Nah kalau menurut saya, DISKRIMINASI itu ADA, 
tapi lebih  kepada diskriminasi ekonomi ketimbang rasial. 
 
Maksudnya, kemaren ngalamin nih, sama sama tionghoa, 
urusan birokrasi, 
yang ngasih amplop mah cepeeet, 
gue yang kaga mau kasih amplop mah ditunda-tunda mulu.
 
Nah itu khan diskriminasi sama yang ngga mau ngasih duit, 
apalagi sama yang NGGAK PUNYA duit. 
 
Dan urusan sama birokrat, lebih condong ke urusan KORUPSI ketimbang
kepada DISKRIMINASI, 
itu yang pengen gue share, 
Tapi terlanjur lebih banyak orang lebih senang gembar-gembor
diskriminasi tanpa dipisahkan dari korupsi. 
Jadinya muteeerrrr nggak pernah ketemu jalan keluar, wong salah diagnosa
penyakit, heheheh.
 
 

-----Original Message-----
From: budaya_tionghua@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of jip_id
Sent: Tuesday, February 12, 2008 12:41 PM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Re: Saya Merasa Tidak Didiskriminasi" -
beneeeerrr?



Salam,

Kasus-kasus berhubungan dengan aparat ini mengapa tidak dilaporkan
saja kepada Ombudsman (www.ombudsman.-go.id) yang megurusi hubungan
antara warga dengan negara. Atau bisa juga kirim ke surat pembaca di
pelbagai media massa yang berpengaruh seperti Media Indonesia atau
Kompas.

Adik saya (keturunan Jawa) juga dipersulit ketika mengurus
perpanjangan KTP kelurahan. Kadang2 persoalannya di aparat yang korup
juga sih, walaupun prasangka rasial masih ada. Birokrasi memang
sisa-sisa Orde Baru yang harus dibenahi dan terus diawasi, menurut saya.

Salam

Junarto
HYPERLINK "Http://www.semestanet.com"Http://www.semestan-et.com

--- In HYPERLINK
"mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com"[EMAIL PROTECTED]
com, "RM Danardono HADINOTO"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> *** Untuk menyegarkan ingatan mengenai masa lalu yang kabur:
> 
> 
> 
> Daniel HT: PBB Serukan RI untuk Segera Realisasi Penghapusan SBKRI 
> 
> Indonesia Media
> 
> Ternyata masalah SBKRI menjadi perhatian serius juga oleh PBB. Di 
> dalam Sidang Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial di 
> Geneva, Swiss, pada 31 Juli-18 Agustus 2007 lalu hal ini sempat 
> menjadi perhatian Sidang Komite. Terbukti dengan adanya seruan dari 
> Sidang Komite PBB itu kepada Pemerintah RI untuk benar-benar 
> menjalankan penghapusan terhadap kewajiban adanya SBKRI. Karena 
> meskipun UU No. 12 Tahun 2006 telah disahkan. Dalam prakteknya masih 
> saja banyak instansi pemerintah yang meminta SBKRI ini dengan 
> berbagai alasan. Mungkinkah orang Indonesia Tionghoa yang selama ini 
> gigih memprotes soal SBKRI di Indonesia, telah juga berhasil mendesak 
> PBB mengeluarkan seruan tersebut? Luar biasa kalau memang begitu. 
> 
> Saya ajukan pertanyaan sindiran ini karena selama ini oleh sebagian 
> Indonesia Tionghoa selalu menertawakan dan mengejek orang Tionghoa 
> yang menyatakan dan memprotes perihal SBKRI ini sebagai salah satu 
> bentuk diskriminasi warisan Orde Baru yang masih terbawa-bawa sampai 
> sekarang. Mereka beranggapan bahwa protes perihal SBKRI itu hanya 
> rengekan cengeng orang Tionghoa, dan diskriminasi yang disebutkan 
> Tionghoa itu hanya ilusi dan menyudutkan serta menjelek-jelekkan 
> Indonesia. SBKRI sama sekali bukandiskriminasi, melainkan memang 
> merupakan sesuatu yang sangat perlu. 
> 
> Setelah pemerintah bersama-sama DPR mengesahkan UU No. 12 Tahun 2006 
> yang antara lain berisi ketentuan penghapusan SBKRI karena dipandang 
> sebagai bentuk diskriminasi terhadap etnis tertentu. Muncul reaksi 
> yang terasa aneh. Mungkin karena kecewa juga pemerintah mau mengakui 
> SBKRI sebagai salah satu bentuk diskriminasi (yang bertentangan 
> dengan pernyataan mereka) dan mau menuangkan dalam bentuk ketentuan 
> UU (lepas dari bagaimana implementasinya)-. Salah satu reaksinya 
> adalah pernyataan bernada sindiran: "Selamat kepada orang Indonesia 
> Tionghoa karena berhasil mendesak pemerintah menghapus SBKRI." 
> 
> Salah satu alasan yang sering dikemukakan memang adalah bahwa SBKRI 
> harus tetap ada karena untuk menghindari terjadinya pemalsuan 
> identitas Kewarganegaraan. Tetapi anehnya, kewajiban SBKRI itu hanya 
> diterapkan pada etnis Keturunan Tionghoa, sedangkan etnis keturunan 
> lainnya, seperti Arab, tidak pernah diminta. 
> 
> Alasan ini pun sebenarnya tidak bisa diterima. Apa iya kalau ada 
> SBKRI maka lebih menjamin identitas kewarganegaran seseorang tidak 
> dipalsukan? Bahkan SBKRI itu sendiripun bisa dipalsukan, bukan? 
> Jangankan SBKRI, paspor, pun bisa dipalsukan. Uang saja bisa 
> dipalsukan. Jadi, apa argumen tentang harus tetap ada SBKRI untuk 
> lebih menjamin kebenaran status kewarganegaraan seseorang itu bisa 
> dipertahankan? 
> 
> Ariel Heryanto dalam tulisannya yang berjudul: SBKRI (Kompas, Minggu, 
> 02 mei 2004) -- selengkapnya baca di HYPERLINK
"http://www.kompas.com/kompas-"http://www.kompas.-com/kompas-
> cetak/0405/02/-naper/999727.-htm, menceritakan pengalaman seorang WNI 
> Keturunan Tionghoa bernama Enin ketika berhadapan dengan birokrasi 
> pemerintah untuk mengurus surat-suratnya, dan tetap diminta SBKRI-
> nya. 
> 
> Di sebuah instansi pemerintah dia diminta SBKRI oleh pegawai yang 
> melayaninya. Terjadi percakapan antara Enin yang WNI Keturunan 
> Tionghoa dengan sang birokrat. 
> 
> "Saudara punya SBKRI?" 
> 
> "Punya." 
> 
> "Mana?" 
> 
> "Tidak saya bawa. Ada di rumah." 
> 
> "Kenapa tidak Saudara bawa? Untuk mengurus ini Saudara harus bisa 
> menunjukkan SBKRI Saudara. Kalau tidak tidak bisa diteruskan karena 
> perlengkapan admnistrasinya tidak lengkap." 
> 
> "Harap maklum, Pak. SBKRI itu adalah dokumen yang paling saya 
> sayangi. Sehingga saya simpan rapat-rapat di rumah...." 
> 
> Hening sejenak. Tak lama kemudian, Enin mengajukan pertanyan yang 
> menohok logika Orde Baru. 
> 
> "Bapak sendiri punya SBKRI?" 
> 
> "Apa?" 
> 
> "Saya tanya, bapak punya SBKRI?" 
> 
> "Tidak. Untuk apa? Saya pribumi." 
> 
> "Apakah Bapak warganegara Indonesia?" 
> 
> "Jelas. tentu saja!!" 
> 
> "Mana buktinya?" 
> 
> "Maksud Saudara ini apa?!! 
> 
> "Bagaimana kita bisa yakin kalau Bapak ini warganegara Indonesia. 
> Bagaimana Bapak bisa mengaku-ngaku sebagai orang Indonesia, 
> warganegara Indonesia, sedangkan Bapak tidak punya dokumen resmi yang 
> dapat membuktikan itu?" 
> 
> "???" 
> 
> "Jelek-jelek begini, saya orang Indonesia. Saya ini warganegara 
> Indonesia. Saya tidak asal mengaku saja seperti bapak. Karena saya 
> punya dokumen resmi yang dapat membuktikan hal ini. Namanya SBKRI." 
> 
> Cerita di atas memang benar-benar menohok logika Orde Baru. Kalau 
> memang SBKRI adalah dokumen yang paling sahih untuk membuktikan 
> kewarganegraan seseorang, kenapa hanya etnis Tionghoa saja yang 
> mempunyai kewajiban untuk itu? Padahal mereka sudah turun-temurun 
> dilahirkan sebagai WNI. Lain halnya kalau orang tersebut apapun 
> etnisnya semula WNA dan hendak menjadi WNI. 
> 
