Meme Uly, ni cuo le !
  Anda salah !
  Pada masa Orba ada satu kebijaksanaan yang bernama PEMBAURAN. Kebijaksanaan 
ini khusus ditujukan kepada kaum WNI keturunan Tionghua. Apa arti 
¡°pembauran¡±, banyak orang memberi pengertian yang beda-beda, tetapi, menurut 
penjelasan yang disampaikan oleh pejabat BKMC alm. Mayjen Soenarso, beliau 
mengatakan, ¡°Anda sekalian kaum WNI keturunan, ibaratnya sebuah ¡®benjolan¡¯ 
didalam tubuh bangsa Indonesia. ¡®Benjolan¡¯ ini harus dihilangkan. Caranya ada 
dua, Satu, dioperasi dan dibuang, kedua diserap agar menjadi sebagian dari 
tubuh kita. Kita mengambil cara kedua. Oleh karena itu, anda sekalian hurus 
meninggalkan budaya leluhur kalian agar punya indentitas yang khas Indonesia.¡±
   
  Kemudian, terjadilah kegiatan pendekatan, terutama dari GOLKAR untuk 
mengetahui langsung, lembaga MAKIN / MATAKIN itu sebenarnya bagaimana. Setelah 
terbukti tidak ada unsur subversi, maka agama Khongcu tidak dilarang, umat dan 
pimpinannya tidak ditangkapi, melaikan DIBERANGUS, segala kegiatan agamis tidak 
boleh dilaksanakan secara terbuka ! Melalui SK tiga menteri legalitas agama 
Khonghucu dihapus didalam KTP dan tidak diakui dalam Kantor catatan sipil. 
Identitas sebagai umat Khc. tidak ada ! Nikah dengan upacara Khc. juga tidak 
ada !
   
  Mengapa ada kebijaksanaan seperti ini ? Alasannya hanya satu : Ajaran Khc. 
menghambat atau MENGANCAM  kelancaran proses ¡°pembauran¡± !
   
  Konsekuensi dari ini semua, demi kelanjutan hidup,  terjadilah perpindahan 
agama secara terpaksa dan waktunya cukup singkat. Umat Khc. pindah ¡°menjadi¡± 
umat Budha, Kristen dan Katholik. 
   
  Dasar tradisi Tionghua yang lebih mengutamakan Ping-an (selamat) dan Cuan-lui 
(dapat rezeki), apaboleh buat, OK OK sajalah. Sekarang pemerintah RI toh telah 
kembali kedalam TAO yang benar, sudah 'tidak takut' ajaran Khc. seperti dulu 
lagi. 
   
  Maaf pak moderator, tulisan ini sudah melenceng dari tema pokok. Saya hanya 
sekedar memberi penjelasan pada Me-me Uly. Cukup sekian saya sudahi !
   
  Salam dari Indarto Tan.
   


ulysee me <[EMAIL PROTECTED]> wrote:          Hihihihi, ada cheerleader..... 
Ayo Mas King Hian, Ayo Mas, cheerleader nggak punya argumen, dari kemaren cuman 
bingung dan pusing, maka sorak-sorak bergembira aja dari pinggir... hihihi..... 
Dari dulu juga gak ada yang anggap Konghucu atau budaya tionghoa itu mengancam 
kepentingan nasional, halusinasi pribadi jangan dipaksakan seolah-olah terjadi 
demikian. 
Yang ada itu perubahan persepsi konghucu dari agama ke filsafat, 
dan yang mempertimbangkan ketertiban umum atas dasar sikon politik masa itu, 
yang mana terjadi juga di Pontianak dan di Glodok, waktu cap go meh kemarin.
Jadi yang takut KOnghucu itu siapa??? Ndak ada kok, hihihihihi..... 
Ngayal aja!




RM Danardono HADINOTO <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Excellent posting as usual, mas King hian!

Saya juga pusing baca argument, takut komunismenya RRT lalu budaya 
Tionghoa, khusunya Konghucu "keserempet". saya, yang saat itu sudah 
mahasiswa, aktif berpolitik, dan banyak keluarga dipimpinan negara, 
tahu sekali, bahwa penguasa apalagi yang Jawa, mungkin takut komunis, 
tapi gak ada yang anggap Konghucu atau budaya Tionghoa itu mengancam 
kepentingan nasional.

Jadi, yang takut Konghucu itu (sampai ada pembatasan kegiatan 
Tionghoa) siapa ya? 

salam budaya

Danardono

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, King Hian <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Prom:
> Setelah kejadian tahun 1965 tsb, justru Konghucu mendapat 
kemajuan. Hal 
> ini juga disebutkan dalam salah satu buku Leo Suryadinata (sempat 
juga 
> dibahas sedikit dalam thread di milis ini).
> 
> KH:
> Rasanya Leo Suryadinata tidak menulis begitu.
> Berikut dikutip dari tulisan LS, judulnya: "Buddhism and 
Confucianism in Contemporary Indonesia Recent Developments", dari 
buku "Chinese Indonesians Remembering, Distorting, Forgetting" (ISEAS 
Publications, 2005).
> 
> Halaman 78:
> Soeharto's Assimilation Policy Towards Ethnic Chinese
> With Soeharto's rise in the wake of the abortive coup of 1965, 
however, the policy towards the ethnic Chinese changed fundamentally. 
Soeharto's New Order was suspicious of the Chinese community's link 
with the PROC. Eager to establish a "homogeneous nation", the 
government decided to introduce an assimilation policy towards the 
ethnic Chinese. It is imperative to note that the so-
called "homogeneous Indonesian nation" was based on the indigenous 
model. The ethnic Chinese were "non-indigenous" and therefore had to 
abandon their cultural identify if they wanted to become "genuine 
Indonesians". The indigenous Indonesian identity, to which the wew to 
transform was, however vaguely defined. As it turned out later, the 
indigenous Indonesian identity was nothing but an identity which 
was "non-Chinese".
> To achive this "indigenization" of the Chinese, the Soeharto 
regime introduced a number of measures, including the name-changing 
regulation (1966); a restriction on celebrating Chinese festivals and 
practising Chinese traditions in public (1967); and the elimination 
of the three Chinese cultural pillars, namely Chinese media (1965) 
and Chinese organizations (both political and social) and Chinese-
medium scholls (1966). The objective of the policy was that through 
assimilation, the entire ethnic Chinese community as a separate 
community would disappear.
> 
> Halaman 81:
> The Derecognition of Confucianism: Post-1978
> In the first eleven years after Soharto came to power, the new 
regime welcomed Confucianism. A few of its leaders were well-
connected with the military and supported the government party Golkar 
in the 1971 and 1977 general elections. However, after a while the 
Soeharto regime felt suffciently secure to no longer require 
Confucian support. Furthermore, Soeharto's generals felt that 
Confucianism was a hindrance to the complete assimilation of Chinese 
Indonesians. From 1978, the government began to keep distance from 
the Confucian religion. Towards the end of 1978, the Ministry of Home 
Affairs issued a circular, recognizing only five religions, excluding 
Confucianism. In early 1979 the Soeharto Cabinet also issued a 
decision, stating that Confucianism was not a religion. The Matakin 
congress, scheduled for February 1979, was cancelled because it 
failed to get a permit from the government.
> 
> Halaman 89:
> Decline of Chinese Religions in Indonesia
> In 1971, 0.9 per cent of the Indonesian population were Buddhists 
(1,073,088), while 0.8 per cent were Confucians (954,584). Between 
1979 and 1998 Confucianism was derecognized an the assimilation 
policy was intensified. As a result, many ethnic Chinese converted to 
either Buddhism or non-Chinese religions. The 2000 Census shows thet 
Buddhist constituted 0.84 per cent of the population (1,689,173) and 
followers of "other religions" (excluding the five big religions) 
only constituted 0.24 per cent. If half of them wew Confucians, then 
in 2000 the number of Confucians was 281,528, a drastic decline from 
1971 (954,584).
> 
> The Soeharto government was so successful in eliminating Agama 
Khonghucu that by the year 2000, the number of Confucians was no 
longer significant. Some have become Buddhists but many more may have 
converted to other religions. Possibly they have joined the ranks of 
Christianity.
> 
> It is public secret that since the 1965 coup, many Chinese have 
converted to Christianity to secape persecution. The number of 
Chinese Christians has increased although there is no official figure 
on that. Nevertheless, the overall Christian population in Indonesia 
has increased. For instance, the 1971 Census showd that 7.4 per cent 
of the Indonesian people were Christioans but the 2000 Census showed 
that the number had increased to 8.9 per cent. This increase may be 
due to the conversion of ethnic Chinese to Christianity.
> 
> -----------------------------------
> Prom:
> Bahkan perkembangan Konghucu tersebut diikuti dengan perkembangan 
> organisasi Konghucu sebagai suatu organisasi yang terpisah 
(Matakin). 
> Berbagai kongres nasional yang diadakan selalu dihadiri oleh 
pejabat 
> pemerintah saat itu. 
> 
> KH:
> Saya tidak paham, apa yang dimaksud dengan "organisasi yang 
terpisah"
> Terpisah di sini, apakah terpisah dari 'agama' lain?
> Apakah maksud Anda: sebelum peristiwa 1965 tidak ada organisasi 
Khonghucu (yang terpisah)?
> -----------------------------------
> Prom:
> Hal ini tentu saja tidak mengherankan, mengingat kepentingan 
politik 
> pada masa itu. Untuk membendung pengaruh RRC (atau ideologi komunis)
> dalam perpolitikan di Indonesia, pemerintah tentu memilih untuk 
meng-
> encourage perkembangan agama-agama/kepercayaan di Indonesia. (Note: 
> pada masa itu, komunis sering disamakan dengan atheis) 
> 
> KH:
> Komunis=atheis adalah dongeng yang dibuat oleh penguasa orde 
baru. Sampai saat ini masih banyak orang yang masih percaya akan 
kebenaran dongeng ini. Tetapi, si pengarang dongeng, tentu tahu betul 
bahwa dongengnya hanya 'isapan jempol'.
> Jadi, penguasa orde baru (si pengarang dongeng) pasti sangat 
mengetahui bahwa tidak ada hubungan antara membendung pengaruh RRC 
dengan meng-encourage perkembangan agama, apalagi KHC.
> 
> -----------------------------------
> Prom:
> Baru di tahun 1979, karena permasalah pengakuan agama resmi (secara 
> administratif dan hukum pencatatan sipil) oleh pemerintah, 
perkembangan 
> Konghucu (terutama sebagai suatu organisasi dan agama resmi) mulai 
> melambat. 
> 
> KH:
> Perkembangan KHC melambat karena masalah pengakuan agama resmi -
> bukankah yang menyatakan agama resmi (dan tidak resmi) adalah 
pemerintah orba. Artinya melambatnya perkembangan KHC karena 
pemerintah orba menyatakan bahwa KHC tidak diakui sebagai agama 
resmi. Sudah jelas orba tidak memerlukan KHC untuk membendung 
pengaruh RRC.
> 
> salam,
> KH
> 
> 
> 
> prometheus_promise <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "RM Danardono 
HADINOTO" 
> <rm_danardono@> wrote:
> 
> >...Maozedong yang di-gemeterin, Konghucu nyang di brangus...
> 
> Prom:
> 
> Tidak demikian kejadiannya. 
> 
> Setelah kejadian tahun 1965 tsb, justru Konghucu mendapat kemajuan. 
Hal 
> ini juga disebutkan dalam salah satu buku Leo Suryadinata (sempat 
juga 
> dibahas sedikit dalam thread di milis ini). 
> 
> Bahkan perkembangan Konghucu tersebut diikuti dengan perkembangan 
> organisasi Konghucu sebagai suatu organisasi yang terpisah 
(Matakin). 
> Berbagai kongres nasional yang diadakan selalu dihadiri oleh 
pejabat 
> pemerintah saat itu. 
> 
> Hal ini tentu saja tidak mengherankan, mengingat kepentingan 
politik 
> pada masa itu. Untuk membendung pengaruh RRC (atau ideologi komunis)
> dalam perpolitikan di Indonesia, pemerintah tentu memilih untuk 
meng-
> encourage perkembangan agama-agama/kepercayaan di Indonesia. (Note: 
> pada masa itu, komunis sering disamakan dengan atheis) 
> 
> Baru di tahun 1979, karena permasalah pengakuan agama resmi (secara 
> administratif dan hukum pencatatan sipil) oleh pemerintah, 
perkembangan 
> Konghucu (terutama sebagai suatu organisasi dan agama resmi) mulai 
> melambat. 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok
> http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/
> 
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. 
Try it now.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>

---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel

[Non-text portions of this message have been removed]



                           

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke