Perempuan bego tidak punya harga diri kayak si penulis itu mah gak usa dipikirin...
--- On Wed, 6/24/09, David Kwa <david_kwa2...@yahoo.com> wrote: From: David Kwa <david_kwa2...@yahoo.com> Subject: [budaya_tionghua] Istilah Usang Nonpri-Pri (Was: Kedoknya Tersingkap Juga) To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Wednesday, June 24, 2009, 12:38 AM Maaf, owe mau tak mau terpaksa berkomentar juga. Gatal rasanya kalau tidak. Rasanya janggal ya, istilah yang dipakai koq masih istilah diskriminatif “nonpri-pri” hasil rekayasa rezim orde babe yang sudah usang seh...? Koq si perempuan yang satu ini mau-maunya menyebut dirinya “wanita nonpri” seh...? Jangan mau "diasing-asingkan" dan jangan suka“mengasing-asingkan diri” lah! Kalau owe seh, terus-terang, oga be'eng...! Owe ngga pernah merasa diri “asing” dan “menumpang” di negeri ini. Seandainya negeri ini bukan tanah tumpah-darah owe dan owe lantas disuruh “pulang”, mau disuruh “pulang” ke mana? Ke Amrik, ke Ostrali, atau ke Kanada? Lalu kenapa kalimatnya bukan “saya seorang perempuan Cina/Tionghoa” aja, yang kawin dengan “seorang Jawa” bernama Joko, kan enak kalau begitu! Daripada “nonpri” lah, “WNI keturunan” lah, “warga keturunan” lah (emangnya “keturunan” apa?), kan terasa lebih “sedap” dan “nyaman” di mata-kuping- hati disebut “Cina/Tionghoa”. Disebut Cina/Tionghoa, siapa takut? Biasa aja tuh... Kita emang orang Indonesia dari kelompok etnik Cina/Tionghoa. Cina/Tionghoa so what gitu loh. Pede aja lah, jangan minder disebut Cina/Tionghoa, orang juga maklum. Mereka yang tetep pake nama Cina/Tionghoa seperti Liem Swie King, Kwik Kian Gie juga pada pede aja tuh. --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, “HKSIS” <sa...@...wrote: 17 Juni 2009 | 07:08 wib Kedoknya Tersingkap Juga “Kutinggalkan keluarga demi cinta. Hasilnya? Kesia-siaan.” Saya wanita nonpri. Sedari kecil, saya juga sekolah di lingkungan yang lebih akrab dengan teman-teman nonpri. Tapi, ketika kuliah, saya justru dekat dan jatuh cinta dengan Joko. Dia lelaki yang sopan, cukup ganteng, meski miskin tapi tak pernah terlihat rendah diri. Saya selalu merasa nyaman di sampingnya. Tapi cinta saya tak mendapat dukungan keluarga, terutama engkong, yang sangat sayang dengan saya. Maklum, saya cucu perempuan satu-satunya. Dia berharap, jika pun menikah, saya mendapatkan lelaki dari kalangan saya, yang dapat meneruskan usaha keluarga, dan yang utama, tak harus pindah agama. Tapi cinta adalah segalanya. Saya tak ingin menceritakan betapa beratnya dan banyaknya airmata yang saya korbankan untuk meninggalkan keluarga dan kehidupan yang mapan. Singkat kata, saya memilih Joko, keluarganya yang miskin, dan mengikuti agamanya. Saya menikah di usia 24, dua tahun setelah selesai kuliah. Saya bawa semua tabungan, dan mengontrak rumah di pinggiran Yogya. Joko diterima jadi PNS, dan dia makin cinta kepada saya. Sebagai istri saya mencoba berbakti, dan bersyukur bahwa saya tak pernah salah pilih. Saya dengan tabungan, membuka usaha kecil-kecilan, toko onderdil untuk motor dan mobil. Puji Tuhan, usaha kecil ini berkembang. Dan saya dapat memenuhi mimpi Joko untuk berbulan madu, dan menginap di hotel-hotel berbintang, di Jakarta, Bali, dan Lombok. Keluarganya juga saya bahagiakan. Empat tahun setelah saya menikah itu, dan bulan madu yang luar biasa itu, saya hamil. Di tahun kelima, saya melahirkan. Saya namakan anak kami yang perempuan itu Putri Cahaya, karena kehadirannya membuat rumah tangga kami jadi bercahaya dengan rejeki yang banyak. Oh ya, pelan-pelan saya juga membeli tanah, membangun rumah, dan membeli mobil. Atas nasihat Joko, karena saya masih memakai nama nonpri, akta tanah dan rumah, juga mobil, selalu memakai nama dia. Saya percaya saja. Demikian juga usaha onderdil yang kemudian berkembang jadi bengkel dan jual-beli mobil bekas, dinamakan Joko. Meski saya yang mengurus dan mengelolanya, karena Joko setengah hari masih sibuk sebagai abdi negara. Tanpa terasa, pernikahan kami sudah memasuki 11 tahun. Anak sudah dua juga. Usaha makin berkembang. Dan selama itu juga, saya tak pernah lagi berhubungan dengan keluarga. Bahkan sewaktu engkong saya meninggal, saya tak diperbolehkan menjenguk dan mencium jenajahnya. Keluarga merasa jijik dengan saya. Saya terima saja. Saya hanya membuktikan bahwa pilihan saya tidak salah. Saya senang, bahagia, dan hidup berkecukupan. Karena itulah, sepintas jika teman-teman atau warga sekitar melihat rumah kami, pasti tak akan percaya bahwa Joko cuma PNS. Semua pasti tahu bahwa sayalah yang menopang ekonomi keluarga. Saya yang mati-matian. Karena itu, jika teman-teman kantor Joko datang, dengan bergurau mereka selalu mengatakan betapa Joko sangat beruntung mendapatkan saya. Dia lelaki yang pintar dan saya perempuan yang bodoh. Saya hanya tertawa. Saya tak peduli dibilang bodoh. Saya hanya tahu kalau saya bahagia. Tapi, di pernikahan sebelas tahun itu juga saya mulai merasakan ada yang berbeda dengan Joko. Tiba-tiba dia jadi kasar, dan suka pergi sendiri. Bahkan, mobil kami jadi hanya dia yang boleh memakai. Saya hanya boleh memakai motor. Saya mencoba menawar dengan mengatakan ingin membeli mobil lagi. Tapi Joko marah, dan memegang semua uang tabungan saya, memaksa saya mencairkannya, dan memindahkan ke buku tabungannya. Kata Joko, saya terlalu boros dengan uang. Aneh. Kalau boros, dari mana semua kekayaan ini. Akhirnya, saya mendapat kabar kalau Joko berselingkuh. Saya tak percaya. Tapi, kekasaran Joko dan kesukaannya pergi sendiri, menimbulkan kecurigaan saya. Dengan bermain petak-umpet, saya selidiki dia. Dan benarlah, Joko punya kekasih. Seorang pegawai di sebuah perusahaan asuransi. Saya tanpa sepengetahuan dia, mendatangi perempuan itu, dan menjelaskan status Joko. Ternyata, Joko berbohong pada perempuan itu. Dia berkisah kalau rumah tanggannya berantakan, saya terlalu memonopoli keuangan, merasa paling kaya, suka menghina Joko, dan tak pernah mau jadi istri yang taat pada suami. Joko juga bercerita kalau saya sudah tidak pernah mau diajak intim sejak dua tahun lalu. Sehingga dia merasa tersiksa dan ingin bercerai. Saya menangis. Saya ceritakan pada perempuan itu yang sebenarnya terjadi. Dan dia tahu kalau telah jadi korban sandiwara Joko. Dia merasa bodoh dan malu. Saya beri perempuan itu uang, dan berpindah untuk menghindari Joko. Di rumah, Joko saya tanyain baik-baik. Tapi saya malah dapat tempelengan. Dia memaki-maki saya, dan mengusir saya jika merasa sudah tak mampu lagi mengikuti kehendaknya. Saya terperangah. Setelah itu, kami nyaris kucing dan anjing. Semua keuangan di rumah dia kontrol. Pegawai-pegawai di toko dan bengkel segera dia kuasai. Saya tak punya kuasa apa-apa lagi. Uang belanja pun dia jatah. Nasib saya sengsara sekali. Saya selalu menangis tanpa henti. Ternyata, perilaku Joko ini diketahui keluarga saya. Suatu hari, ibu saya menelpon, dan mengatatakan bahwa sekarang saya baru menyadari belang suami saya. Mereka mengatakan itulah akibat menikah dengan kalangan berbeda. Joko cuma mengincar harta saya. Ibu menyarangkan saya bercerai, membawa anak-anak, dan mereka akan menerima saya lagi. Tapi jika saya masih dengan Joko, mereka tidak akan mau tahu dan ikut campur. Saya yang tidak tahan, mencoba menghubungi pengacara. Saya ingin, jika bercerai, harta benda saya itu jatuh ke tangan saya, karena memang saya yang punya. Saya tidak mau jerih payah saya dimakan Joko dan selingkuhannya. Tapi pengacara mengaku sulit, dan hanya bisa memastikan saya mendapat bagian dari pembagian harta gono-gini. Dan yang lebih parah, pengacara itu minta 25% hasil dari pembagian harga itu. Saya merasa serba susah. Jujur saja, saya sudah tak dapat lagi hidup dengan Joko. 13 tahun pernikahan ini sudah cukuplah saya alami dengan 2 tahun terakhir penuh penderitaan. Saya tak ingin anak-anak saya menderita karena kelakuan Papahnya. Saya ingin bercerai saja, dan kembali pada keluarga besar saya. Tapi saya juga tak ikhlas menyerahkan semua harta saya kepadanya. Apakah saya masih memiliki harapan? Apakah ada lembaga yang mau membantu perempuan seperti saya ini? Cerita Ibu Putri di Yogya