Chan CT menulis: 2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa yang sudah hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin bisa diperlakukan sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak mungkin dijadikan warganegara asing (Tiongkok)? Pertentangan pendapat ini, semula pejuang-kemerdekaan RI telah menetapkan jawaban pertama, yaitu menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU Kewarganegaraan tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, tempat kelahiran yang menentukan seseorang sebagai warganegara Indonesia. Dan yang dijalankan adalah stelsel pasif, artinya, semua etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dinyatakan otomatis menjadi warganegara Indonesia, kecuali menggunakan hak repudiatie yang diberi waktu 2 tahun untuk menolak warganegara Indonesia dan menjadi warganegara Tiongkok, atau setelah dewasa mengajukan penolakan warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi warganegara Tiongkok.
Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang berasaskan ius Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang-orang yang berdarah Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan adanya sementara pejabat pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih banyak etnis Tionghoa menjadi nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 46 itu selalu dimentahkan kembali, dan akhirnya dikeluarkan UU No.62 tahun 58 itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih dahulu memilih menjadi warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, etnis Tionghoa di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia setelah maju kedepan pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI! Rinto Jiang: Bung Chan, ada beberapa point yang harus ditambahkan. Stelsel pasif menjadi stelsel aktif memang satu intrik politik, untuk "menjebak" orang Tionghoa di Indonesia tidak otomatis mendapat kewarganegaraan Indonesia. Sebenarnya, kondisi politik masa itu juga panas, di mana ada tarik menarik antara orang Tionghoa yang masih setia ke negeri leluhur dan orang Tionghoa nasionalis Indonesia. Ada salah kaprah di kalangan orang Tionghoa yang masih setia ke negeri leluhur bahwa bila mereka memilih berkewarganegaraan Tiongkok, pemerintah Beijing akan membela mereka sewaktu mereka diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Indonesia. Ini salah, karena mereka tidak berniat untuk pulang ke Tiongkok, mereka ingin tetap tinggal di Indonesia, namun ingin berkewarganegaraan asing, ini tentu saja suatu yang riskan. Bagi saya, bila saya ingin pulang ke Tiongkok, saya akan mengambil WN RRT, sebaliknya, bila ingin terus berdomisili di Indonesia, tentu saja akan mengambil WNI. Masalahnya yah itu, mayoritas orang Tionghoa pra-1959 tinggal di desa-desa paling banter kota kabupaten yang tidak ada pengadilan negerinya, dengan pengetahuan hukum yang minim, mustahil mereka dapat mengikuti arus politik yang cepat itu. Juga, stelsel pasif menjadi stelsel aktif ini dikarenakan ada pejabat pemerintah yang menginginkan orang2 Tionghoa jangan otomatis diberikan status WNI, biar mereka tetap berstatus asing dan akibatnya usaha2 mereka dapat dinasionalisasikan karena merupakan usaha asing. Satu lagi, klaim nasionalis KMT atas kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia tidak pernah dilayani oleh pemerintah Sukarno, karena Sukarno menganggap KMT dekat dengan Barat. Ini makanya, setahun setelah RRT diproklamasikan oleh Mao Zedong, tahun 1950 Indonesia menjadi salah satu negara yang mengakui kemerdekaan RRT. Padahal saat itu, RRT baru diakui oleh puluhan negara. Rinto Jiang .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/