Benar kata neng Uli, janganlah prjudis dulu, ... tengoklah kenyataan hidup umumnya kaum minoritas di Tiongkok. Baik suku Hui dan suku Shinkiang yang Islam, maupun suku minoritas kewcil di Tiongkok selatan, ... Ini ada tulisan Dahlan Iskan yang menceritakan pengalaman ber-Lebaran dikota Harbin: Jadi, bukan di propinsi Kanshu dimana suku Hui yang ber-Agama Islam lebih terpusat, atau di Provinsi Shinkiang dimana suku Shinkiang berada, tapi di kota Harbin dimana umat Islam benar-benar sangat, sangat minoritas sekali.
http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=196227 Sabtu, 05 Nov 2005, Merasakan Lebaran di Kota Harbin, Tiongkok Salat Id Mulai Pukul 9, Masuk Masjid tanpa Lepas Sepatu Tahun ini, CEO Jawa Pos Group DAHLAN ISKAN berlebaran di Harbin, Provinsi Heilongjiang. Ini adalah kota dengan penduduk muslim paling sedikit di Tiongkok. Bagaimana suasananya? Lebaran tahun ini, saya berada di kota Harbin, ibu kota Provinsi Heilongjiang, Tiongkok. Inilah provinsi paling utara yang langsung berbatasan dengan Rusia. Inilah provinsi yang umat Islamnya amat sedikit. Jam lima pagi, saya sudah bangun. Ingin langsung ke masjid dekat tempat tinggal saya. Saya ingin sembahyang Idul Fitri di situ. Udara dingin sekali. Provinsi ini memang terkenal yang paling cepat kedatangan musim dinginnya. Bahkan, tiga hari sebelum Lebaran sudah sempat turun salju hampir satu hari penuh. Dinginnya sudah bukan main. Minus dua derajat. Di provinsi ini, saat puncak musim dingin pada bulan Januari bisa minus 15 derajat. Saat itulah Harbin kedatangan banyak turis karena diselenggarakan berbagai pertunjukan yang terkait dengan salju. Misalnya, pameran taman bunga yang terbuat dari salju. Atau cahaya-cahaya indah yang memancar dari dalam salju. Meski di hari Lebaran itu udara kembali hangat, saya tetap memakai baju rangkap-rangkap. Masjid ini terletak di pinggir jalan raya yang lebar di daerah elite Harbin. Malam Lebaran, saat saya lewat pada pukul delapan, masjid itu memang tertutup dan di dalamnya juga tampak gelap. Namun, berbeda dengan hari-hari biasa, malam itu bendera kecil-kecil berbagai warna dipasang di sepanjang pagar luarnya. Pertanda besoknya akan ada acara khusus. Pasti karena Lebaran. Ketika saya tiba di masjid itu, ternyata masih lengang. Baru ada beberapa orang yang lagi menggelar dagangan di jalan masuk masjid. Mereka jual roti, topi sembahyang, dan berbagai foto masjid serta kaligrafi huruf Arab. Lalu, saya bertanya kepada salah seorang yang sibuk menempelkan pengumuman di halaman masjid itu. Jam berapa mulai salatnya? "Jam sembilan," katanya. Wah, siang banget, kata saya dalam hati. Tiwas saya datang pagi-pagi sekali. Memanfaatkan waktu yang masih panjang, saya melihat-lihat pengumuman yang sedang ditempelkan. Oh, isinya daftar sumbangan dari jamaah masjid selama bulan puasa. Saya lihat ada yang menyumbang 10 yuan, 100 yuan, dan yang tertinggi 1.000 yuan (sekitar Rp 1,3 juta). Total, kira-kira Rp 10 jutaan. Masjid itu terdiri atas beberapa bagian. Halaman depannya yang sempit untuk taman. Lalu, ada bangunan dua lantai untuk kantor. Di belakang kantor itu, ada halaman lagi. Setelah itu, barulah masjid yang berupa bangunan dua lantai. Bagian bawahnya untuk fasilitas pendukung. Lantai atasnya untuk masjid. Tidak ada mimbar dan tidak ada tempat khusus untuk imam. Masjid itu memang baru dibangun tujuh tahun lalu. Luas tanahnya hanya sekitar 20 x 60 meter. Semua orang yang masuk masjid itu tidak melepas sepatu. Sesuatu yang kalau di Indonesia bisa jadi penyebab bunuh-membunuh. Karena tidak terbiasa masuk masjid bersepatu, saya sendiri juga ragu-ragu. Tapi karena semua orang memang begitu, ya saya mau taruh sepatu di mana? Oh, mereka ternyata baru melepas sepatu di dekat karpet tempat sembahyang. Sebelum untuk sembahyang, lantai karpet itu untuk menerima zakat. Saya lihat di atas karpet itu ada seseorang yang -rupanya salah satu pengurus masjid- duduk bersimpuh sambil membaca (hafalan) beberapa bagian dari Alquran. Di depannya juga duduk bersimpuh dengan agak menunduk seseorang yang sudah