Pak Tjandra,

Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di 
Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan 
belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia 
Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming 
Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban 
Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy 
Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana 
diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas 
beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di 
kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada 
suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu 
membuat yang bersangkutan bergeming.

Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah 
bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, 
ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak 
agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu 
diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak 
bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, 
dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya.

Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran 
aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. 
Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai 
di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat 
Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, 
ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan 
bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum 
(bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di 
Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi 
di kita adalah penghancuran demi penghancuran.

Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak 
sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan 
terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang 
seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di 
Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?

Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya 
Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia 
sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor 
Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih 
banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya 
memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan 
non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang 
memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset 
budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, 
begitu!!! Paduli teuing!!!

Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.

Kiongchiu,
DK

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli <ghozalli2...@...> 
wrote:

Dear members,
Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah 
ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha 
padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai member millis ini patut 
bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Sayangnya di atas tanah 
tersebut belum dibangun "main building" yang dibangun baru "sub building" yang 
kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) mengelilingi main building 
yg belum dibangun.  Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, 
semua itu terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa 
banyak yg jadi konglomerat, malah anjungannya "melarat"  Oleh karena itu saya 
kepikiran untuk membantu pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui dompet 
pedulli "Anjungan Budaya Tionghoa Indonesia" yang akan dimuat daftar 
penyumbangnya di majalah POST Media.  Untuk dompet peduli, saya dan pak Tedy 
Yusuf sudah buka account bersama di Bank Mandiri.No. rekening 125-00-0997473-4 
an Tedy Yusuf & Tjandra Ghozalli.  Diharapkan para member millis ini bersedia 
membantu pembangunan anjungan kita itu.  Perlu diketahui bahwa anjungan 
tersebut bukan milik PSMTI tetapi milik warga Tionghoa yg diserahkan oleh pak 
Harto (alm) kepada pak Tedy Yusuf.  RGDS.Tjandra G 




Kirim email ke