Sdr. Ophoeng, Orang yang berdialek Jawa, menyebut engko menjadi engkoh. Di Jawa barat 姑姑 kou (ou adalah o pendek) menjadi koh. nio (ibu) menjadi nioh. Kata Hokkian dulu banyak sekali dan mulai lenyap setelah zaman orba, dulu orang Tionghoa tak ada yang mengatakan bahaya tetapi honghiam, tak ada yang mengatakan dibunuh tapi di-thai, tak ada yang mengatakan telanjang kaki tapi ciakah dan lain-lain, tak ada yang mengatakan dirampok tapi di chnio dll. Jadi besar sekali pengaruh dialek Hokkian di Indonesia terhadap orang non Tionghoa maupun Tionghoa yang berdialek lain. Ada orang sne Ui orang Hokchnia , Liem Sioe Liong kalau menurut dialeknya yaitu dialek Hokchnia harusnya sne Lieng bukan Liem, itu semua pengaruh dialek Hokkian. Akibatnya banyak orang non Tionghoa dulu menganggap dialek Hokkian adalah bahasa nasional. Wartawan yang datang ke Tiongkok merasa tahu sedikit bahasa Tionghoa lalu bilang gocap, yang diajak bicara cuma bengong, disangkanya bahasa Indonesia. Kiongchiu
________________________________ From: Ophoeng <opho...@yahoo.com> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Fri, March 26, 2010 12:15:12 AM Subject: [budaya_tionghua] Babeh vs Babah? (Was: ASAL OWE DARI MANA? BABA dan NONA) Bung David Kwa dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Hehehe..... menarik sekali baca posting berdiskusi ttg 'owe' ini, mulanya cuma mau pasip jadi pembaca yang baik doang, tapi tak tahan juga mau nimbrung juga nih. Saya baru tahu kalau 'baba(h)' di Betawi jadi 'babe(h)', dengan pengertian 'baba'nya sebutan untuk seorang Tionghua yang dipanggil oleh non Tionghua dan Tiuonghua peranakan. Apakah ini babe(h)-nye same ame nyang biase dipake buat gantinye nyebut 'ayah' atawa 'bapak' bagi masyarakat Betawi asli ya? Contohnye, Babeh Saman nyang juwalan nasi uduk di Kebon Kacang, bilangan Tenabang itu, lalu ade Babe(h) Lili nyang dagangnye ikan bakar di bilangan Kebon Sirih. Kalau iya, berarti banyak juga kosakata basa Betawi yang terpengaruh oleh basa dialek Hok-kian tuh ye? Gue dari gua (wa), apalagi 'elo' (lu), belum lagi angka-angka jigo, gocap, seceng. Yang selama ini jadi kecurigaan saya mah, kata 'dialogue' dalam basa Inggris itu, jangan-jangan berasal dari basa Betawi - dia (e)lo gue, pan bener banget tuh, kalau mau dialogue ya kudu ada 3 unsur: ada dia, ada (e)lo dan ada gue tuh, jeh! ***just kidding-larrr! *** Lanjut dikit soal 'owe' ya. Kalau di Cirebon, kayaknya ada imbuhan bunyi 'h' di belakangnyah, jadi terdengarnyah 'oweh' dan untuk anak perempuan 'sayah'. Mungkin juga ini hampir sama-sama pengaruh di daerah berbasa Sunda, kalau tak salah, seperti Bandung, Bogor, Tasik, Garut dan lain-lainnya. Ene saya (mestinya sih ema, cuma salah kaprah dalam keluarga oweh ajah sih) dengan sabarnya 'mengajarkan' anak-anak mamah saya dengan sebutan itu, diulang-ulangnya terus kalau kami salah nyebut. Lama-lama kami jadi belajar bahwa yang lelaki mesti ber-'oweh' kepada mereka dan anak-anaknya (engku, ie-ie, dan locian-pwee lainnya) dan yang perempuan mesti ber'sayah'. Waktu anak saya lahir, ene dan ie-ie saya, coba mengajarkan kepada cicit dan cucu-nya (=anak saya) dengan panggilan 'oweh' juga. Jadi, kalau pas mereka bertandang ke rumah saya, menginap, mereka akan membiasakan anak saya (lelaki) ber-oweh. Saya sih cuma senyum di kulum ajah di samping, ndak mengiyakan tapi juga ndak menghalangi. Soalnya, bukan apa-apa, mami mertua saya itu totok Holland sprekken, jadi kagak ngatri samsek soal 'oweh-oweh-an' begitu. Padahal mertuanya mami mertua saya (engkong dan ema nyonyah saya dari papi-nya) totok Tiongkok asli. Pernah sekali waktu, saya berkenalan dengan seorang supplier asal Cerebon. Begitu tahu saya wong Cerebon juga, mulailah dia berbasa krama dengan menyebut dirinya dengan 'oweh'. Sebab di Cerebon, generasi saya masih terpapar oleh 'oweh' ini. Dalam bisnis, basa krama dengan menyebut diri 'oweh' memang lazim di Cerebon. Jadi, ketika si supplier bertandang ke rumah saya, dia ramai menyebut 'oweh' berulang-ulang dan cuku kerap, soalnya 'kan 'oweh' berarti 'saya' dan juga 'iya'. Yang ada, nyonyah saya ketawa sendiri di dapur mendengarnya. Dia ingat ama mertua dan ema mertuanya yang coba mengajarkan anaknya waktu masih bayi dan balita untuk ber'oweh-oweh' an juga. Ya sudah, akhirnya anak-anak saya (2 orang) tidak bisa dicekokin kultur 'oweh' ini. Sorry. Mission is gatot (gagal total) deh ya. Begitu ajah sih ya kira-kira. Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang Selatan --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, "David" <dkh...@...> wrote: Mpeq Liang U dan Liatwi, Panggilan Baba dan Nona di Jakarta memang ada, entah di bagian lain pulau ini. Owe ingat, pengalaman owe semasa kecil, waktu berkunjung ke rumah teman, ema (nenek)-nya teman itu, yang peranakan Jakarta asli, pernah “menginterogasi” owe dengan logat Jakarta aslinya yang medok: “Si Babĕ (dengan “ĕ” pĕpĕt, maksudnya owe) anak siapĕ, tinggal di manĕ?”, dst, dst. Mungkin, maksudnya, siapa tahu dia kenal keluarga owe. Nah, mengenai panggilan Nona, ema owe pun pernah menyapa teman owe yang perempuan dengan panggilan Si Nona. Mungkin, kalau yang menyapa emanya teman owe yang Jakarta asli itu, panggilannya akan berubah lafal jadi Si Nonĕ… Kesimpulan owe, merupakan hal lazim bagi orang Tionghoa (peranakan) maupun non-Tionghoa, untuk menyapa laki-laki (pemuda) dan perempuan (gadis) Tionghoa peranakan dengan panggilan Baba (Babĕ) dan Nona (Nonĕ). Panggilan Nona ternyata tidak terbatas terhadap mereka yang masih belum menikah (gadis) saja. Ema owe―yang tentu sudah ema-ema waktu peristiwa ini terjadi―sering ditawari belanja oleh tukang sayur langganannya yang orang Betawi dengan: “Nona, belanja???!! !” Memang, pada masa lampau tidak lazim seorang non-Tionghoa memanggil orang Tionghoa (Peranakan dan Totok) dengan panggilan Ngko/Nci, tapi BABA/NONA. Padahal Ngko/Nso (bukan Nci, bila yang bersangkutan sudah mempunyai suami) hanya dipakai oleh seorang Tionghoa terhadap orang Tionghoa lain yang kira-kira SEBAYA umurnya dengan kita, bukan yang seumuran orangtua kita!!! Makanya, owe pernah mengritik habis novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado yang “tidak sesuai dengan kenyataan sejarah”… Apalagi settingnya pada masa lalu, sehingga dianggap novel sejarah, tapi ternyata si pengarang tidak tahu adanya aturan seperti itu… Parahnya, semua dipanggil Ngko… Kiongchiu, DK