sangat tua. Semula saya agak sulit menebak adegan apa itu? Oh, ternyata itulah pembayar zakat fitrah. Mereka menyerahkan uangnya di dalam lipatan kertas berwarna putih. Setelah menyerahkan zakat itu, mereka minta didoakan oleh kiai di situ. Begitulah, setiap orang yang membayar zakat duduk bersimpuh di depan kiainya untuk dibacakan doa-doa. Karena waktu masih panjang, saya ke halaman lagi untuk melihat-lihat situasi di luar. Saat itulah saya bisa ketemu orang yang mau diajak omong-omong panjang. Dia banyak bertanya asal-usul saya dan mengapa berada di Harbin. Saya jelaskan bahwa saya lagi meneruskan belajar bahasa Mandarin dengan cara tinggal di rumah seseorang yang seluruh anggota keluarganya tidak bisa berbahasa lain kecuali Mandarin. Memang berat dan kikuk, tapi cara apa lagi yang lebih efektif? Terutama karena keterbatasan waktu seperti saya? Lalu, dia memberi tahu saya, sebaiknya pergi ke masjid yang terbesar di Harbin. Agar punya pengalaman yang lebih menarik. Saya disarankan naik bus kota nomor 70. Ongkosnya cuma 1 yuan (Rp 1.200). Mungkin, dia mengira saya tidak punya cukup uang sehingga tidak menyarankan naik taksi. Tapi, saya turuti juga saran itu. Sekalian ingin tahu sistem bus kota di Harbin. Wah, jauhnya bukan main. Satu jam perjalanan. Bus lagi penuh sesak karena memang lagi jam orang berangkat kerja. Bus kota di seluruh Tiongkok kini memang sudah sangat bagus. Pintu otomatis, bersih, dengan sistem naik turun seperti di Eropa, dan disertai pengumuman ketibaan dalam bahasa setempat dan bahasa Inggris. Meski perjalanan itu panjang (dan saya mulai lapar karena belum sarapan), saya tidak menyesal. Begitu tiba di daerah yang dimaksud, saya kaget melihat dari jauh masjid berwarna serba biru yang sangat indah. Terlihat dua menara yang menjulang tinggi di kiri dan kanan. Lalu, empat kubah kecil di kiri dan empat kubah kecil di kanan. Beberapa kubah kecil dan satu kubah besar di tengah. Semuanya serba biru putih yang menonjol. Lebih kaget lagi setelah saya mendekat. Bukan main ramainya. Pemerintah membuat kehadiran masjid ini menjadi sangat atraktif dengan cara menata lingkungannya. Satu blok penuh tidak boleh ada bangunan lain kecuali masjid itu dengan halaman yang luas. Semua trotoar di sekeliling blok itu juga lebar-lebar (hampir semua trotoar di Tiongkok memang lebar) sehingga orang berjalan berjajar sepuluh pun masih longgar. Di sekitar blok itu, pemerintah memperbarui kampung lama diganti dengan bangunan-bangunan apartemen delapan lantai. Maka, kompleks masjid itu menjadi bagian yang indah untuk para penghuni apartemen yang mengelilinginya. Saya teringat kalau sedang duduk di lounge Hotel Sanghri-La Jakarta di mana bangunan masjid yang indah di belakangnya telah menjadi bagian yang menyenangkan dari hotel itu. Di hari Lebaran seperti ini, lapangan yang luas di depan masjid itu, pagi itu, penuh dengan orang yang bertopi putih. Juga penuh dengan orang yang jualan roti, sate khas suku hui, baju-baju, buah-buahan, dan buku-buku Islam. Saya membeli satu Alquran yang berbahasa Mandarin. Harganya 26 yuan atau sekitar Rp 32.000. Ingat waktu kecil betapa banyak orang yang alergi melihat huruf Mandarin, maka kehadiran Alquran berbahasa Mandarin menjadi sangat menggoda. Lapangan itu sebenarnya fasilitas umum. Bukan halaman masjid. Tapi karena luasnya, lantas seperti menyatu dengan kompleks masjid. Padahal, setelah halaman itu, masih ada pagar. Di dalam pagar itu, ada halaman masjid lagi. Bangunan masjid tersebut terdiri atas tiga bagian. Sayap kanan dan kiri yang bentuknya juga seperti masjid yang indah, dipakai fasilitas kantor dan sekolah Islam. Masjidnya sendiri di bangunan yang di tengah. Saya langsung masuk masjid itu. Juga tetap bersepatu karena semua orang juga begitu. Sembahyang belum juga dimulai. Masih setengah jam lagi. Sepatu baru dilepas di dekat karpet yang sangat tebal dan empuk sekali. Agar kalau musim dingin tetap hangat. Di atas karpet itu, saya lihat orang duduk bersimpuh berhadap-hadapan seperti hendak selamatan. Atau seperti saat menunggu buka puasa di