Sepintas, tak tampak masjid di deretan ruko di Jalan Lautze, Sawah Besar, 
Jakarta Pusat. Tak hanya gedungnya yang menyerupai ruko, aktivitasnya pun punya 
ciri khas sendiri.

Tak seperti pada umumnya masjid yang mengadakan buka puasa bersama setiap hari 
di bulan Ramadan, Masjid Lautze di Jalan Lautze, Sawah Besar, Jakarta Pusat ini 
mengadakan buka bersama dan salat tarawih berjamaah hanya di hari Minggu.

Dengan demikian, pada Ramadan kali ini mereka hanya mengadakan berbuka dan 
tarawih sebanyak empat kali.

"Kita disesuaikan dengan masyarakat sini yang umumnya bekerja," kata Humas 
Yayasan Haji Karim Oei, Yusman Iriansyah kepada detikRamadan, Senin (7/9/2009).

Masjid yang didirikan pada 1991 ini memang berbeda dengan masjid lainnya di 
Jakarta. Bentuknya mirip sebuah ruko empat lantai yang diapit puluhan ruko di 
kawasan pecinan padat penduduk di Pasar Baru. Pada bagian depan masjid, 
terpampang papan besar betuliskan Yayasan Haji Karim Oei (YHKO).

Tidak ada kubah maupun menara. Area salat juga tidak terlalu luas, hanya 
sekitar 100 meter persegi di lantai satu dan lantai dua. Pada lantai tiga 
masjid yang merupakan sekretariat pengurus, terpampang foto Haji Karim Oei 
bersama Presiden pertama RI Soekarno, dan ulama Buya Hamka. Masjid ini sudah 
menuntun 1000-an keturunan Tionghoa menjadi mualaf (masuk Islam) sejak tahun 
1997.

"Masjid ini juga biasa disebut masjid jam kerja. Karena pada hari-hari biasa, 
masjid sudah ditutup setelah salat Ashar. Masjid tidak mengadakan salat Magrib 
dan salat Isya. Sebab, jamaah di sini datang dari jauh di Jabodetabek, mereka 
hanya punya waktu di hari Minggu," ujarnya.

Setiap Minggu para jamaah yang hampir semuanya merupakan muslim keturunan 
Tionghoa berkumpul di masjid untuk pengajian.  Dari pukul 10.00 WIB hingga 
pukul 12.00 WIB diadakan pengajian umum, dan selepas salat Zuhur pengajian 
untuk mualaf (orang yang baru masuk agama Islam).

Jika hari Minggu, ratusan jamaah sudah berdatangan sejak waktu Zuhur. Jamaah 
kemudian mengadakan pengajian, tadarus, dan bedah buku hingga sore. Dilanjutkan 
kegiatan bazar dan pembagian bingkisan sembako kepada para jamaah yang kurang 
mampu. Menjelang waktu berbuka, diisi dengan ceramah beberapa menit hingga 
waktu azan tiba. Para jamaah dibagikan masing-masing segelas air mineral dan 
tiga buah kurma.

Usai salat Magrib, jamaah menyantap hidangan yang sudah disediakan pengurus 
masjid di lantai tiga. Keakraban antar jamaah sangat terasa di sini. Selain 
karena hampir semuanya merupakan warga keturunan Tionghoa, sebagian besar 
diantaranya merupakan mualaf.

"Setiap bulan Ramadan, jumlah orang yang hendak masuk Islam mengalami 
peningkatan. Pada hari-hari biasa, hanya sekitar enam orang dalam sebulan. 
Namun sekarang baru seminggu puasa, sudah ada lima orang yang masuk Islam 
disini," tuturnya.

Awalnya, masjid ini merupakan masjidnya umat Islam keturunan Tionghoa. Seiring 
waktu,
banyak warga keturunan yang hendak masuk Islam dan menghubungi masjid ini.

Akhirnya pada 1997 barulah masjid ini menuntun para warga keturunan itu menjadi 
mualaf. Setiap warga keturunan Tionghoa yang hendak masuk Islam biasanya 
berkonsultasi beberapa kali sebelum akhirnya mengucap dua kalimat syahadat.

Para mualaf yang masih malu-malu beribadah di masjid lain akhirnya terus 
mengaji dan belajar agama di masjid ini. Mereka mempunyai rasa kebersamaan dan 
keakraban yang tinggi antar sesamanya, dan menjadi jamaah tetap di masjid ini. 
Yusman menambahkan, ada dua macam mualaf yang di-Islam-kan di Masjid Lautze. 
Yakni yang mendapat piagam dan yang tidak diberi piagam.

"Sebab ada beberapa orang yang di KTP-nya sudah Islam, padahal baru mau masuk 
Islam, nah yang seperti itu tidak kita beri piagam," tandasnya.

Hingga kini sejumlah Masjid YHKO juga bermunculan di daerah-daerah seperti di 
Jabodetabek, Bandung, hingga kota-kota di Jawa Tengah.

"Banyak yang hendak bergabung bersama kami dan mendirikan masjid, malah di 
Bandung dinamakan Masjid Lautze 2, padahal adanya di Jalan Tamblong," tutur 
Yusman.
(asp/nwk) 

Source : Detik.com





Kirim email ke