengaruh Tiongkok yang menyebabkan 
pemerintah setempat di Asia Tenggara menjalani politik pintu terbuka terhadap 
perantau baru dari daratan Tiongkok, terutama bagian selatan yang padat dan 
relatif dekat dengan Asia Tenggara. 

  Gelombang migrasi baru pendatang Tionghoa baru dari negeri leluhur akan 
berdampak pada revitalisasi dan kebangkitan kembali budaya dan bahasa Tionghoa 
di kalangan Tionghoa lama seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat, 
Australia dan negara berkembang lain dimana proses asimilasi orang Tionghoa 
terhenti dengan gelombang migrasi pendatang baru dari daratan Tiongkok. Tidak 
sebatas budaya dan bahasa tetapi juga identifikasi diri dimana komunitas 
Tionghoa tidak lagi mencoba menghilangkan atau mengurangi ketionghoaannya 
melainkan lahir semangat nasionalisme Tiongkok yang baru dan Indonesia pun 
tidak kebal terhadap perkembangan ini.

  Inilah beberapa alasan yang semoga dapat menjelaskan mengapa orang Tionghoa 
tidak mungkin menjadi salah satu suku Nusantara. Kita mempunyai latar belakang 
sejarah, budaya dan biologis yang berbeda dan jati diri sebagai Tionghoa adalah 
sesuatu yang amat sulit ditanggalkan begitu saja karena kita memiliki abu-abu 
yang jauh lebih tua dari hampir semua bangsa lain di jagat semesta.

  HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

    ----- Original Message ----- 
    From: Tan Sigit 
    To: [EMAIL PROTECTED] 
    Sent: Wednesday, March 01, 2006 10:13 PM
    Subject: [HKSIS] Balasan: istilah suku Tionghoa


    Pak Budi yth,

    Betul pak. Alangkah baik seandainya pemerintah bisa secara resmi menyatakan 
bahwa golongan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu suku yang ada 
di Indonesia. Dan dilihat dari jumlah mungkin merupakan suku terbesar ke-3 
setelah suku Jawa dan suku Sunda.

    Sehubungan dengan penggunaan suku Tionghoa yang pertama kali dicetuskan 
mantan Presiden Soekarno, pada saat mengucapkan pidato didepan Pembukaan 
Kongres-ke 8 BAPERKI, 14 Maret 1963 di Senayan (Istana Olahraga Gelora Bung 
Karno), sepenggal kata-katanya saya kutipkan: " Terus terang saja, 
Saudara-saudara, saya pernah bicara dengan, bukan  saja bicara,  saya pernah 
berada di beberapa negara sosialis. Ya di Soviet Uni, ya di Rumania, ya di 
Bulgaria, ya di Vietnam Utara, ya di Cekoslowakia, ya di Polandia Malah saya di 
negara-negara itu berkata, hhh, Republik Indonesia  lebih jauh dari kamu di 
sini.  Pernah di kota Hanoi, ibukota negara Vietnam Utara, saya dengan Pak HO, 
Paman Ho, Ho Chi Minh. Datang lah suatu delegasi, Saudara-Saudara, satu 
delegasi dari satu  golongan minoritas. Dan kelihatan, memang ini tidak sama  
dengan rakyat Vietnam  yang lain. Ini kelihatannya agak kemelayu-melayuan, 
potongan badannya, roman  mukanya, pakaiannya dan lain-lainnya kelihatan benar, 
ini adalah beda dari rakjat Vietnam Utara yang lain-lain. 

     Pak Ho, Ho Chi Minh, Paman Ho dengan bangga berkata kepada saya: "Bung
     Karno, ini adalah delegasi dari minoritas, ingin bertemu muka dengan Bung  
Karno". Saya berkata kepada delegasi itu, dan kepada Pak Ho saya berkata, 
sebetulnya di Indonesia kita tidak mengenal minoritas. Dan saya tidak mau 
mengenal minoritas di lndonesia. Di Indonesia kita hanya mengenal  suku-suku. 

     Saya tidak akan barkata, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah 
minoritas, suku itu adalah minoritas, suku Dajak adalah minoritas, suku Irian 
Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu -suku Kubu- adalah 
minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas,  hanya 
ada suku-suku, sebab manakala ada minorltas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau 
ada majoritas, dia lantas exploitation de la minorite par la  majorite, 
exploitatie dari minoriteit majoriteit. 

    Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa 
itu di-exploitation oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia ini, 
tidak! Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, 
engkau adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa  lndonesia.

    Itu, yang duduk di sana, jenggot ganteng ubel-ubel itu .... Bung dari mana, 
Bung? Dari  Medan? Dari mana? Coba sini! Siapa namanya? Jawabnya, Amar Singh, 
katanya. Anggota Baperki. Warga Indonesia. Haa, Indonesia! For me you are not a 
minority, you  are just an Indonesian. Haa, ini orang Indonesia,  
Saudara-saudara, bukan minoriteit!

