Sebenarnya gedung CN posisi historisnya tidak begitu jauh dibandingkan dengan 
satu dari "saudara-saudara"-nya. Gedung CN tadinya didirikan bersamaan dengan 
dua gedung lainnya di sepanjang jalan Gajah Mada (sekarang) sebagai milik dari 
keluarga besar Khouw. Khouw Kim An adalah penghuni gedung CN itu, sementara dua 
lainnya ditempati oleh saudara-saudaranya. Arsitekturnya bisa dikatakan sama 
dan menawan. Masalahnya, gedung yang satu yang sempat disewakan menjadi kedubes 
RRT, disikat tahun 1966 dan dinasionalisasi untuk kemudian dibongkar dan diubah 
fungsinya, yang lainnya juga kabarnya terkena perusakan dan kemudian dijual 
lalu menjadi pertokoan (atau SMA 2, salah satunya benar, cuma tertular dengan 
yang eks kedubes. Catatan saya belum ketemu dalam waktu singkat ini). Jadinya, 
tinggal CN itulah satu-satunya gedung "lux" Tionghoa era akhir abad ke-19 
selain rumah keluarga Souw di Perniagaan dan gereja Santa Maria de Fatima di 
dekat Petak Sembilan. Kalau dari sisi kualitas, gedung keluarga Khouw ini 
adalah nomor 1-nya di masa itu untuk wilayah Batavia baik dari sisi kualitas 
arsitektur, bahan penyusunnya, perangkat meubel, bangku batu, ubin batu, singa 
batu, kaligrafi dan ukiran yang dibuat di sana serta luas bangunannya. Kalau di 
Tangerang, rumah Oey Giok Koen adalah yang paling top, namun sepembandingan 
saya, masih sedikit kalah kelas dibandingkan milik keluarga Khouw ini.

Meski demikian, gedung CN ini memiliki sejarah kuat sebagai rumah dari Majoor 
der Chineezen terakhir di Batavia (1910-1942 karena Jepang dan tidak berlanjut 
setelah Proklamasi), yaitu Khouw Kim An yang meninggal dalam tawanan Jepang di 
Cimahi tahun 1945. Selain Majoor (jabatan tertinggi saat itu), KKA juga 
merupakan seorang pendiri THHK. Tahun 1910-19300 dia juga menjadi ketua Kong 
Koan Batavia dan tahun 1918 mendirikan Bataviaasche Bank. Tahun 1928 ia ikut 
mendirikan Chung Hwa Hui. KKA juga mendapatkan sejumlah bintang penghargaan 
dari Belanda. Rumahnya di CN itu digunakannya untuk mengadakan 
pertemuan-pertemuan baik dengan petinggi Tionghoa maupuun dengan kalangan 
pembesar lain (Belanda, Jawa, Sunda dan sebagainya), termasuk ketika didirikan 
klub olah raga dan seni budaya Sin Ming Hui.

Dari sisi historis, itulah rumah Majoor der Chineezen. Dari sisi selanjutnya, 
sepeninggal KKA, rumah itu dijadikan tempat pertemuan kalangan Tionghoa, 
apalagi pada masa bergejolak 1945-1947 lewat kejadian gedoran dan "kerusuhan" 
Tangerang. Kerusuhan ini ada beberapa gelombang, namun yang terbesar terjadi 
tahun 1946-1947, menyusul kejadian serupa di sejumlah daerah seperti Medan 
(1945-1946), Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Cirebon dan sekitarnya (1946) dan di 
daerah-daerah lainnya di pulau Jawa (salah satunya direkam oleh Tjamboek 
Berdoeri di Malang). Tim yang berangkat ke Tangerang di bawah perintah Soekarno 
memintakan ijin untuk menampung pengungsi tersebut dengan kawalan tentara 
rakyat yang tunduk kepada Soekarno ke rumah alm. KKA ini.

Dengan demikian, rumah KKA ini menjadi saksi bagaimana pergolakan 
sosial-politik di Indonesia dari awal abad ke-20 (THHK) hingga masa kemerdekaan 
dan kemudian pemunculan orde baru, yang kesemuanya mempengaruhi kedudukan dan 
keamanan kalangan Tionghoa di Indonesia.

Masalahnya, seperti apa yang sudah saya tulis di thread yang dulu, gedung 
bersejarah ini justru dihancurkan oleh kalangan Tionghoa sendiri yang tidak 
memaknai arti kesejarahannya. Pertama, yang kabarnya "menjualnya", kemudian 
kedua yang membelinya, ketiga yang melegitimasi "penghancurannya", keempat yang 
mengarsiteki "pengolongannya" mayoritas adalah Tionghoa!!!

Makanya saya sampai sekarang tetap menuntut pertanggungjawaban tim arsitektur 
Untar yang ikut mempreteli dan menyimpan ornamen-ornamen dari sayap kiri-kanan 
dan paviliun belakang dari gedung CN tersebut. Saya kenal orang-orangnya, 
makanya saya terus ngledekin mereka, meskipun mereka dableg juga sampai 
sekarang dan sudah mendekati uzur. Kabarnya Untar sudah tidak bertanggung jawab 
lagi (sebelumnya sih sudah tidak bertanggung jawab atas legitimasi pembongkaran 
tersebut) dengan penyimpanan barang-barang itu. Yaa, tidak dikonservasi, jelas 
saja barang itu akan lapuk, hilang atau dipreteli. Itu dia, makanya ketika 
Untar mengklaim menyelamatkan CN, saya sih justru menertawakan klaim itu. Saya 
pernah sindir lebih keras lagi ketika saya putar film mengenai teknik renovasi 
yang benar (yang saya beri tema Rayahan dan Renovasi), cuma ya, karena dableg, 
susah juga, apalagi kalangan Tionghoa pada umumnya juga apatis dan yang peduli 
justru bo lui.

Oleh karena itu, baik pendirian museum Budaya Tionghoa di TMI, saya sih sangat 
apatis dan pernah mengutarakan penentangan saya terang-terangan kepada 
orang-orang PSMTI, namun tidak didengar juga. Saat perancangannya saja saya 
sudah tahu dan memberikan komentar saya, khususnya melihat arsitekturnya yang 
tidak mewakili keunikan tambahan dari Tionghoa Indonesia. Selain soal latar 
arsitekturnya yang tidak sesuai dengan daerah asal kebanyakan Tionghoa di 
Indoensia (arsitektur Selatan-Tenggara), saya juga mempertanyakan fungsi 
gedung-gedungnya. Kalau mau bicara Tionghoa Indonesia, sebaiknya membangun 
replika kelenteng, karena ciri itulah yang biasanya pada awalnya dibawa 
kalangan Tionghoa sebelum bisa membangun rumah permanennya sendiri. Bahkan 
Zheng He saja mendirikan berbagai tugu penghormatan kepada Maco apabila singgah 
di daratan selama perjalanan. Yaaa, itulah, gara-gara orde baru, ciri 
religiusitas kalangan Tionghoa ini hilang dan orang jadi agak "sensitif" 
mengenai kelenteng. Padahal tinggal pilih dari beberapa shen yang umum saja 
sebagai tuan rumahnya, entah itu Hok Tek Cheng Sin, Thian Siang Seng Bo, Kuan 
Kong yang masih bisa dikatakan netral untuk ketiga "agama besar" Tionghoa.
Tapi, ya, begitulah. Awut-awutan. Lebih lucu lagi, di TMII juga didirikan 
Kongmiao untuk mendamping 5 yang sudah ada, namun arsitekturnya tidak 
dikonsultasikan dengan ahli pendirian kelenteng sehingga kesan religiusnya 
malahan tidak begitu mengesankan. 

Waduuuh, beginilah kekacauan pikir yang ada. Maaf, saya sedang buru-buru jadi 
tidak komentar lebih panjang dulu. Sedang ada kerjaan panjang sampai menjelang 
Sincia depan. 




Adapun sebab jalan kebenaran itu tidak terlaksana: yang pandai melewatinya, 
sedang yang bodoh tidak dapat mencapainya. Adapuun sebab jaln kebenaran itu 
tidak disadari: yang berpengetahuan melewatinya, sedangkan yang tidak paham 
tidak dapat mencapainya.


Suma Mihardja




 

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Dipo" <dipod...@...> wrote:
>
> Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena 
> gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika 
> penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ?
> 
> Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? 
> Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan 
> masyarakat Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing.
> 
> Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat 
> baik baik.
> 
> Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak 
> mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu 
> kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa 
> replika dan miniatur juga.
> 
> Salam
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou <zhoufy@> wrote:
> >
> > Ah!  bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur 
> > ala theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli!
> > 
> > Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan 
> > asli.
> > 
> > 
> > 
> > 
> > ________________________________
> > From: Kawaii_no_Shogetsu <fenghuang82@>
> > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> > Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM
> > Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
> > 
> >   
> > Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai 
> > bangunan induknya.
> > 
> > Bagaimana?
> > 
> > --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, "dkhkwa" <dkhkwa@> wrote:
> > >
> > > Pak Tjandra,
> > > 
> > > Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, 
> > > yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per 
> > > satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus 
> > > menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh 
> > > tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai 
> > > ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum 
> > > pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran 
> > > (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus 
> > > pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) 
> > > bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian 
> > > dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya 
> > > menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan 
> > > Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf 
> > > selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya
> >  melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung 
> > pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, 
> > tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin 
> > Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta 
> > heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan 
> > bergeming.
> > > 
> > > Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan 
> > > tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. 
> > > Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, 
> > > berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban 
> > > Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, 
> > > termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu 
> > > merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch 
> > > sekaligus Tionghoanya.
> > > 
> > > Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah 
> > > penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan 
> > > sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor 
> > > Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para 
> > > pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan 
> > > letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita 
> > > Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan 
> > > dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah 
> > > Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, 
> > > bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di 
> > > kita adalah penghancuran demi penghancuran.
> > > 
> > > Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah 
> > > berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan 
> > > dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang 
> > > bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? 
> > > Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa 
> > > yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa 
> > > semasa berkuasa?
> > > 
> > > Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe 
> > > rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai 
> > > aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di 
> > > seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap 
> > > bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di 
> > > seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang 
> > > bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan 
> > > para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas 
> > > kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa 
> > > sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada 
> > > hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!!
> > > 
> > > Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.
> > > 
> > > Kiongchiu,
> > > DK
> > > 
> > > --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Tjandra Ghozalli <ghozalli2002@ 
> > > > wrote:
> > > 
> > > Dear members,
> > > Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia 
> > > Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini 
> > > luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai 
> > > member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  
> > > Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun "main building" yang 
> > > dibangun baru "sub building" yang kecil kecil (sumbangan beragam 
> > > komunitas Tionghoa) mengelilingi main building yg belum dibangun.  
> > > Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, semua itu 
> > > terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa banyak 
> > > yg jadi konglomerat, malah anjungannya "melarat"  Oleh karena itu saya 
> > > kepikiran untuk membantu pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui 
> > > dompet pedulli "Anjungan Budaya Tionghoa Indonesia" yang akan dimuat 
> > > daftar penyumbangnya di majalah POST Media.  Untuk dompet peduli, saya 
> > > dan pak Tedy Yusuf sudah buka account bersama di Bank
> >  Mandiri.No. rekening 125-00-0997473- 4 an Tedy Yusuf & Tjandra Ghozalli.  
> > Diharapkan para member millis ini bersedia membantu pembangunan anjungan 
> > kita itu.  Perlu diketahui bahwa anjungan tersebut bukan milik PSMTI tetapi 
> > milik warga Tionghoa yg diserahkan oleh pak Harto (alm) kepada pak Tedy 
> > Yusuf.  RGDS.Tjandra G
> > >
> >
>


Kirim email ke