Salam,

Saya pribadi tidak menyetujuk semua bentuk kekerasan dalam wujud apapun. 
Sebagai salah seorang keturunan Tionghua saya pribadi menyesalkan dan mengutuk 
adanya tindak kekerasan semacam itu, termasuk yang dilakukan oleh aparat 
pemerintah RRC. Tentunya kekerasan tidak akan terjadi bila masing-masing pihak 
dapat menahan diri. Jika masing-masing pihak dapat menjaga dan menyadari bahwa 
kerusuhan dapat memancing instabilitas di wilayahnya, maka hal ini tidak akan 
terjadi.
Membawa-bawa masalah agama dan etnis dalam tindakan semacam ini merupakan 
sesuatu yang tidak bijaksana serta memperkeruh suasana. Saya menyesalkan pula 
sikap sebagian organisasi di negeri kita tercinta Indonesia ini yang 
membawa-bawa masalah agama dan ras. Ini merupakan sesuatu yang tidak bijaksana.
Marilah kita dengan jernih menengok sejarah perjuangan negara kita. Sultan 
Zainal Abidin dari Kerajaan Tambusai pernah bangkit melawan Belanda dari tahun 
1901 - 1904 dan mengunjungi Sultan Turki untuk meminta bantuan persenjataan. 
Apakah Turki memberikannya? Jawabannya TIDAK. Mengapa? Karena ternyata Turki 
lebih suka menjalin hubungan dengan Belanda yang memberikannya banyak 
keuntungan. Ketika laskar Kesultanan Aceh meminta bantuan pada Turki apakah 
mereka memberikan bantuan? Jawabannya adalah TIDAK. Nah, dengan menilik sejarah 
di atas, masihkah kita membawa-bawa masalah agama dan ras dalam konflik yang 
terjadi di negara lain dengan alasan solidaritas? Apakah kalau di negeri kita 
ada masalah, negara lain akan membantu?
Bila ingin bicara masalah solidaritas, lebih baik menuntut dahulu pemerintahan 
Kesultanan Turki Ottoman yang sekarang sudah runtuh. Mengapa mereka tidak 
membantu perjuangan Tambusai dan Aceh? Padahal mereka juga menganut agama yang 
sama? Pada saat tsunami di Aceh, negara mana yang lebih banyak membantu?
Semoga dengan makin banyak belajar sejarah, bangsa kita akan makin dewasa baik 
dalam bertingkah laku maupun berpikir.

Salam damai,
Damailah negeriku damailah di bumi.

Tan

Reply via email to