    Saya kata Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada suku-suku. Suku 
itu apa artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ja, suku  artinya kaki. Jadi 
bangsa Indoaesia itu  banyak kakinya, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki 
Jawa, kaki Sumatera, kaki  Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan 
Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh,  tubuh  bangsa Indonesia.

    Nah, Pak Ho, kataku, demikian lah Indonesia. "Ja, that is better", kata Pak 
Ho.  
    Ya memang, itu lebih baik, Saudara-Saudara, karena itu aku tadi berkata, ya 
kami baagga, Indonesia lebih, lebih dari di negara-negara sosialis atau 
negara-negara yang kita kenal sebagai sosialis. Tetapi, Saudara-Saudara, segala 
hal itu sebagai saya katakan di dalam pidato Front Nasional, adalah satu 
perjoangan. Jangan mengharap segala sesuatu itu  beres, datang dari langit 
seperti embun di waktu malam, tidak!  Perjoangan!


    Jikalau umpamanja Saudara-Saudara atau rakyat Indonesia semuanya ingin 
supaya di  dalam UUD 45, UUD kita sekarang ini jangan lah ditulis "Presiden 
Republik Indonesia haruis orang Indonesia asli", berjoang lah agar supaya 
hilang perkataan ini! Rakyat Indonesia berjoang bersama-sama supaya perkataan 
"asli" dari UUD 45 ini dicoret sama sekali. 

    Begitu pula kalau saudara-saudara menghendaki sdekarang ini hilangnya 
perasaan tidak enak dari mayoritas atau minoritas, kalau Saudara merasakan 
dirinya minoritas, itup un memerlukan perjoangan. Perjoangan agar supaya hilang 
rasa tidak senang kepada minoritas. Sebaliknya pun minoritas saya minta 
berjoang, berjoang, sekali lagi berjoang, agar supaya tidak ada rasa kebencian 
dari minoritas kepada majoritas." kutipan selesai. 

    Begitulah seharusnya, golongan etnis Tionghoa yang sudah ratusan tahun 
hidup bersama, berjuang bersama rakyat Indonesia, hendaknya bisa diperlakukan 
sebagai salah satu suku, salah satu kaki dari tubuh bangsa Indonesia, yang 
tidak dibeda-bedakan dengan suku Jawa, suku Batak, suku Bugis , .... suku-suku 
lainnya. Tidak lagi selalu diperlakukan sebagai golongan minoritas, sebagai 
non-asli Indonesia. Tapi satu macam warga-negara Indonesia saja, yang 
sepenuhnya sama hak dan kewajiban nya sebagai warga-negara Indonesia, tidak 
dianak-tirikan, tapi juga tidak dianak-emaskan.

    Mudah-mudahan begitu.





    Budi Sentosa <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
            Saya sangat setuju apabila pemerintah Indonesia secara resmi
            menggunakan istilah suku Tionghoa kepada seluruh insan keturunan 
Tionghoa di Indonesia. Sama halnya dengan penggunaan nama suku Jawa, suku Sunda 
dan suku Madura dll.
            Saya masih ingat, Bung Karnopun pernah menggunakan istilah suku 
Tionghoa, dan ini merupakan jalan keluar terbaik untuk menghapuskan masalah 
asli tidak asli, masalah pribumi atau non pribumi yang diwarisi oleh 
Kolonialisme Belanda.
            Soal mungkinkah suku Tionghoa berhasil menjadi Wagub bahkan 
Gubernur, ini cuma soal waktu saja. Per-tama2 suku Tionghoa harus lebih banyak 
lagi aktif dalam parpol2 yang ada sekarang, buktikan dulu kemampuannya sebagai 
pemimpin parpol, barulah kemudian meningkat menjadi pimpinan propinsi bahkan 
sampai menjabat wapres di masa yang akan datang.
           
           



        HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> menulis: 
          SUARA PEMBARUAN DAILY 

----------------------------------------------------------------------

          Mungkinkah Etnis Tionghoa Jadi Orang Nomor Dua di DKI?

----------------------------------------------------------------------------
    Apakah Anda Yahoo!?
    Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru! 



------------------------------------------------------------------------------
  Yahoo! Mail
  Bring photos to life! New PhotoMail makes sharing a breeze. 




--------------------------------------------------------------------------------
Yahoo! Mail
Bring photos to life! New PhotoMail makes sharing a breeze. 

SPONSORED LINKS Communication and networking  Wireless communication and 
networking  


--------------------------------------------------------------------------------
YAHOO! GROUPS LINKS 

  a..  Visit your group "tioin59" on the web.
    
  b..  To unsubscribe from this group, send an email to:
   [EMAIL PROTECTED]
    
  c..  Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 


--------------------------------------------------------------------------------



[Non-text portions of this message have been removed]






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke