Liatwie sianseng kouwnio,

Daripada ngomongin yang jauh-jauh, diskriminasi muslim di Tiongkok
lah, perbudakan di Tibet lah, imigran Tionghoa di Eropa lah,
diskriminasi Tionghoa di Amerika lah, ini ada sesuatu yang terjadi di depan 
mata kita dan menyangkut kita langsung!

Selama ini, di milis budaya tionghoa ini, dan barangkali juga di milis
ketionghoaan lainnya yang members-nya orang Indonesia, kalau
disebut-sebut tentang WN RRT di Indonesia, tentu yang dimaksudkan
adalah etnis Tionghoa yang walau pun asalnya imigran dari Tiongkok
Selatan tetapi sebetulnya sudah orang Indonesia.

Sudah turun-temurun di Indonesia, paling-paling sisa disebut totok saja, 
walaupun sudah peranakan juga.
Sudah tidak punya nama tionghoa, paling-paling sisa punya she saja, itu pun 
Hokkian punya.
Sudah tidak bisa berbahasa tionghoa, baik Hokkian apalagi Mandarin,
paling-paling sisa bisa ngomong gocap dan ceban saja, itu pun dengan dialek 
daerah menjadi "nggocap" dan "cemban".
Sudah tidak beragama Konghucu lagi, paling-paling sisa ikut ramai kalau 
Imlek saja, itu pun sebetulnya cuma mengharap angpau-nya.

Sudah punya KTP sebagai benar-benar penduduk kota-kota atau
kabupaten-kabupaten Indonesia, paling-paling ada yang ditandai
dengan kode saja yang menunjukkan keturunannya, itu pun sekarang sudah tidak 
ada lagi.
Yang pasti samasekali tidak mempunyai kartu identitas apa pun yang 
menunjukkan dia WN RRT, misalnya paspor RRT.

Karena warisan sistem penggolongan kependudukan kolonial Belanda,
perjanjian penghindaran dwi-kewarganegaraan RI-RRT jaman Orla,
kebijakan pemerintah untuk diferensiasi ideologis RI-RRT jaman Orba,
dll., muncullah masalah WN RRT, stateless, SBKRI, pri & non-pri,
diskriminasi, dsb., yang menyangkut mereka yang sebetulnya orang Indonesia.

Tetapi bagaimana pun, kalau dalam pembicaraan kita sehari-hari
disebut-sebut istilah "WN RRT", tidak pernah terbayang oleh saya
wajah, nama dan bahasa penduduk negeri yang namanya Rep. Rakyat Tiongkok.
Bagi orang yang pernah pergi ke RRT, apalagi berinteraksi langsung
dengan orang di sana, kelihatan koq beda penampilannya WN RRT
yang orang Tiongkok dan WN RRT yang orang Indonesia.


Tetapi akhir-akhir ini ada fenomena baru di Indonesia sehubungan WN RRT ini. 
Yaitu yang belakangan ini muncul sebagai berita-berita di media menyangkut 
apa yang disebut warganegara asing dari RRT.

Misalnya berita tujuh WN RRT yang diculik di Gayo Lues, Kabupaten
Aceh Tengah bulan April yang lalu.
Mereka semuanya mempunyai paspor RRT. Walaupun jelas-jelas
bekerja di Indonesia, bahkan sampai di pelosok-pelosok yang jauh dari kota 
besar.

Kasus-kasus keberadaan WN RRT yang sedemikian ini juga mulai
santer terdengar di beberapa tempat lain, misalnya di Kalimantan, terutama 
Kalimantan Barat.

Kemudian yang heboh kemarin-kemarin ini di Jakarta, kasus seorang
bernama Lin Xiaohua, pemegang paspor RRT, yang menculik seorang
wanita, lalu karenanya ditembak mati polisi.
Ternyata, sudah cukup lama berkerja di Indonesia, punya KTP Jakarta,
walau pun kemungkinan palsu, dan sudah punya nama Indonesia yang cukup 
dikenal lingkungannya, Franky Halim.

Saya tidak tertarik mempersoalkan kasus-kasusnya. Yang toh tidak
relevan untuk milis ini.
Tetapi tertarik mencermati apakah ini suatu fenomena budaya tionghoa
baru.
Yaitu apakah sudah terjadi gelombang imigran baru dari RRT masuk
ke Indonesia?

Saya tidak membahas WN RRT yang datang ke Indonesia, dan berkerja
untuk suatu pekerjaan (proyek) yang sudah tertentu tempat, waktu maupun 
employer(majikan)-nya.
Termasuk mereka yang lalu terkenal di pecinan Kota dengan istilah
"cungkuo" itu. Suatu kesalah-kaprahan yang mengesalkan bagi kita yang tahu 
arti kata 中國 tersebut yang sebenarnya!

Tetapi yang saya maksudkan adalah mereka, WN RRT, yang datang
untuk menetap. Setidak-tidaknya berkerja tanpa suatu batas waktu dan lokasi 
yang ditentukan sebelumnya.
Serta berkerja langsung di antara dan bersama orang Indonesia, walau mungkin 
masih memilih mereka yang sesama etnis Tionghoa.
Juga berinteraksi dengan bahasa dan budaya setempat.
Bahkan juga lalu berusaha memperoleh identitas kependudukan Indonesia.
Bukankah ini ciri-ciri klasik fenomena imigran...


Barangkali ada teman lain di milis ini yang juga mencermati fenomena ini, 
dan bisa menjelaskannya.
Ditunggu!


Wasalam. 

Kirim email ke