Bung Anton W dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Ikut nimbrung dikit ajah ya....

Seperti anda sampaikan sendiri, halal atau tidak halal-nya makanan tidak melulu 
berkenaan dengan babi. Ada banyak aspek yang mesti dipenuhi untuk menjadikan 
suatu makanan itu halal atau tidak halal. 

Di samping bahan-bahannya, juga proses dan prosedur pembuatannya mesti 
diperiksa dengan teliti dan seksama, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. 
Kalau ada produk yang dibuat di dalam satu ruang yang sama, dapur dan tempat 
mengolahnya, ada terkontaminasi dengan bahan-bahan non halal, alkohol atau 
babi, misalnya, hasil produksinya yang tanpa bahan-bahan tidak halal itu 
menjadi void - hasilnya tetap tidak bisa dinyatakan halal.

Juga tergantung aspek 'konotasi'nya, seperti bir, walau sudah diproduksi dengan 
tanpa alkohol, Bagian POM MUI tidak pernah menerbitkan sertifikatnya, sebab bir 
sudah diposisikan sebagai minuman beralkohol yang diminum karena hendak 
dinikmati alkoholnya, jadi 'pengganti'nya yang tanpa alkohol sekalipun, tetap 
tidak bisa dikategorikan sebagai minuman halal.

Bahkan teman saya pernah secara ekstrim bilang bahwa daging ayam dan sapi juga 
bisa saja tidak halal kalau diperoleh dari jalan tidak halal, hasil curian, 
misalnya. 

Kebetulan saja saya pernah berurusan dengan produksi bahan baku makanan yang 
diproduksi secara massal, jadi sering bertanya-tanya kepada yang berwenang 
dalam hal ini, juga bertanya kepada teman-teman Muslim,  jadi saya ada sedikit 
tahu ttg pedoman teman-teman kita yang Muslim.

Kalau ndak salah, pedoman mereka adalah: kalau ragu, sebaiknya jangan dimakan.

Jadi, kalau kembali ke pertanyaan anda ttg dodol dan makanan lain untuk tahun 
baru Imlek, bagaimana membedakannya antara yang halal dan tidak halal, 
kembalikan saja ke pedoman yang sudah diajarkan kepada mereka. Kalau mereka 
ragu, ya ndak usah diperdebatkan lagi. 

Ada satu teman saya yang Muslim pernah bertahun-tahun tidak mau ikut makan 
bakmi ayam yang terkenal di kota itu, sebab dia merasa tidak yakin akan halal 
tidaknya. Tapi, begitu dia yakin, dia ikut makan juga akhirnya.

Kalau berpedoman pada makanan untuk vegetarian, memang bisa. Karena makanan 
vegetarian memang tanpa daging sama sekali, bahkan ada yang 'aroma' daging saja 
tidak mau dipakai. Seperti juga pedoman 'halal' bagi kaum Kosher (Yahudi?) yang 
begitu ketat, katanya makanan yang 'halal' secara Kosher, bisa diandalkan bagi 
kaum muslim akan kehalalan-nya. Tapi, tetap saja, kembali ke keyakinan 
masing-masing.

Jadi, seperti anda bilang, ndak usah dijadikan polemik lagi toh?

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang Selatan






--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "pempekd9" <pempe...@...> wrote:

Saya tidak ingin berpolemik soal sertifikat halal MUI. Yang ingin saya dapatkan 
adalah kejelasan saja ttg produk produk untuk tahun baru imlek yang boleh 
dimakan oleh teman teman Muslim. Saya sendiri bukan Muslim. 
 
Sebagai pedagang makanan saya pernah ditanya apakah produk pempek saya 
mengandung babi. Ini mengelikan bagi orang Palembang, tapi suatu yang wajar 
kalau anda tidak tahu apa saja bahan untuk membuat pempek. 
 
Di kalangan awam memang babi identik dengan haram.Tapi haram tidak identik 
dengan babi. Banyak sekali aturan ttg halal dan haram. Itu diluar kemampuan 
saya, tetapi setidaknya saya selalu berusaha agar teman teman Muslim saya tidak 
dengan sengaja saya beri makanan yang tidak sesuai.
 
Salam,
Anton W
 


Kirim email ke