Sebetulnya penggunaan istilah cina, tiongkok, tionghoa, bahkan mandarin, itu 
kontekstual juga.

Di kalangan paguyuban cersil selalu dibilang "cerita silat cina".
Tidak pernah "cerita silat tiongkok", apalagi "cerita silat tionghoa".

Di kalangan movie-goers dan song lovers selalu dibilang "film mandarin" dan 
"lagu mandarin".
Tidak pernah "film tiongkok" dan "lagu tiongkok" atau "film tionghoa" dan "lagu 
tionghoa".

Kalau bicara tentang ban lie tiang shia, selalu dibilang "tembok tiongkok".
Tidak pernah "tembok cina", apalagi "tembok mandarin".

Kenapa begitu, yah itu sudah kebiasaan puluhan tahun yang tidak pernah 
dipermasalahkan.
Walau mungkin mengandung ketidak-tepatan etimologis...


Dan hal itu juga tidak bisa dijadikan alasan untuk meng-istiqomah-kan 
semua-semuanya.

Kalau seseorang memilih bilang "cina", tidak perlu kita paksa dia merubah semua 
"tionghoa" harus jadi "cina".
Seperti milis "budaya tionghoa" tidak harus jadi milis "budaya cina", misalnya.

Begitu juga kalau seseorang memilih bilang "tionghoa" dan "tiongkok", tidak 
perlu kita paksa dia merubah semua "cina" harus jadi "tionghoa" atau "tiongkok".
Seperti "petai cina" tidak harus jadi "petai tiongkok" atau "petai cina", 
misalnya.
 
Bahkan juga kalau seseorang merasa perlu bilang "mandarin", tidak perlu kita 
paksa dia merubah semua "cina" atau "tiongkok" harus jadi "mandarin".
Seperti "arak cina" tidak harus jadi "arak mandarin" atau "republik rakyat 
tiongkok" harus jadi "republik rakyat mandarin", misalnya.


Bahkan "cina" dan "tionghoa" bisa saja muncul bareng dalam satu kalimat, 
keduanya dalam konteksnya masing-masing.
Kalimat "Sekarang ini sudah mudah bagi orang tionghoa untuk mengunjungi kerabat 
cinanya", misalnya, singkat namun maknanya jelas.
 

Jadi wajar-wajar saja lah.
Tidak perlu ribut memperdebatkannya sampai bawa-bawa cabo segala...

Wasalam.

======================== 

  ----- Original Message ----- 
  From: joao_kho 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, October 20, 2009 10:38 PM
  Subject: [budaya_tionghua] Re: Story of A Q, kisah Don Quixote versi C(h)ina


    Kok panjang banget, mending suruh baca dulu.. dari halamn 500.. nah disitu 
akan ditemui kembali banyak pikiran2 dari teman2 yg posting terdahulu, mungkin 
dari situ sudah terjawab. jadi nga melakukan pekerjaan berulang-ulang. Bahas 
Cina Tionghua bukan ga boleh tapi ya jgn sampai ke pribadi orang diserang.

  Mungkin pengguna milis/forum di Indonesia masih seperti guru mendidik anak tk 
atau sd, maunya dinyusuin mulu, spt informasi begitu mestinya diluar moderator 
ataupun yang baru menjadi member silakan baca dari awal seluruh postingan 
forum/milis atau melakukan search sesuai kata kunci ttg artikel yang mau 
ditemukan..

  Yang mau saya komentar, adalah bukan mempertahankan tionghua, karena tionghua 
itu seperti EYD, sedangkan cina itu ungkapan lama yg masih dipertahankan oleh 
sebagian teman2. Justru jaman berjalan istilah tionghua itu suatu proses 
perkembangan. Karena tionghua itu mencerminkan itu cina di Indonesia, begitu 
anda ngomong lgs orang mengerti, kenapa mesti ngomong cina yang diluar sana 
banyak negara lain diluar sana yg juga ada cinanya :D

  Salam
  JK

  --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "tanaya.geo" <tanaya....@...> wrote:
  >
  > Mau dibahas sampai kapanpun, topik cina-tionghoa-china gak bakalan selesai. 
malah sering berakhir gak baik.
  > 
  > Apa betul 'banyak' generasi 'muda' saat ini gak ngerti soal cina-tionghoa? 
Mereka itu 'gak ngerti' ataukah malahan mereka mencoba mencari 'jalan tengah' 
sih?
  > 
  > Teman-teman yg 'pro' tionghoa, mengabsolutkan bahwa (a) "cina" itu pasti 
menghina, sementara (b) "tionghoa" (dan china?) itu pasti tidak menghina. 
Sehingga teman-teman ini menghimbau utk selalu menggunakan kata tionghoa bukan 
cina. Apa argumen diatas selalu menjadi kenyataan?
  > 
  > Argumen diatas itu lho yg coba dikritik sebagian (atau seluruhnya?) oleh 
teman-teman 'pro' cina (sy sadar istilah pro-cina ini juga terlalu 
menyederhanakan; istilah ini dipilih hanya sebagai kontras kelompok 
sebelumnya). Bagi mereka, (a) "cina" tidak selalu berartian menghina, sementara 
(b) "tionghoa" (dan china?) sekalipun bisa digunakan untuk menghina. Sehingga 
mereka lalu membawa dimensi "intensi" atau tujuan atau cara menggunakan kata 
tersebut dalam suatu kalimat. Dengan melihat kalimat tersebut, lebih lanjut 
argumen para pro cina, bisa dilihat kandungan nilai kata cina/tionghoa yg 
dibuat.
  > 
  > Apa iya para pro-cina itu tidak setuju menggunakan kata tionghoa? Saya rasa 
kesimpulan tersebut kok terasa terlalu menyederhanakan (over simplification). 
Sejauh yg saya pahami (bisa jadi saya salah memahami), para pro-cina itu tidak 
setuju bila ada pemaksaan menggunakan "tionghoa" (dan china) sebagai pengganti 
"cina". Bila perubahan terjadi dengan alami, saya pikir mereka dengan senang 
hati menerima. Toh para pro-cina tersebut, dalam beberapa forum, diskusi, 
pembicaraan, dll juga menggunakan kata tionghoa (dan cina dengan bergantian).
  > 
  > Tanpa perlu dicaci-maki, tanpa perlu pengastaan, toh pro-cina juga sering 
menggunakan kata 'tionghoa'.
  > 
  > Bagi pro-cina, yg lebih berperan adalah intensi/tujuan seseorang dalam 
menggunakan kata tionghoa/cina dalam suatu kalimat. Argumen klasik mereka, 
dalam kalimat "cina jenius dan tionghoa tolol" kata cina bernilai positif 
sementara tionghoa malah menjadi negatif. Kelemahan argumen diatas tersebut 
hanya terletak pada jarangnya penggunaan kata cina/tionghoa seperti diatas. 
Kata 'cina', karena lebih umum, saat ini dibandingkan dengan kata 'tionghoa', 
punya lebih banyak pasangan kata bernilai negatif. Misalnya kata "cina tolol" 
mungkin lebih banyak dibandingkan "tionghoa tolol". Dalam konteks keumuman 
penggunaan kata, sebenarnya kata "tionghoa" diuntungkan oleh regim orde baru. 
Oleh karena pemilihan kata 'cina' sebagai ganti 'tionghoa' pada regim orba, 
maka kata cina menjadi lebih sering digunakan. Baik digunakan secara positif, 
maupun, sayangnya, juga secara negatif.
  > 
  > Bila kita melepas faktor keumuman penggunaan pasangan kata, argumen "cina 
jenius dan tionghoa tolol" diatas apakah tidak mengandung kebenaran? Bila 
argumen "cina jenius..." itu bisa diterima, lalu apakah kritik bahwa "dalam 
konteks penghinaan/deregatory, intensi seseorang mungkin lebih penting (dan 
lebih mewakili) daripada penggunaan kata an sich" bisa diterima?
  > 
  > Nah sekarang, apakah para pro-tionghoa bisa menerima kritik para pro-cina? 
  > 
  > Silang pendapat ini seperti semacam ironi. Disatu sisi para pro-tionghoa 
merasa sakit hati karena dipaksa oleh orba menggunakan kata 'cina' sebagai 
ganti 'tionghoa'. Disisi lainnya, teman-teman pro-tionghoa malah menggunakan 
metode 'pemaksaan' yang sama untuk meminta penggunaan kata 'tionghoa' sebagai 
ganti 'cina'. Pro-tionghoa juga beberapa kali berargumen bahwa bila penggunaan 
kata 'cina' terjadi dengan alami, tanpa paksaan, tanpa penggiringan opini, dll; 
maka kata tersebut bisa diterima. Bukankah tindakan 'memaksakan' kata tionghoa 
saat ini menjadi suatu paradoks?
  > 
  > Lah apakah balas-membalas ini mau terus dilanjutkan?
  > 
  > Sudahilah diskusi kata cina-tionghoa ini. Gak mutu, gak relevan, dan 
relatif tidak berguna saat ada beberapa masalah yg lebih penting dan lebih 
bermakna. Ataukah memang soal cina-tionghoa ini dianggap maha penting dan 
bermakna bagi para etnis cina/tionghoa di indonesia?
  > 
  > mohon pengajaran dari teman-teman sekalian.
  > 
  > 
  > salam,
  > jimmy
  > NB: diforum online tertentu, kata 'china' juga sudah digunakan untuk 
mencaci-maki.
  > 
  > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Santo Putra <santoputra@> wrote:
  > >
  > > Kalau menurut saya sih gak apa-apa walaupun sudah dibahas berulang-ulang, 
soalnya masih banyak generasi muda yang belum mengerti kenapa sebutan Tionghua 
selalu dipertahankan.
  . 

  

No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG - www.avg.com 
Version: 8.5.422 / Virus Database: 270.14.22/2446 - Release Date: 10/19/09 
14:33:00

Reply via email to