Setau saya BAK SO bhs hokien
BAK=daging
SO= mengelus/membuat menjadi bulat 
 
bakso daging yg dibuletin



--- On Sat, 20/9/08, Ophoeng <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Ophoeng <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [budaya_tionghua] Salah Kaprah Nomenklatur Makanan (Was: makanan 
Filipina - Indonesia)
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Saturday, 20 September, 2008, 4:16 PM






Bung KH, Bung Danardono dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan (sahur)?

Ikut nimbrung dikit ya...

Bener bahwa 'bak' artinya 'daging' secara umum, mungkin padanannya
hampir sama dengan 'iwak' di Jawa. Hanya saja, 'iwak' rada salah kaprah
sebab arti semula iwak = ikan.

Yang unik itu para penterjemah film teve. Di Singapura orang banyak
yang suka makan baso (bakso) ikan. Yang dalam bahasa Inggris dise-
butnya 'fish ball', kalau daging (sapi) namanya 'meat ball'. Nah, pernah
ada film jenaka buatan Singapura, ttg keluarga pedagang baso ikan,
sudah jelas pan film ada gambarnya itu baso ikan, eh, dasar penter-
jemahnya cuma berdasarkan textbook, tidak lihat gambar, maka sub-
title yang muncul di layar adalah: bola ikan. Ndak salah sih, ball = bola.

Bak yang agak rancu itu dengan 'bak' seperti pada 'bak-kut', sebab ini
bisa saja dari 'bak' = daging, tapi bisa juga dari 'bai' yang 'i'-nya luluh
menjadi 'ba-kut' yang tadinya 'bai-kut', dengan arti 'tulang berbaris,
aka tulang iga. Ada yang menuliskan 'bak-kut' untuk tulang berdaging.
Jadi kalau 'ba-kut', bisa berarti tulang iga, bisa juga daging + tulang.
Atau jangan-jangan yang 'daging-tulang' itu yang salah kaprah ya?

Bakso itu saya curigai justru asli Indonesia, dengan pengaruh Hok-kien.
Kenapa? Sebab nama sebenarnya untuk 'bakso' atau 'baso' kalau yang
'asli' Hok-kien adalah yang biasa disebut saudara-2 kita di Surabaya,
yakni 'bak-wan'. Bak = daging, wan = bola-bola (seperti pil bulat-2).
Coba anda cari 'so' itu dari bahasa Hok-kien apa? Kayakanya ndak ada.

Bakwan yang kita kenal sekarang, justru itu salah kaprah. Bakwan udang
atau bakwan jagung, misalnya. Pan kedua bakwan ini tidak bulat bentuk-
nya, tapi bundar dan pipih. Bakwan udang atau ote-ote(?) masih luma-
yan dinamai sendiri, yang kalau di Semarang jadi 'gimbal' (aneh lagi, se-
bab 'gimbal' itu seperti rambut yang saling melekat gitu, pada kambing
yang disebut kambing gimbal). Bakwan jagung itu, mestinya disebut se-
bagai 'perkedel' jagung, sebab sebenanrnya dia lebih mirip perkedel, wa-
lau tidak bulat lonjong, kalau dilihat secara adonannya.

Bak diartikan sebaga pendekan untuk ba(k)bi, memang suatu salah ka-
prah yang sulit dihilangkan. Padahal banyak makanan berawalan 'bak'
sudah kadung diserap menjadi nama makanan di Indonesia: bakpao,
bakphia, bakwan, bakmoi, bakcang. Orang suka salah anggap bahwa
itu makanan bernama 'bak' mestilah berdaging babi, kecuali tentu ka-
lau ada kata sandang 'si' menjadi si-mbak, jelas ini sih dari Jawa.

Kalau nama kue-kue kita, contohnya kue lapis, sekarang naik 'derajat'
menjadi kue lapis legit, sedang kue lapis yang 'asli', yang terbuat dari
tepung beras, dibuat berlapis-lapis, selang-seling warnanya, sekarang
lebih dikenal sebagai kue 'pepe' (Jakarta?). Memang sih keduanya sama
proses pembuatannya, dibuat selapis demi selapis. Sehingga orang ba-
rat menyebutnya sebagai 'layer cake'. Orang Semenanjung (Malaysia
dan Singapura) biasa menyebutnya sebagai 'spice cake' juga, sebab me-
mang ada bumbu (spice) khusus untuk pembuatan kue lapis legit itu.

Nagasari pernah ada yang iseng coba menterjemahkan dalam bahasa
Inggris sebagai 'dragon essence'. Terasa sangat jauh, nagasari kayak-
nya is nothing to do with the 'essence' (sari) of the dragon. Di Cirebon
kue nagasari (kue pisang) disebutnya kue pipis. Entah kenapa, tetapi
mestinya tiada ada hubungannya dengan 'pis' (kencing).

Lumpia, kalau menurut wiki memang susah dibilang mana yang 'asli',
yang memakai rebung-kah atau yang bukan rebung. Sebab tiap dae-
rah (dan wilayah regional) punya andalan center fill (isi) masing-2 ya.
Dan, seperti juga produsen kecap, tentu menyebutnya dialah yang asli.

Di Vietnam memang isinya cuma bihun, tokol (toge) mentah dan udang,
dengan kulit yang transparan tanpa digoreng, dimakan dengan rajangan
cabe rawit, daun ketumbar dan saus tauco. Togenya masih mentah.

Di Indonesia, versi Semarang tentu pakai rebung, telur dan udang (ada
yang coba inovatip: pake daging kepiting), bisa pilih goreng atau basah
(maksudnya ndak digoreng kulitnya), sausnya berupa tepung kanji di-
campur air dimasak, kental, diberi kecap, berwarna soklat muda, diberi 
parutan bawang putih mentah, kondimennya acar cabe rawit dan timun, 
dan bawang daun kecil (lok-kio?).

Lunpia (lumpia) Surabaya mirip Semarangan, bisa basah atau goreng, ha-
nya beda di sausnya dibuat dari campuran tauco, mirip lunpia Vietnam. 

Tapi, di Bogor dan Jakarta beda lagi. Bogor pake bengkuang, tahu, hebi
dan telur sebagai campuran isinya, juga toge. Lalu kulitnya tidak digo-
reng, dibungkus seperti amplop aja, tidak dibuat bundar panjang seper-
ti umumnya lunpia, dimakan dengan saus cabe gerus. Isinya dadak go-
reng telur dengan racikan yang pre-cooked. Yang Jakarta bedanya di
cara bungkus yang dibuat bulat panjang, sudah pre cooked isinya, di-
digoreng, dimakan dengan saus kacang + cabe gerus. Entah mengapa,
memang orang Jakarta sukanya makan pake bumbu kacang: sate kam-
bing ajah pake bumbu kacang. Sama seperti orang Yogya (Jawa tengah?)
yang suka makan apa-apa pake kubis (kol): tongseng, sate, bakso kuah.

Kalau bicara makanan, tentang nama-namanya, rasanya koq ndak ilok
kalau disebut siapa yang "nyolong" dari siapa. Agak susah, sebab kon-
sep makanan (apalagi orang Asia) adalah guyub, saling baku tukar re-
sep tidak ada yang ditutupi, tidak ada rahasia. Mungkin budaya Asia
yang lebih ramah dan terbiasa kepada tetangga saling berbagi resep?
Beda misalnya ama konsep Amrik (dan barat?) yang apa-apa serba di-
pateni (dibuat paten-nya), serba rahasia, hak cipta.

Kalau soal hak cipta makanan sih sebenernya ndak gitu masalah, lha 
orang Jepang itu pemegang paten bumbu kari (juga tempe?) di dunia,
tapi kita semua tahunya bumbu kari itu dari india, dan memang India 
katanya sih produsen bumbu kari terbesar di dunia. Yang penting pan
siapa yang bisa memanfaatkannya menjadi duwit gede, jeh!

Kayak nasi goreng ajah, contohnya. Sudah jelas itu nasi goreng 'asli'
nya dari Tiongkok, tapi saya pernah makan di satu resto besar di sa-
tu kota industri di Fujien, Quan-chow(?) , ada menu 'nasi goreng In-
donesia', dengan isi: sate ayam, ayam goreng, kerupuk udang, acar 
timun dan bawang merah. Sebab memang acar timun + bawang ra-
sanya bukan 'asli' Tiongkok(?), makanya mereka menyebutnya gitu.

Yang unik tentu nama 'carrot cake' di Singapura, sebab beda dengan
konsep 'carrot cake' di barat. Yang Singapura, carrot-nya itu bukan
'carrot' = bortel yang oranye warnanya, tapi dari lobak (masih berso-
dara ama bortel/wortel) yang putih, juga arah rasanya cenderrung
'savory' (gurih, asin, non sweet), kadang dimasak seperti anda ma-
sak kwetiauw, diberi sayur dan daging. Jadi, 'cake'nya di situ bukan
berarti kue atau tart yang kita kenali. Kalau orang barat, carrot cake
ya menunjuk cake yang manis dibuat dari carrot, bortel oranye itu.

Kalau bicara Filipina, lumpia di sana kalau tak salah juga disebut
sebagai 'lumpiang', pangsit kalau tak salah disebut juga 'pancit'.
Mirip-mirip sih sebenernya, sebab memang 'akar' asal muasalnya
ya sama-sama dari perantau Tionghua yang kebanyakan Hokkien
(daerah pantai di Tiongkok?). Banyak juga mestizo Chinese di Fi-
lipina yang berasal dari Hok-kien (termasuk Corry Aquino?), jadi
ndak usah heran kalau banyak makanan Filipina yang bernama
mirip-mirip nama-2 makanan Indonesia (berasal dari Tiongkok).

Yang unik lagi adalah 'terasi', orang semenanjung menyebutnya
belacan (juga Riau dan Medan?), Filipina menyebutnya bagoong,
Thailand dan Vietnam tentu punya nama sendiri, bahasa inggris-
nya selalu disebut sebagai 'shrimp paste'. Ini tentu mestinya buat
kita salah kaprah, sebab kita punya terasi tidak berbentuk pasta
(paste) melainkan seperti 'cake' kering, paling juga nyemek cen-
derung garing. Yang berbentuk pasta pan kita punya sendiri, ya-
itu 'petis'. Nah, apapun namanya, kalau anda coba bandingkan
terasi di mana-mana saja di Asia, aroma (bau)nya sama semua!
Rupanya aroma terasi itu cukup universal ya?

Begitu ajah sih kira-kira ya cuap-cuap mongge nan kosong ini ya.
Kalau ada yang salah, tolong dikoreksi, ada kurang sila ditambah.

Salam makan enak & sehat bermanfaat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang

--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, King Hian <[EMAIL PROTECTED] ..> 
wrote:

Pak Danardono Yth,
 
Koreksi dikit Pak, "bak" dalam bakso itu artinya "daging".
 
Penulisan 'bak' seperti ini juga hanya cocok untuk lidah orang Jawa, orang 
Sunda akan 
salah mengucapkan, karena mengucapkan dengan 'k' yang jelas. Padahal "bak" 
harus 
diucapkan dengan 'a' pendek. Dalam ejaan yang diusulkan di milis ini, "bak" 
ditulis dengan 
"baq".
 
 
daging babi: ti baq (Mandarin: zhu rou)
daging sapi: gu baq (niu rou)
daging kambing: yno baq (yang rou)
daging ayam: ke baq (ji rou)

salam,
KH
 
ps. nanti kalo kumpul2 lagi kita makan bakso aja Pak, he he

--- On Sat, 9/20/08, RM Danardono HADINOTO <rm_danardono@ ...> wrote:

From: RM Danardono HADINOTO <rm_danardono@ ...>
Subject: [budaya_tionghua] Re: (makanan Filipina - Indonesia) Pengaruh budaya 
tionghua 
kah?
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Date: Saturday, September 20, 2008, 9:25 AM


Getuk, onde onde, nagasari, kue lapis, klepon, semua dikenal di 
Philippina. Juga merata di Malaysia. Siapa yang "nyolong" dari siapa, 
entahlah ha ha ha.

Mengenai lumpia, numpang tanya, apakah lumpia berisi rebung itu yang 
orisinil? Apakah keistimewaan lumpia Semarang? Di Vietnam lumpianya 
tidak digoreng, dan isinya samasekali lain.

Yang aneh itu bakso. Abang abang dengan sangat PD mutar mutar dengan 
gerobak menjajakan bakso. Daging kah, urat kah. Kalau ditanya "daging 
apa"? Lalu automatis dijawab "Ya sapi to Pak". Saya jawab "kok 
gitu?" "Kan bak itu artinya daging babi"? Dia bingung.
Dia kira bakso itu bahasa jawa kali ya?

Salam

Danardono



 














      

Kirim email ke