Jadi mau ikut syer pengalaman nih dengan Bung Liang U serta Ophoeng,

Pengalaman saya selama 3 kali ke RRT , adalah makanannya yang tidak
memuaskan , mungkin situasinya kami berlainan. Sebab kami pergi ke RRT
dengan group besar dan di handle tournya oleh perusahaan pariwisata local.
Makannya sehari 3 kali sudah termasuk dalam biaya tour. Bukan makannya tidak
kenyang, tapi kwalitet makanannya yang yang sedikit Be Cia.
Kami kalau makan siang kebanyakan dibawa ke toko yang jual , mutiara, Obat,
Sutra dan lainnya . Mungkin makannya gratis dari toko2 itu , dengan harapan
pengunjung berbelanja setelah , atau sebelum makan. Jenis makanannya tidak
sedikit bisa sepuluh macam makanan yang dihidangkan , tapi itulah kebanyakan
sayur mayur. Bir nya lebih murah dari Cocacola. Satu botol Coke boleh tukar
2 botol bir . Celakanya kami kebanyakan doyannya bukan bir.
Memang dari makanan yang paling enak yang di Guang Zou (Canton) mungkin
lidah kita dari nenek moyang kita yang kebanyakan migran dari Guang Tung .
Perkara transportasi sudah OK punya. Hanya didalam Tour bus sound systemnya
masih ketinggalan dengan negara2 lainnya. Yang benar masih keterbelakang
adalah WC nya , masih banyak gunakan WC Jongkok dan ada yang tidak
menggunakan pintu. Jadi kurang nyaman buat para wanita. Bau Pesingnya juga
masih nomor satu.
Hotel2 bintang lima umumnya menyediakan makan pagi yang bagus dan enak .
maka kami biasakan makan pagi yang banyak.
Bulan lalu kami baru saja pulang dari Sandong , Kota Ji Nan dalam
rekontruksi besar2an , jadi debunya minta ampun lebih gile dari Jakarta .
Tapi sedikit terhibur pada hari2 terakhir di Tsing Tao yang kotanya cukup
bersih dan modern.
Walaupun kelihatannya RRT sudah berubah banyak, tapi tour guide yang cong ti
po tetap saja ada , bahkan tour guide itu menyatakan diri bahwa ia seorang
profesor disalah satu universitas di Beijing.  Mereka selalu mau mencoba
cari bisnis, contohnya dengan menahan koper kita untuk dibawakan oleh Bell
Boy (dengan maksud kita bayar tip ke Bell Boy dan dia dapat komisi) ,
menawarkan kita untuk membeli service pijat kaki selama kita menunggu koper
kita selama 4 jam di kamar. Tour guide semacam itu tidak perlu di beri tip
sama sekali. Ada lagi tour guide yang mencoba menarik keuntungan dengan
menjual udang untuk makan malam , satu udang yang panjangnya 25cm (bukan
Lobster) dia mau kasih harga USD 10 . Dia kira orang Amerika nggak pernah
makan udang apa ?

Melihat itu semua , maka saya rasa industri pariwisata di RRT harus diadakan
revolusi kebudayaan secara besar2an.

Memang kalau pergi sendiri mungkin tidak akan melihat ini , tapi bila pakai
Tour Bus dengan tour guidenya baru bisa mengalami masalah. Pada umumnya kami
pergi selalu dengan rombongan kita sendiri (orang2 asal Indonesia), Pertama
kali kita adakan 4 bus , lalu 2 bus , yang terakhir satu bus besar. Namun
kita Tour dengan rombongan kita sendiri ini bukan hanya ke RRT saja. Kami
pergi ke Jepang dan Italy dengan 2 bus  , tidak ada masalah, kami cukup puas
dengan layanannya.  Ada seorang tour guide yang pernah melayani kita di RRT
, sekarang sudah lari ke Amerika dan bekerja di Amerika . Maka besar
kemungkinan industri pariwisata RRT terutama di bagian pramuwisatanya ada
masalah besar.

salam,
Dr.Irawan.

2009/5/3 Ophoeng <opho...@yahoo.com>

> Bung Liang U dan TTM semuah,
>
> Hai, apakabar? Sudah makan zhu-zongfan?
>
> Hehehe.... terima kasih banget atas bagi-bagi info ttg kehidupan di RRT.