Masjidil Haram di Makkah. Oh, mereka semua ternyata jamaah yang membayar zakat yang sedang didoakan para ustad di situ. Yang menghadap ke barat adalah pembayar zakat. Yang bersimpuh berjajar di depannya adalah para ustadnya. Tak pelak bila di atas karpet di antara pembayar zakat dan ustad itu berserakan lipatan kertas-kertas putih yang di dalamnya berisi uang. Setiap tahun saya bisa 10 sampai 14 kali ke Tiongkok. Tapi, baru kali ini melihat Lebarannya orang Islam di sana. Kota Harbin bukanlah di provinsi yang banyak muslimnya. Bahkan, kata mereka, justru yang paling sedikit. Sekitar 50.000 muslim di kota itu, tentu saja hampir 100 persen suku Hui (di seluruh Tiongkok tercatat 60 juta muslimnya). Karena itu, di luar kompleks masjid tersebut, segalanya berjalan seperti biasa. Tidak ada yang peduli bahwa hari itu Lebaran. Orang kerja biasa. Terasanya Lebaran ya kalau sedang di masjid itu saja. Meski begitu minoritas, pagi itu terlihat betapa semangatnya mereka berlebaran. Juga bagaimana punya semangat membangun masjid baru di negara yang sistemnya masih komunis. Memang, pengurus masjid umumnya juga pengurus partai komunis, namun bisa dibayangkan bagaimana beratnya menjalankan agamanya di lingkungan mayoritas mutlak yang komunis. Kadang memang penting merasakan jadi minoritas di negara lain (atau di daerah lain) agar bisa menyelami perasaan minoritas di Indonesia yang mayoritas muslim. Ketika mendengar bagaimana mereka berusaha mendirikan masjid baru di kawasan elite kota Harbin, saya jadi bisa merasakan bagaimana beratnya orang Konghuchu di Kapasan saat harus mempertahankan Klenteng tua di situ itu di tahun 1966 dari berbagai tekanan untuk menutupnya.(*) ----- Original Message ----- From: Tirta D. Arief To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Friday, May 02, 2008 9:26 AM Subject: RE: [budaya_tionghua] minoritas muslim di RRT bagaimana? Hehehe.....dimana en kapan pun yang namanya 'minoritas' katakan 'pahit'....jangankan dalam skala besar, seperti negara....kalo sekelompok orang berjalan, misal 10 orang'....8 orang diantaranya masih hubungan famili, en yang 2 'orang luar'....gimana 'perasaan' yang 2 orang itu?... apalagi yang 8 orang ini lebih fokus sama pembicaraan ato kepentingan 'mereka'.....pernahkan 'anda' mengalami menjadi 'mayoritas'?.....kalo mau belajar, tentu bisa mengerti sebaiknya bagaimana menjaga perilaku agar tidak 'menyakiti'....entah kalo malah muncul 'balas dendam'nya....dulu aku sering di'bonzai' orang-orang karena aku 'minoritas' nah, sekarang aku 'mayoritas'....rasain dah lu!....Jelas ini bukan sikap 'manusia dewasa'...:-) Namun ini juga yang 'mengaduk-aduk' aspek etika/moral, budaya/agama, dan kepentingan politik/ekonomi....:-) salam, tda On Fri, 2 May 2008, Ulysee wrote: > > to quote: "saya pikir minoritas muslim di RRt juga mempunyai pengalaman > pahit." > > IH, ini belon-belon udah prejudis duluan ih, kenape sih ??? > > Kali kebanyakan orang asal denger 'minoritas' aja langsung kebayangnya > Cinderella yang tersiksa kali ya. > padahal khan enggak semua minoritas tertindas, ada juga minoritas yang > beringas, wakakaka..... > (minjem istilahnya loocianpwee neh) > > -----Original Message----- > From: budaya_tionghua@yahoogroups.com > [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of rerez lana > Sent: Friday, May 02, 2008 6:29 AM > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > Subject: [budaya_tionghua] minoritas muslim di RRT bagaimana? > > > salam > sebagaimana nasib minoritas tibet saya pikir minoritas muslim di RRt > juga mempunyai pengalaman pahit. apalagi semasa revolusi kebudayaan. > atau sebelum2nya. > namun saya masih kesulitan untuk mendapat informasi minoritas muslim > tionghoa di rrt. misal suku hui. > ada yg bisa bantu? > salam > maulana > > ------------------------------------ .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :. Yahoo! Groups Links -- No virus found in this incoming message. Checked by AVG Free Edition. Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.23.5/1399 - Release Date: 2008/4/26 ¤U¤È 02:17