--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Shinjai Hayashi" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> Mungkin lebih baik menggunakan kata "pemilihan dengan alasan 
praktis".
> 
> Ketika kekuasaan Hindia Belanda memerlukan administrasi yang lebih
> bagus, mereka harus bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat.
> Bahasa Melayu dipilih, selain mudah, juga sudah dipakai sebagai
> lingua franca tidak resmi. Jadi pemerintahan Hindia Belanda memilih
> bahasa Melayu, dan seterusnya untuk diperkenalkan kepada calon2
> pegawai negeri dari Belanda yang akan bertugas ke Indonesia.
> 
> Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan:
> 1. Latinisasi Bahasa Melayu, yaitu penulisan bahasa Melayu dengan 
huruf
>     Latin sehingga mudah dibaca oleh orang Belanda. Pada waktu 
itu, bahasa
>     Melayu ditulis dalam abjad Arab Melayu.
> 2. Pembuatan kamus Melayu.
> 3. Pembakuan tata bahasa Melayu.
> 4. Promosi bahasa Melayu untuk dipergunakan lebih luas.
> 
> Tugas untuk 1 s/d 3, dilakukan oleh Charles van Ophuysen. Dia yang
> membuat ejaan Bahasa Melayu dalam abjad Latin. Kemudian dia 
> membuat kamus alphabet pertama bahasa Melayu, yaitu Kitab Logat
> Melajoe. Ditambah kemudian dia menulis buku tentang Tata Bahasa
> Melayu dalam bahasa Belanda untuk dipergunakan sebagai pengajaran
> Bahasa Melayu untuk orang Belanda.

---------------------



DH: Memang, pemilihan bahasa Melayu, yang kemudian menjadi bahasa 
Indonesia, adalah karena dasar yang praktis. Bahasa ini, sudah 
dipakai oleh penduduk pantai untuk berkomunikasi dengan bangsa 
bangsa asing, seperti Spanyol, Portugis, kemudian belanda. Bahkan 
juga dengan pedanag dari Arab, India dan Tiongkok.

Hasil dari komunikasi ini, timbul penyerapan bahasa bahasa tersebut 
dalam bahasa Melayu.

Pemerintah Indonesia, segera mengganti ejaan van Ophuizen dengan 
ejaan Suwandi (kala itu mentri Pendidikan dan Kebudayaan kita). 
Ejaan "oe" hilang, diganti u.

Di era Balai Pustaka, banyak sekali peran penulis penulis dari 
Sumatra barat, seperti Nur Sutan Iskandar, Takdir Alisjahbana, Datuk 
Madjoindo, Marah Rusli, dll.

Bahasa Jawa yang lengkap, dipelihara dikalangan ningrat, dan tak 
dipakai luas oleh masyarakat. Bahasa sastra dalam masyarakat Jawa, 
bukan bahasa Jawa yang diupakai se-hari hari, namun bahasa Kawi 
(misalnya dalam pertunjukan wayang). dalam bahasa Jawa yang lengkap, 
dengan tiga tingkatan "ngoko", "kromo madyo" dan "kromo inggil", tak 
mungkin meluaskan bahasa ini kepelosok Nusantara.

Hampir semua masyarakat Jawa dipesisir menguasai bahasa Melayu, yang 
tentu saja, tak sempurna, dan di-campur campur. Pengaruh bahasa 
bahasa pendatang sangat sarat mempengaruhi bahasa Melayu. terutama 
istilah istilah Tionghoa, Arab dan India.

Ketika Soempah Pemoeda pada Oktober 1928 dicetuskan, para wakil 
organisasi pemuda memilih baghasa Indonesia sebagai bahasa negara 
yang akan dibentuk.

Peran warga Tionghoa tidak kecil pada saat historis itu. saya kutip:

------------
"Mewujudkan Sumpah Pemuda 


Memotret Peran Sejarah Etnis Tionghoa 
Warga Tionghoa di negeri ini sering distereotipkan kelompok 
masyarakat yang senantiasa bermotivasi mengejar uang saja. Bahkan, 
Dahlan Iskan ketika mengomentari banyaknya caleg Tionghoa pada 
pemilu legislatif lalu sempat bertanya, "Uang gambar apa lagi yang 
dicari mereka." Penulis percaya, Pak Dahlan hanya bercanda. 

Tapi, yang tidak bisa kita buat canda adalah stereotip-stereotip 
negatif bahwa etnis Tionghoa tidak memiliki keinginan atau kesadaran 
untuk bermasyarakat. Salah satu yang jarang diungkapkan di media 
massa ialah stereotip berkaitan dengan penilaian etnis Tionghoa 
hanya merusak bahasa Indonesia.

Nah, berkaitan dengan stereotip tersebut, benarkah stereotip yang 
sudah bergenerasi, mengendap di benak banyak orang Indonesia, 
termasuk orang Tionghoa, itu? Kiranya tidak. Salah satu faktor yang 
mendorong langgengnya stereotip seperti itu ialah penyakit amnesia 
sejarah. Karena itu, lewat tulisan ini, penulis mengajak kita 
kembali ke masa lalu. Bukan bermaksud untuk menonjolkan peran warga 
Tionghoa. 

