Rekan Narpati,

Mungkin di Indonesia pemahaman mengenai Konfusianisme menjadi lebih sempit 
menjadi hanya Khonghucu. Sebenarnya menurut "kurikulum" pendidikan orang Rujia 
/ Konfisianisme, buku-buku para filsuf adalah wajib dibaca dan dipelajari. 
Dalam hal ini termasuk Fajia / legalisme, dan Mojia/Mohisme. Dalam perkembangan 
sejarahnya para pemikir Rujia menginkorporasikan banyak ide dari filsuf-filsuf 
selain Kongzi dan Mengzi. 

Tapi gak tahu yah, namanya juga Indonesia di mana "murni" itu identik dengan 
yang "terbaik". Jadi bisa saja banyak yang mau "murni-murni"an.

Hormat saya,

Yongde

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Narpati Pradana <kunder...@...> wrote:
>
> Rekan Liang U sekedar merendah.
> Saya bukan ahli seperti Liang U atau Zfy atau koh Ardian.
> Bahkan saya bukan keturunan Tionghoa (setidaknya tiga generasi ke atas..
> entah kalau di atas-atasnya lagi). Jadi bisa dibilang, saya orang luar.
> 
> Tetapi, mengatakan budaya tionghoa identik dengan konghucu dan buddhist
> adalah terlalu menyederhanakan bangsa yang sebenarnya punya kemajemukan dan
> memiliki sejarah sangat panjang ini.
> 
> Bagaimana dengan Fa-Chia (Legalisme?)
> Bagaimana dengan Mohism?
> 
> Jadi tidak... Budaya Tionghoa tidak identik dengan Konghucu dan Buddhisme.
> Dua agama itu memperkaya.
> 
> Saya sendiri yang Muslim, empat belas tahun yang lalu sangat terkesan dengan
> Bao Zheng dan yang saya tangkap justru nilai 'keadilan', sesuatu yang saya
> percaya harus dijunjung tinggi oleh agama saya. Jadi, ada nilai universal
> yang bisa dipetik.
> 
> 
> Salam,
> Kunderemp "An-Narkaulipsiy" Ratnawati Hardjito a.k.a
> Narpati Wisjnu Ari Pradana
> 
> 
> 2009/3/20 budi anto <budic...@...>
> 
> >   sesuai judulnya  bener ga tuh? ato ada temen2 yang mau kasih
> > pendapatnya?
> >
> >  
> >
> >
> 
> -- 
> help thy brother, just or unjust
>


Kirim email ke