> Membaca cerita Bung Liang U, serasa saya ikut diajak jalan-jalan di sana.
> Jelas dan gamblang, bahkan bisa saya hidu aroma cakwe raksasa hangat yang
> baru diangkat dari penggorengannya!
>
> Benar kata Bung Liang U, transportasi di RRT relatip aman dan lancar,
> terkendali. Jangan percaya cerita guguyon yang memperolok seolah
> transportasi udara atau kereta api di sana masih kuno dan layanan kasar
> (pramugari melemparkan handuk atau tisu ke penumpang), orang-orangnya jorok
> (meludah seenaknya) atau anda bakal dijarah (supir taksi tidak berani
> memainkan argo atau sengaja memutar-mutarkan rute supaya argo jadi
> berlebihan).
>
> Yang mencolok di sana, semuanya serba besar!
>
> Jalanan lebar-lebar, trotoir juga bukan cuma untuk kaki lima, mungkin kaki
> lima..belas! Mereka (di GZ) bahkan sudah memberi kode di lantai trotoir
> khusus untuk pejalan kaki yang memakai tongkat - orang buta, jadi ada jalur
> khusus yang bisa di'raba' dengan tongkat mereka, berupa sederetan ubin yang
> bermotip khusus. Stasiun kereta juga besarnya bukan main (tentu saja di kota
> besar seperti Guang-zhou), begitu juga bandaranya. Mesti naik mobil
> bertenaga batere untuk menuju gerbang tujuan kita! Kerumunan manusia di
> jalan, di pusat belanja sungguh mencolok! Tidak heran, penduduknya pan
> mencapai 1,3 M (bukan Million, tapi Milyar!).
>
> Waktu itu saya ditemani seorang keponakan (anak cici - asli Cirebon) kawan
> saya dan temannya. Mereka asli kelahiran GZ (Guangzhou), tapi bekerja di
> Shanghai. Jadi tidak terlalu sering pulang. Begitu mengantar kami ke
> mana-mana naik kendaraan pribadi, dia sendiri bingung mesti memilih alur
> jalan tol yang mana untuk ke airport. Waktu itu kami menuju Xia-men untuk
> berkunjung ke satu pabrik di Quan-zhou.
>
> Tentang barang-barang palsu dan jangan menunjukkan sekali bahwa kita bukan
> orang setempat, mengingatkan saya waktu saya diberkahi kesempatan diajak
> seroang teman lama (jaman SD) bertandang ke RRT pada Lebaran tahun 2006 -
> trip ke RRT satu-satunya yang saya alami.
>
> Jadi, waktu itu kami mencari resto Hu-nan di GZ, terletak di lokasi turis.
> Seperti Pasar Baru di Jakarta, jalannya ditutup untuk kendaraan bermotor.
> Kami hanya boleh jalan kaki saja. Selesai makan (mencicipi zhou-doufu
> pertama kali), kami jalan-jalan menyusuri jalan hendak mencari oleh-oleh di
> toko-toko sepanjang jalan. Memang banyak sekali orang yang menawarkan arloji
> 'Lo-lei' (Rolex). Keponakan dan teman kawan saya bilang bahwa kami sama-sama
> orang setempat. Jadi mereka tidak lagi merubungi kami sepanjang jalan.
>
> Suatu kali kami lihat di tengah jalan, ada penutup dari kaca tebal
> melengkung yang menutupi semacam 'terowongan' di tengah jalan, jalanan di
> tengah itu berlubang dan ditutupi kaca melengkung itu. Kami jadi tertarik
> untuk berhenti dan melongok pengin tahu apa isi di dalam lubang tsb.
> Ternyata itu adalah potongan jalan jaman purba(?) ketika kaisar masih
> berkuasa. Mereka merawat jalan asli dan otentik itu yang letaknya di bawah
> jalan sekarang. Tapi, tindakan kami itu ternyata sudah membongkar 'kedok'
> kami bahwa kami orang setempat. Sebab 'atraksi' jalan purba itu cuma menarik
> perhatian para turis. Jadi, para penjaja arloji lolei itu pada mendatangi
> kami lagi. Namanya juga usaha, jeh!