Penulis hanya ingin stereotip tersebut hilang, sehingga kita bisa 
mengimplementasikan semangat Sumpah Pemuda, walau berbeda ras, warna 
kulit, agama, dan lain-lain, kita sepakat bertanah air satu, 
berbangsa satu, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Sewaktu momen Sumpah Pemuda, warga Tionghoa juga tak mau ketinggalan 
berpartisipasi, seperti "kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang 
berdasarkan kebangsaan, dengan namanja Jong Java, Jong Soematra 
(Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong 
Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan 
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia; Memboeka rapat pada 
tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta; 
Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan 
ini; Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan.

Pertama: kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah 
darah jang satu, tanah Indonesia.

Kedoea: kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang 
satu, bangsa Indonesia.

Ketiga: kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa 
persatoean, bahasa Indonesia.

Yang menarik, warga Tionghoa juga aktif memfasilitasi momentum 
paling signifikan dalam sejarah bangsa kita tersebut. Itu terbukti 
dengan dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong. 
Selain itu, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk 
dalam kepanitiaan, di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda 
Tionghoa yang lain. 

Khusus berkaitan dengan bahasa, tentu dalam bahasa Indonesia, kita 
mengenal sejarah perkembangannya. Bahasa yang dulu disebut bahasa 
Melayu itu ternyata juga sudah lama menjadi bahasa warga Tionghoa 
negeri ini. 

Linguis asal Surabaya Dede Oetomo pernah menulis bahwa semula etnis 
Tionghoa di Jawa khususnya lebih menyukai bahasa Jawa, tetapi sebuah 
keputusan yang diambil pemerintah Belanda dengan sistem tanah paksa 
(1830-70) akhirnya memutuskan sistem pas (passenstelsel) yang 
praktis memisahkan orang Tionghoa dengan orang Jawa. Nah, praktis, 
sejak saat itu, warga Tionghoa mulai memakai bahasa Melayu yang 
menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.

Lalu, dengan terdongkraknya status sosial orang-orang peranakan 
golongan atas, mereka pun mulai mengembangkan sifat dan minat 
golongan atas, termasuk sastra dan tata pergaulan sosial. Kekayaan 
mereka juga mendorong untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke 
sekolah Belanda berbahasa Melayu yang didirikan pemerintah kolonial 
sejak 1854.

Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah itu, tentu saja, mulai 
menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan. 
Apalagi, surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di 
percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, seperti Soerat 
Kabar Bahasa Melayoe (1856) dan Bintang Soerabaja (1860). Di awal 
abad 20, terbit koran besar Pewarta Soerabaia, Sin Tit Po, dan Sin 
Po. Sin Po malah merupakan koran pertama yang memakai istilah 
Indonesia untuk mengganti "Nederlandsch-Indie" atau Hindia Belanda.

Tanpa disadari, pers yang dikelola komunitas Tionghoa tersebut 
kemudian berkembang menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan 
berbagai berita perjuangan nasionalisme. 

Sin Tit Po, Matahari, dan Sin Po, misalnya, merupakan harian-harian 
yang giat menyampaikan aspirasi perjuangan kemerdekaan. Tulisan-
tulisan para tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Tjipto Mangunkusumo 
kerap dimuat. Bahkan, Lagu Indonesia Raya kali pertama diterbitkan 
Sin Po. 

Nah, dari gambaran itu, terlihat, sembari mengimplementasikan 
semangat berbahasa, bahwa etnis Tionghoa juga mengamalkan dua spirit 
Sumpah Pemuda yang lain, yakni semangat bertanah air dan berbangsa 
Indonesia. 

Malah, menjelang proklamasi kemerdekaan, Djia Kie Siong 
memperkenankan rumahnya dipakai untuk rapat mempersiapkan 
kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 16 Agustus 1945. 
Dalam badan penyelidik usaha persiapan proklamasi kemerdekaan 
Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD 1945, terdapat lima warga 
Tionghoa, yaitu Liem Koen Hia, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey 
Tjong Jauw, dan Drs Yap Tjwan Bing.

Puncak implementasi Sumpah Pemuda adalah ketika beberapa warga 
Tionghoa juga berani mati membela martabat negeri ini, seperti yang 
dilakukan Laksamana John Lie dari angkatan laut kita.

Sayang, setelah tragedi 1965 dan gara-gara penilaian atas Baperki, 
semua warga Tionghoa seperti dipersalahkan, sehingga sejarah seperti 
yang dikemukakan itu tenggelam atau dilupakan begitu saja. 

Syukur, sejak Reformasi 1998, upaya penggalian sejarah terus 
berlangsung. Dengan demikian, belakangan ini, banyak mata mulai 
terbelalak bahwa ternyata ada peran warga Tionghoa sebagai bagian 
bangsa ini, sama seperti peran yang ditunjukkan warga atau etnis 
lain di negeri ini."

* Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pecinta Indonesia, 
Sementara Tinggal di Perth. 

---------------

Kalau kita pelajari sejarah dengan seksama, kita akan ketahui bahwa 
masyarakat di Jawa ya pengguna bahasa Jawa tak pernah merasakan 
perlunya memakai bahasa ini untuk dipakai sebagai bahasa pergaulan 
di Indonesia.

Salam

danardono













.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke