PP:
Konteks pendapat HTS adalah mengenai kehidupan Sindhunata semata. 
Apakah dia bermaksud meng-generalisasi ? saya tidak tahu pasti. 

KH:
Sebagai tokoh LPKB Sindhunata cenderung anti budaya Tionghoa, dan HTS sebagai 
karib KS, kelihatannya mempunyai pikiran yang sama.
Karena itu HTS memilih kata "SEHINGGA" dalam tulisannya:
 
"Dengan demikian, Sindhu memang dibesarkan tanpa ada warna budaya 
ketionghoaan budaya babah SEHINGGA orientasi keindonesiaan- nya 
memang total."
 
pemakaian kata sambung SEHINGGA menunjukkan bahwa anak kalimat di belakangnya 
adalah akibat dari anak kalimat di depannya.
 
Jika kalimatnya diganti menjadi:
"Dengan demikian, Sindhu memang dibesarkan tanpa ada warna budaya 
ketionghoaan budaya babah TETAPI orientasi keindonesiaan- nya 
memang total."
 
Kalimat di atas memiliki pengertian yang sangat berbeda.
Kalimat HTS berpengertian bahwa orientasi keindonesiaan Sindhunata total karena 
ia dibesarkan tanpa warna budaya Tionghoa. -> artinya orang yang dibesarkan 
dalam warna budaya Tionghoa, orientasi keindonesiaannya cenderung tidak total
 
Pada kalimat kedua, ada asumsi bahwa orang yang dibesarkan tanpa warna budaya 
Tionghoa, orientasi keindonesiaannya cenderung tidak total
 
Lain halnya kalau dia menulis:
"Dengan demikian, Sindhu memang dibesarkan tanpa ada warna budaya 
ketionghoaan budaya babah. SELAIN ITU orientasi keindonesiaan- nya 
memang total."
 
Pada kalimat di atas kedua 'fakta' tidak berhubungan bersyarat. Sehingga 
terdengar lebih netral.
 
salam,
KH



--- On Fri, 9/26/08, prometheus_promise <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: prometheus_promise <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [budaya_tionghua] Re: HTS di CSIS
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Friday, September 26, 2008, 1:08 PM






Nah, ini baru menarik. Salut dengan jawaban Anda. 

Seperti yang sudah anda tekankan juga, sebuah premise "Jika P maka Q" 
tidak bisa diubah menjadi "Jika Tidak P, maka Q" dengan nilai 
kebenaran yang sama, karenanya ini disebut logical fallacy. 

Sekarang, kita masuk kepada penilaian apakah pernyataan "Jika P maka 
Q" nya benar atau tidak. Ini permasalahan yang berbeda, dan tidak 
bisa di-argue dengan melakukan logical fallacy diatas. 

Seperti yang saya tuliskan di message sebelumnya, bahwa pilihan 
budaya sesorang dikaitkan dengan keindonesiaan adalah tidak relevant 
dan unnecessary. Hal ini sama dengan penjelasan Anda dibawah, bahwa 
hal tersebut tidak bisa dijadikan hubungan bersyarat, sehingga Jika P 
maka Q tersebut tidaklah valid, atau paling tidak sangat debatable. 

Konteks pendapat HTS adalah mengenai kehidupan Sindhunata semata. 
Apakah dia bermaksud meng-generalisasi ? saya tidak tahu pasti. 

Tapi, semoga saat ini, untuk generasi muda tionghoa, kita bisa 
(seharusnya) bersama-sama mempertahankan value yang sama bahwa 
pilihan budaya/agama/ tradisi yang beragam dan orientasi keindonesiaan 
dapat berjalan bersama (seperti pendapat sdr. KH dan juga yg lain), 
tanpa perlu harus selalu dilandaskan (atau dikait-kaitkan) pada 
policy/politik yang lampau. 

Prometheus

--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, King Hian <[EMAIL PROTECTED] ..> 
wrote:
 
> KH:
> Yang Anda tuliskan di atas kelihatannya benar. Tapi seperti saya 
katakan, orientasi ke-Indonesiaan (nasionalisme) itu tidak ada 
hubungannya dengan warna budaya seseorang. Sehingga pengambilan 
premis dan hubungan antar keduanya menjadi kacau.
>  
> Premis:
> P="orang dibesarkan tanpa warna budaya ketionghoaan" , dan 
> Q="orientasi keindonesiaan- nya total"
>  
> hubungan P dan Q ini tidak bisa menjadi hubungan bersyarat 
(implikasi), karena itu kita tidak bisa bilang mengatakan:
> P -> Q (jika P maka Q) atau ~Q -> ~P.(jika tidak Q maka bukan P)
>  
> Coba kita gunakan dengan kata2:
> P -> Q:
> orang yang dibesarkan tanpa warna budaya Tionghoa, orientasi ke 
indonesiaannya akan total
>  ---> ini tidak bisa dijadikan "dasar" karena sangat mungkin ada 
orang yang dibesarkan tanpa warna budaya Tionghoa tetapi menjadi 
orientasi ke indonesiaannya terpecah
> contoh: ada orang yang dibesarkan tanpa budaya Tionghoa (tetapi 
budaya Belanda), orientasinya keindonesiaannya hampir tidak ada, 
karena ia pro Belanda
>  
> P dan Q ini adalah himpunan yang saling beririsan. Untuk kasus K 
Sindhunata (menurut HTS), dapat dituliskan menjadi P^Q (ia 
dibesarkan tanpa warna budaya Tionghoa DAN orientasi keindonesiaanya 
total.  Tetapi di luar kasus KS, ada orang lain yang:
> P^~Q  (ia dibesarkan tanpa warna budaya Tionghoa, orientasi 
keindonesiaanya tidak total)
> ~P^Q (ia dibesarkan dalam warna budaya Tionghoa, orientasi 
keindonesiaannya total).
>  
> ------------ --------- --------- --------- --------- ------
> Prmts:
> Tapi BUKANLAH : 
> " Jika orang dibesarkan dengan warna budaya ketionghoaan, maka 
orientasi keindonesiaan- nya tidak total"
>  
> Penarikan kesimpulan cara seperti ini adalah salah satu bentuk 
logical fallacy. 
>  
> KH:
> Saya hanya mengikuti logika HTS yang ngawur.
>  
> Saya berikan dengan contoh yang lebih gampang:
>  
> P: orang yang memakai celana abu2
> Q: orang yang sekolah di SMU
>  
> Dengan logika HTS:
> "orang yang memakai celana abu2, sekolah di SMU"
>  
> Logika saya (yang ngikutin logika ngawur HTS):
> "orang yang tidak pakai celana abu2, tidak sekolah di SMU"
>  
> Dengan logika Anda:
> "orang yang tidak sekolah di SMU, tidak memakai celana abu-abu"
>  
> Ketiganya ngawur. Karena, sekali lagi, P dan Q tidak bisa dibuat 
hubungan bersyarat, seperti yang dilakukan HTS.
>  
> salam,
> KH
>  
> 
> Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok
> http://groups. yahoo.com/ group/budaya_ tionghua/
> 
> --- On Thu, 9/25/08, Prometheus <prometheus_ [EMAIL PROTECTED] ..> wrote:
> 
> From: Prometheus <prometheus_ [EMAIL PROTECTED] ..>
> Subject: RE: [budaya_tionghua] Re: HTS di CSIS
> To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
> Date: Thursday, September 25, 2008, 10:54 PM
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Saya tidak akan mengomentari dulu HTS dan politiknya, tapi ada satu 
pengambilan kesimpulan yang menarik, yang mungkin bisa dipelajari 
bersama. 
>  
> Dibawah, ada disebutkan :
> (1)   "Sindhu memang dibesarkan tanpa ada warna budaya ketionghoaan 
budaya babah sehingga orientasi keindonesiaan- nya memang total."
>  
> Kemudian ada penarikan kesimpulan sbb : 
> (2)   "orang yang 'masih dibesarkan dalam warna budaya 
ketionghoaan' maka orientasi keindonesiaannya tidak akan total, akan 
terpecah"
>  
> Umumnya kita akan melihat ini sebagai penarikan kesimpulan yang 
benar dan logical, padahal tidaklah demikian. 
> Mengapa ? Mari kita lihat pelan-pelan. 
>  
> Pertama, kita bisa tulis ulang statement pertama diatas sbb :
> " Jika orang dibesarkan tanpa warna budaya ketionghoaan, maka 
orientasi keindonesiaan- nya total"
>  
> Sekarang, untuk mempermudah, kita definisikan 
> P="orang dibesarkan tanpa warna budaya ketionghoaan" , dan 
> Q="orientasi keindonesiaan- nya total"
>  
> Kalimat tersebut diatas, kemudian, dapat saya tuliskan kembali 
menjadi  " Jika P, maka Q" 
> (mungkin yang masih ingat pelajaran LOGIKA di SMP/SMA(?) boleh 
mulai bernostalgia. ...hehe J) 
>  
> Nah, di dalam Ilmu Logika, sebuah premise "Jika P, maka Q" dapat di-
transposisi- kan menjadi " Jika Tidak Q, maka Tidak P" yang masih 
mempunyai nilai kebenaran yang sama. Tapi premise tersebut (Jika P 
maka Q) tidak bisa diubah menjadi "Jika tidak P, maka tidak Q"
>  
> JADI, dari kalimat atau premise " Jika orang dibesarkan tanpa warna 
budaya ketionghoaan, maka orientasi keindonesiaan- nya total", secara 
logika dapat saja diambil kesimpulan bahwa "Jika orientasi 
keindonesiaan- nya tidak total, maka orang tsb dibesarkan dengan 
warna budaya ketionghoaan" 
>  
> Tapi BUKANLAH : 
> " Jika orang dibesarkan dengan warna budaya ketionghoaan, maka 
orientasi keindonesiaan- nya tidak total"
>  
> Penarikan kesimpulan cara seperti ini adalah salah satu bentuk 
logical fallacy. 
>  
>  
> Prometheus
>  
>  
>  
> 
> Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: HTS di CSIS
>  
> 
> 
> 
> 
> 
> AW:
> 
> Selama saya kenal pak Harry Tjan tampaknya dia baik baik saja 
tentang 
> Tionghoa. 
> 
> KH:
> 
> Saya tidak kenal pak Harry Tjan. Tapi saya tidak sependapat dengan 
tulisannya di Kompas ketika sahabatnya meninggal:
> 
> http://groups. yahoo.com/ group/budaya_ tionghua/ message/14226
> 
> kutipan:
> 
> "Semenjak muda sebagai mahasiswa hukum, Ong Tjong Hay, nama 
pemberian orangtua, yang kemudian berubah menjadi Kristoforus 
Sindhunata, secara konsekuen menunjukkan komitmennya untuk menjadi 
patriot Indonesia, meskipun dia tumbuh dalam lingkungan pergaulan dan 
pendidikan Belanda.
> 
> Dia sekolah di HBS dan mempunyai status hukum sebagai 
gelijkgesteld, orang yang disamakan dengan golongan Eropa atau 
sebagai londo godong. Sebenarnya sikap dasarnya itu tidak 
mengherankan karena dia adalah putra kedua dari tiga bersaudara dari 
Dr Ong Hok Lan yang semenjak masa kuliahnya di Nederland selalu 
berada di kalangan Persatuan Pelajar Indonesia yang mendambakan 
Indonesia merdeka.
> 
>  Dengan demikian, Sindhu memang dibesarkan tanpa ada warna budaya 
ketionghoaan budaya babah sehingga orientasi keindonesiaan- nya 
memang total. Tidak mangrotingal, tidak mendua terpecah perhatian 
dengan loyalitas mana pun. Dia adalah monoloyalis Indonesia, baik 
secara politis, sosial, maupun kultural."
> 
>  
> 
> Tulisan di atas seakan-akan mengatakan orang yang 'masih dibesarkan 
dalam warna budaya ketionghoaan' maka orientasi keindonesiaannya 
tidak akan total, akan terpecah. Menurut HTS orang yang sekolah di 
HBS dan mempunyai status hukum sebagai gelijkgesteld, orang yang 
disamakan dengan golongan Eropa atau sebagai londo godong, akan lebih 
nasionalis daripada orang yang 'dibesarkan dalam warna budaya 
Tionghoa'.
> 
>  
> 
> Pernyataannya ini amat merendahkan orang yang 'dibesarkan dalam 
warna budaya Tionghoa' karena nasionalisme seseorang tidak ditentukan 
oleh 'warna budaya' atau 'status hukum' atau 'di mana dia bersekolah'.
> 
>  
> 
> KH
> 
> 
> 
> --- On Thu, 9/25/08, Anton Widjaja <[EMAIL PROTECTED] com> wrote:
> 
> From: Anton Widjaja <[EMAIL PROTECTED] com>
> Subject: [budaya_tionghua] Re: HTS di CSIS
> To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
> Date: Thursday, September 25, 2008, 5:55 AM
> 
> 
> 
> Kalau tolok ukurnya parsel lebaran saya bilang memang kondisinya 
lebih 
> buruk. Kemarin saya emncri kardus untuk parsel lebaran. Ternyata di 
> dua buah supermarket besar saya tidak menemukan kardus ukuranbesar. 
> kata kasirnya memang tahun ini cuma satu ukuran yang sama dengan 
> ukuran sedang tahun lalu. 
> 
> Kesimpulannya perdagangan bahan baha parsel agak lesu. Secra tidak 
> langsugn perputaran uang agak kurang.
> 
> Selama saya kenal pak Harry Tjan tampaknya dia baik baik saja 
tentang 
> Tionghoa. 
> 
> .
> 
> 
> 
> No virus found in this incoming message.
> Checked by AVG - http://www.avg. com
> Version: 8.0.169 / Virus Database: 270.7.2/1690 - Release Date: 
25/9/2008 7:05 AM
>

 














      

Kirim email ke