>
> Makanan adalah 'atraksi' yang paling menyenangkan di RRT ya. Selain cakwe
> raksasa yang Bung Liang U ceritakan itu (saya belum sempat mencicipi), di GZ
> saya juga tertarik ama makanan sarapan berupa zhu-zongfan. Ada resto khusus
> yang menjualnya. Kayaknya sih memang itu untuk sarapan. Anda bisa pilih
> aneka macam zhu-zongfan dengan isi apa saja. Mau pake sayur, daging, telur,
> semuanya pakai kecap berbumbu yang sama. Enak.
>
> Harga makanan (yang enak-enak semua) sungguh murah-meriah tiada
> bandingannya!
>
> Resto besar, mejanya empet-empetan, bertingkat 3, masih belum cukup
> melayani tamu. Untuk makan saja kita masih antri ambil nomor. Saking
> larisnya! Kami berlima waktu itu makan di resto cukup besar, dengan pesan
> minimal 7 macam sayur yang porsinya paling tidak cukup untuk ber-4, cuma
> bayar Rp 200.000-an saja. Begitu juga ketika makan di resto Hu-nan yang di
> GZ itu. Enak-enak semua! Dan mereka selalu berpromo dengan memberikan kupon
> diskon untuk kunjungan berikutnya. Yang unik, diskonnya itu ndak 'bulat'
> angkanya, misal 12% atau 18%, ndak 10%, 15% atau 20% sekalian. Unik sekali!
> Entah pertimbangan apa - mungkin ada hubungannya dengan 'numerologi' kaitan
> dengan hoki?
>
> Tapi tentu saja jangan bandingkan harga makanan di bandara. Sama saja
> mahalnya. Mungkin karena harga sewa tempat di bandara yang bersih, luas dan
> tertib itu lebih tinggi. Terpaksa harga makanan jadi mahal. Waktu saya ke
> satu supermarket di GZ, di sebelahnya ada resto bakmi fastfood yang sistem
> franchise, harga-harganya juga murah, dengan porsi besar seperti kata Bung
> Liang U, mangkuknya 2-3 kali lipat mangkuk kita, sekitar ukuran mangkuk
> tempat sayur sup kita di sini. Kalau ndak salah harganya sekitar RMB 4,
> dengan keratan daging yang cukup besar dan banyak!
>
> Harga buku-buku juga murah-murah dan banyak sekali pilihannya. Buat saya
> yang belum pengalaman datang ke sana (cuma sekali-kalinya itu saja!) tentu
> justru banyak pilihan bikin bingung. Untuk satu topik saja, waktu itu saya
> mau coba baca buku ttg teh, walah.... pilihannya banyak sekali! Semuanya
> bercover dengan desain cantik bagus. Ndak tahu mana yang memang isinya
> benar-benar bagus, atau sekedar 'tampang' mukanya saja. Seperti biasa, toko
> buku juga besar-besar ukurannya, bahkan untuk kios 'kecil' di stasiun atau
> bandara sekalipun, ukurannya tetep besar: koleksi bukunya banyak sekali!
>
> Saya cuma diberkahi kesempatan naik kereta api dan naik pesawat domestik,
> kota-kota yang saya kunjungi cuma Shen-zhen, GZ, Dong-guan, Quan-zhou. Naik
> bis cuma ketika sampai HK menuju bandaranya saja. Seminggu di sana, serasa
> seharian saja!
>
> Terakhir mau pulang, kami beli bebek panggang. Seekor cuma sekitar Rp
> 22.500 (kurs waktu itu sekitar RMB 1 = Rp 1.250) di Shen-zhen. Bawa ke
> Jakarta 3 ekor sekaligus, dimasukkan ke dalam koper hadiah beli bailandi
> (brandy), beruntung tiba di Jakarta agak larut malam, jadi petugas di
> bandara Soekarno-Hatta tidak memeriksa isinya.
>
> Oh, ya. Kalau soal bahasa. Ndak perlu kuatir sekali. Travel agent umumnya
> punya pegawai yang bisa berbahasa indonesia. Kalau perlu bisa minta bantuan
> penterjemah yang berbasa Indonesia. Katanya sih banyak orang Indonesia yang
> bekerja di sana, dalam industri pariwisata. Di rumah-sakit terkenal mereka
> menyediakan tenaga penerjemah berbasa Indonesia, khusus untuk melayanipara
> pasien dari Indonesia.
>
> RRT, memang enak sekali untuk dijelajah. Kita ndak merasa miskin-miskin
> amat untuk makan enak dan jajan-jalan di sana. "Penterjemah' di otak kita
> ndak selalu mesti segera menerjemahkan 'kurs' RMB dengam rupiah, sehingga
> kadang mengurungkan niat kita untuk makan enak. Sebagai contoh, waktu saya
> mengunjungi anak saya di Singapura, makan seporsi spaghetti di satu resto di
> satu mall (di mana lagi kalau bukan di Orchard ya?), seporsi harganya SGD 12
> (saya cukup menyesal ndak minta yang isinya lobster, harga sama!). Menurut
> anak saya segitu memang standar harganya. Tapi, karena di'terjemah'kan ke
> basa Indonesia yang masih pakai IDR, maka di 'layar' otak lantas
> tergambarnya pan jadilah Rp 80.000-an! Mengenaskan kalau kita pergi ke
> negara yang pake satuan dolar ya? Di RRT mah serasa di Jakarta ajah.
> terjemahannya masih nampak bagus di otak kita.... terlebih lagi kalau kita
> ke sana dibayarin semuanya, kayak saya waktu itu, jeh!
>
> Kalau soal orang yang pura-pura kehabisan bekal uang, kayaknya sekarang
> sudah masuk ke bandara Soekarno-Hatta. Beberapa kali kalau saya hendak
> berangkat subuh, naik pesawat Garuda pertama, dicegat seorang encim-encim
> dan anak perempuannya yang kelihatan seolah mererka Made In China tulen,
> dengan wajah memelas, ndak bisa basa Indonesia, berusaha meyakinkan saya
> bahwa mereka mesti dibantu. Sama dalihnya, sesama tenglang mesti
> baku-tolong, katanya.
>
> Sekarang kita jadi serba salah, kita diajarkan untuk menolong sesama,
> berbagi berkah dengan sesama, tidak usah sesama tenglang tentunya. Tapi
> karena pengalaman kita sering ditipu, membuat hati kita terpaksa 'bebal'
> menghadapi mereka. Benarkah mereka cuma pura-pura atau sesungguhnya mereka
> benar-benar perlu dibantu? Sudah sulit lagi membedakannya ya. Kalau kita
> tidak membantu, ternyata mereka benar perlu bantuan, lantas dimanakah
> liangsim kita tuh ya?  Apa kita ndak berdosa karenanya?
>
> Terakhir saya mau jemput anak saya liburan tahun lalu di bandara SH,
> nyonyah saya yang belum pengalaman, ketika duduk di bangku tunggu di
> bandara, ada seorang encim dan puterinya (kenapa selalu perempuan ya?) yang
> terbata-bata berusaha bicara dengan orang di sebelah nyonyah tapi mereka
> semua ndak mengerti basa-nya, lantas nyonyah saya memanggil saya untuk coba
> membantu mereka. Begitu melihat mereka (ndak tahu apakah orangnya itu-itu
> juga), saya langsung saja bilang saya juga ndak ngerti apa yang mereka
> bicarakan. Tentu saja isteri saya agak cemberut, dianggapnya saya ndak mau
> menolong.
>
> Susah juga tuh ya?
>
> Salam makan enak dan sehat,
> Ophoeng
> BSD City, Tangerang
>
>
>
>
>
>
>
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, liang u <lian...@...> wrote:
>
> Sdr. Harry benar sekali, transportasi di Tiongkok mudah, karena bis umum
> antar kota banyak sekali, kereta api juga banyak. Kereta angkutan tahun baru
> misalnya, dua minggu sebelumnya tiket sudah dijual, tempat jual tiket
> terpisah dari stasiun, jadi tidak himpit-himpitan. Asal sudah dapat tiket
> yah pasti bisa naik. Ada 4 macam kereta api di sana:
> 1. Kereta api lambat.
> 2. Kereta api cepat biasa
> 3. Kereta api cepat khusus
> 4. Dongchezu, entah High Speed Train masuk ke sini atau dipisah.
>
> Kereta api lambat yang berhenti di semua statiun besar maupun kecil, jadi
> lambat sekali, juga jumlahnya tak banyak, karena orang kampungpun sekarang
> lebih senang naik kereta cepat, lalu turun di kota terdekat dan naik bis.
>
> Kereta cepat biasa, hanya berhenti di kota agak besar, di prefektorat pasti
> berhenti, dan juga di sebagian kabupaten. Masih menjual karcis berdiri
> terbatas. Jadi dijamin bisa berdiri meskipun tidak duduk, jadi tak mungkin
> harus bergelantung di tangga atau naik ke atas kereta api.
>
> Kereta cepat khusus, kode T, tempat terbatas.
>
> Dongchezu, yang sekarang makin banyak dan terus dibangun, misalnya kereta
> api Beijing Tianjin kecepatan 350 km per jam.
>
> Masa sibuk, penumpang sudah ditahan jauh di halaman setasiun, antri sesuai
> nomor kereta, jadi tak bercampur, tiket diperiksa diluar baru boleh masuk
> ruang stasiun. Penumpang baru boleh masuk ruang, kalau kereta sudah siap.
> Jadi kereta selalu sudah ada di tempat sebelum penumpang datang. Tiap jalur
> kereta penumpangnya terpisah, karena penumpang datang dari atas (loteng)
> atau dari bawah (basement). Dua orang yang berbeda kereta tak akan bertemu
> di peron. Peron tinggi, jadi tak mungkin melintas peron.
> Sangat aman, yang penting mendapat karcis, selama ini sayapun tak pernah
> menemui calo, jadi harus benar beli sebelumnya kalau ingin aman. Pada saat
> mau berangkat bisa saja dapat karcis kalau memang ada sisa, atau kalau ada
> penumpang yang batal dan mengembalikan karcis.
>
> Naik bisa antar kota, bukan saja ada nomor tempat duduk, ada nomor bis.
> Jadi untuk jurusan yang sama anda bisa beli sehari sebelumnya, waktu sibuk
> bisa dua hari atau lebih, lalu tinggal menunggu di peron, harus naik bis
> yang sesuai dengan tiket, misalnya perusahaan bis yang sama, tanggal sama,
> berangkat jam 12.00, anda sudah datang jam 11, kalau yang jam sebelas
> kosong, anda datangi petugas, anda boleh naik, tapi kalau penuh, anda harus
> menunggu jam yang sesuai. Bis juga dua macam ada yang nonstop. Boleh turun
> tak boleh naikkan penumpang di jalan. Ada yang boleh naikkan penumpang, bis
> ini lambat, tapi tujuannya memang agar orang kampung dapat naik bis. Kita
> yang harus mengerti jangan salah pilih.
>
> Copet dan pengemis cuma saya temukan di kota pantai Guangzhou, Shenzhen,
> Xiamen dll.
> Di pedalaman tak pernah ada, trotoir bersih, tak ada pedagang asongan,
> apalagi yang berjualan di lampu merah.
>
> Tentu saja tertib ada negatifnya, kalau di Indonesia, pulang jam 10 malam
> lapar, nasi di rumah sudah dingin, tinggal tunggu sebentar, nanti ada
> tok,tok, tok, atau teng, teng, teng. Tukang nasi goreng, bakmi dll. lewat.
> Di sana begitu malam tak ada yang jual makanan, restoran tutup, toko tutup
> kecuali di tempat perbelanjaan. kalau jauh dari tempat perbelanjaan , anda
> lapar, yang tahan saja sampai besok. Ini yang pernah saya alami.
>
> Tiap datang ke satu kota selalu saya tanya, bagaimana kejahatan di sini?
> Jawabannya ada copet, tapi tak pernah ada jambretan, jadi asal hati-hati,
> dan jangan menunjukkan kita orang dari luar negeri. Sebab orang dari luar
> negeri selalu disangka banyak uangnya. Jual barang palsu di tempat turis
> adalah hal yang lazim. Hati-hatilah, lebih baik belanja di supermarket dan
> shopping mall. Tapi kalau anda pintar, di tempat turis anda bisa dapat jauh
> lebih murah.
> Di restoran kecil yang tradisional, porsi makanan besar, semangkok mih
> adalah semangkok besar yang tak mungkin habis untuk kita. Pernah mantu beli
> cakue, saya bilang tak perlu lah, kita baru makan, ia bilang buat di jalan,
> akhirnya beli dua saja, begitu datang kita terbahak-bahak, cakuenya sebesar
> betis, panjangnya 60 cm, untung cuma beli dua, kalau beli 10 perlu dipikul!
> Haha.
>
> Kiongchiu
> L:iang U
>
>
>
>
>
> ------------------------------------
>
> .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
>
> .: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :.
>
> .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
>
> .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>



-- 
Dr. Irawan
(626) 335-9833

Reply via email to