> Dalam kasus-kasus seperti ini dokumen seperti Akta Kelahiran dan KTP 
> pun dirasakan tidak cukup. Padahal kedua dokumen negara ini dengan 
> jelas-jelas menyatakan bahwa orang tersebut dilahirkan dan mempunyai 
> kewarganegaraan Indonesia. Apakah ini tidak sama dengan instansi yang 
> tetap minta SBKRI itu tidak percaya, atau tidak mengakui pernyataan 
> di dalam Akta Kelahiran dan KTP tersebut? 
> 
> Seseorang yang mempunyai etnis pribumi (misalnya etnis Jawa), tidak 
> absolut mutlak dia pasti seorang WNI. Bisa saja dia telah berubah 
> kewarganegaraan menjadi warganegara asing. Jadi kewarganegaraan 
> seseorang tidak bisa dilihat semata-mata hanya dari etnisitas saja. 
> Orang-orang Jawa di Suriname, apakah mereka juga WNI? Jelas, bukan. 
> Sebab sejak turun-temurun mereka adalah Warganegara Suriname 
> sekalipun dari bentuk fisik, ras, etnis dan budaya mereka adalah 
> Jawa. Dan. mereka tetap bangga sebagai orang Jawa, tanpa mengurangi 
> nasionalismenya sebagai Warganegara Suriname. 
> 
> Sudah entah berapa banyak UU yang disahkan, yang bagus di atas 
> kertas, tetapi tidak dalam implementasinya. Tidak terkecuali dengan 
> UU No. 12 Tahun 2006 ini. Berbagai alasan biasa dikemukakan. 
> Misalnya, belum ada juklak, dan sejenisnya. Padahal jika memang punya 
> itikad baik, atau tidak kaku dalam bersikap para birokrat yang masih 
> tetap bersikukuh untuk minta SBKRI itu bisa saja untuk tidak lagi 
> mewajibkan SBKRI ini. Tidak harus menunggu juklak atau sejenisnya. 
> Yang terpenting adalah dapat menghayati esensi dari ketentuan hukum 
> tersebut. 
> 
> Walaupun kewajiban melampirkan SBKRI masih kerap ada, tetapi 
> keadaaanya tidak separah di era Orde Baru lagi. Sebagai instansi 
> pemerintah kelihatannya sudah mempunyai itikad baik untuk mengubahnya 
> dalam birokratisasi dokumen/administars-i kenegaraan yang dulunya 
> selalu mewajibkan SBKRI bagi WNI Keturunan Tionghoa. Yang terpenting 
> bagi WNI Keturunan Tionghoa sendiri harus berani melawan, apabila 
> dalam mengurus administrasi kenegaraan, seperti di Catatan Sipil dan 
> Imigrasi, masih diminta SBKRI. Bikin surat pembaca, atau lapor ke 
> atasannya, bilamana perlu sampai ke level Menteri. Seperti Menteri 
> Hukum dan HAM. Mudah-mudahan Indonesia tidak harus terus-menerus 
> mendapat tekanan dari luar baru mau benar2 bertindak. 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> --- In HYPERLINK
"mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com"[EMAIL PROTECTED]
com, "Ulysee" <[EMAIL PROTECTED]> 
> wrote:
> >
> > Hmmmm, jaaaadiiiiii.-....... 
> > Diskriminasi itu jangan jangan sebenarnya urusan PERASAAN aja??? 
> > Soalnya kok ada yang merasa di diskriminasi dan ada yang merasa 
> tidak di
> > diskriminasi?-??
> > 
> > Cabut Inpres bukan melulu hanya karena alasan diskriminatif aja 
> euy! 
> > Bisa juga karena sudah tidak seusai dengan sikon masa sekarang. 
> > 
> > 
> > 
> > -----Original Message-----
> > From: HYPERLINK
"mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com"[EMAIL PROTECTED]
com
> > [mailto:HYPERLINK
"mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com"[EMAIL PROTECTED]
com] On Behalf Of Skalaras
> > Sent: Monday, February 11, 2008 9:24 PM
> > To: HYPERLINK
"mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com"[EMAIL PROTECTED]
com
> > Subject: {Disarmed} Re: [budaya_tionghua] Re: FW: "Saya Merasa Tidak
> > Didiskriminasi"
> > 
> > 
> > 
> > Kalau tidak diskriminatif dan dianggap sudah benar, untuk apa 
> Inpres2
> > tsb harus dicabut ?
> > 
> > Kalau hanya pelaksanaannya yang terdistorsi, ya tegur pejabat2nya 
> saja,
> > dan awasi pelaksanaannya. kok peraturan yang sudah benar yang diutak
> > utik?
> > 
> > ----- Original Message ----- 
> > From: ardian_c 
> > To: HYPERLINK
> > "mailto:budaya_-tionghua%-40yahoogroups.-com"budaya_-tionghua@
> yahoogroups.--
> > com 
> > Sent: Saturday, February 09, 2008 3:05 AM
> > Subject: [budaya_tionghua] Re: FW: "Saya Merasa Tidak 
> Didiskriminasi"
> > 
> > Judulnya boleh gede "saya merasa tidak didiskriminasi" tapi isi
> > tulisannya kok beda hehehehehehe
> > 
> > coba aja baca 
> > "Saya tidak mengatakan itu. Tapi, apakah saya harus mengatakan 
> bahwa ada
> > diskriminasi, padahal saya tidak merasa didiskriminasi. Tapi, saya 
> dan
> > rekan-rekan memang pernah memperjuangkan untuk menghapus Inpres No
> > 14/1967
> > yang dalam pelaksanaannya banyak distorsi. (Inpres No 14/1967 
> mengatur
> > tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dalam inpres 
> itu,
> > warga
> > 
> > . 
> > 
> > 
> > ----------------------------------------------------------------
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > No virus found in this incoming message.
> > Checked by AVG Free Edition.
> > Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.19.20/1261 - Release Date:
> > 2/5/2008 8:57 PM
> > 
> > 
> > 
> > No virus found in this outgoing message.
> > Checked by AVG Free Edition. 
> > Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.19.20/1261 - Release Date:
> > 2/5/2008 8:57 PM
> > 
> > 
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
>



 


No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.19.20/1261 - Release Date:
2/5/2008 8:57 PM



No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition. 
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.19.20/1261 - Release Date:
2/5/2008 8:57 PM
 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke