Memang bahasa dapet berubah2 saling melengkapi, Apa bener gitu ko babah ???
katanya jaman th 1930an ada kata sinyo babah ???





________________________________
From: liang u <lian...@yahoo.com>
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Fri, 26 March, 2010 10:08:50
Subject: Re: [budaya_tionghua] Babeh vs Babah? (Was: ASAL OWE DARI MANA? BABA 
dan NONA)

  
Sdr. Ophoeng, 
    Orang yang berdialek Jawa, menyebut engko menjadi engkoh.  Di Jawa barat  
姑姑 kou (ou adalah o pendek) menjadi koh. nio (ibu) menjadi nioh. 
     Kata Hokkian dulu banyak sekali  dan mulai lenyap setelah zaman orba, dulu 
orang Tionghoa tak ada yang mengatakan bahaya tetapi honghiam, tak ada yang 
mengatakan dibunuh tapi di-thai, tak ada yang mengatakan telanjang kaki tapi 
ciakah dan lain-lain, tak ada yang mengatakan dirampok tapi di chnio dll.
    Jadi besar sekali pengaruh dialek Hokkian di Indonesia terhadap orang non 
Tionghoa maupun Tionghoa yang berdialek lain. Ada orang sne Ui orang Hokchnia , 
Liem Sioe Liong kalau menurut dialeknya yaitu dialek Hokchnia harusnya sne 
Lieng bukan Liem, itu semua pengaruh dialek Hokkian. Akibatnya banyak orang non 
Tionghoa dulu menganggap dialek Hokkian adalah bahasa nasional. Wartawan yang 
datang ke Tiongkok merasa tahu sedikit bahasa Tionghoa lalu bilang gocap, yang 
diajak bicara cuma bengong, disangkanya bahasa Indonesia.
    Kiongchiu




________________________________
 From: Ophoeng <opho...@yahoo. com>
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Sent: Fri, March 26, 2010 12:15:12 AM
Subject: [budaya_tionghua] Babeh vs Babah? (Was: ASAL OWE DARI MANA? BABA dan 
NONA)

  
Bung David Kwa dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Hehehe..... menarik sekali baca posting berdiskusi ttg 'owe' ini, mulanya cuma 
mau pasip jadi pembaca yang baik doang, tapi tak tahan juga mau nimbrung juga 
nih.

Saya baru tahu kalau 'baba(h)' di Betawi jadi 'babe(h)', dengan pengertian 
'baba'nya sebutan untuk seorang Tionghua yang dipanggil oleh non Tionghua dan 
Tiuonghua peranakan. 

Apakah ini babe(h)-nye same ame nyang biase dipake buat gantinye nyebut 'ayah' 
atawa 'bapak' bagi masyarakat Betawi asli ya? Contohnye, Babeh Saman nyang 
juwalan nasi uduk di Kebon Kacang, bilangan Tenabang itu, lalu ade Babe(h) Lili 
nyang dagangnye ikan bakar di bilangan Kebon Sirih. 

Kalau iya, berarti banyak juga kosakata basa Betawi yang terpengaruh oleh basa 
dialek Hok-kian tuh ye? Gue dari gua (wa), apalagi 'elo' (lu), belum lagi 
angka-angka jigo, gocap, seceng. Yang selama ini jadi kecurigaan saya mah, kata 
'dialogue' dalam basa Inggris itu, jangan-jangan berasal dari basa Betawi - dia 
(e)lo gue, pan bener banget tuh, kalau mau dialogue ya kudu ada 3 unsur: ada 
dia, ada (e)lo dan ada gue tuh, jeh! ***just kidding-larrr! ***

Lanjut dikit soal 'owe' ya.

Kalau di Cirebon, kayaknya ada imbuhan bunyi 'h' di belakangnyah, jadi 
terdengarnyah 'oweh' dan untuk anak perempuan 'sayah'. Mungkin juga ini hampir 
sama-sama pengaruh di daerah berbasa Sunda, kalau tak salah, seperti Bandung, 
Bogor, Tasik, Garut dan lain-lainnya.

Ene saya (mestinya sih ema, cuma salah kaprah dalam keluarga oweh ajah sih) 
dengan sabarnya 'mengajarkan' anak-anak mamah saya dengan sebutan itu, 
diulang-ulangnya terus kalau kami salah nyebut. Lama-lama kami jadi belajar 
bahwa yang lelaki mesti ber-'oweh' kepada mereka dan anak-anaknya (engku, 
ie-ie, dan locian-pwee lainnya) dan yang perempuan mesti ber'sayah'.

Waktu anak saya lahir, ene dan ie-ie saya, coba mengajarkan kepada cicit dan 
cucu-nya (=anak saya) dengan panggilan 'oweh' juga. Jadi, kalau pas mereka 
bertandang ke rumah saya, menginap, mereka akan membiasakan anak saya (lelaki) 
ber-oweh. Saya sih cuma senyum di kulum ajah di samping, ndak mengiyakan tapi 
juga ndak menghalangi. Soalnya, bukan apa-apa, mami mertua saya itu totok 
Holland sprekken, jadi kagak ngatri samsek soal 'oweh-oweh-an' begitu. Padahal 
mertuanya mami mertua saya (engkong dan ema nyonyah saya dari papi-nya) totok 
Tiongkok asli.

Pernah sekali waktu, saya berkenalan dengan seorang supplier asal Cerebon. 
Begitu tahu saya wong Cerebon juga, mulailah dia berbasa krama dengan menyebut 
dirinya dengan 'oweh'. Sebab di Cerebon, generasi saya masih terpapar oleh 
'oweh' ini. Dalam bisnis, basa krama dengan menyebut diri 'oweh' memang lazim 
di Cerebon. Jadi, ketika si supplier bertandang ke rumah saya, dia ramai 
menyebut 'oweh' berulang-ulang dan cuku kerap, soalnya 'kan 'oweh' berarti 
'saya' dan juga 'iya'.

Yang ada, nyonyah saya ketawa sendiri di dapur mendengarnya. Dia ingat ama 
mertua dan ema mertuanya yang coba mengajarkan anaknya waktu masih bayi dan 
balita untuk ber'oweh-oweh' an juga. Ya sudah, akhirnya anak-anak saya (2 
orang) tidak bisa dicekokin kultur 'oweh' ini. Sorry. Mission is gatot (gagal 
total) deh ya.

Begitu ajah sih ya kira-kira.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang Selatan

--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, "David" <dkh...@...> wrote:

Mpeq Liang U dan Liatwi,

Panggilan Baba dan Nona di Jakarta memang ada, entah di bagian lain pulau ini. 
Owe ingat, pengalaman owe semasa kecil, waktu berkunjung ke rumah teman, ema 
(nenek)-nya teman itu, yang peranakan Jakarta asli, pernah “menginterogasi” owe 
dengan logat Jakarta aslinya yang medok: “Si Babĕ (dengan “ĕ” pĕpĕt, maksudnya 
owe) anak siapĕ, tinggal di manĕ?”, dst, dst. Mungkin, maksudnya, siapa tahu 
dia kenal keluarga owe. Nah, mengenai panggilan Nona, ema owe pun pernah 
menyapa teman owe yang perempuan dengan panggilan Si Nona. Mungkin, kalau yang 
menyapa emanya teman owe yang Jakarta asli itu, panggilannya akan berubah lafal 
jadi Si Nonĕ… Kesimpulan owe, merupakan hal lazim bagi orang Tionghoa 
(peranakan) maupun non-Tionghoa, untuk menyapa laki-laki (pemuda) dan perempuan 
(gadis) Tionghoa peranakan dengan panggilan Baba (Babĕ) dan Nona (Nonĕ). 

Panggilan Nona ternyata tidak terbatas terhadap mereka yang masih belum menikah 
(gadis) saja. Ema owe―yang tentu sudah ema-ema waktu peristiwa ini 
terjadi―sering ditawari belanja oleh tukang sayur langganannya yang orang 
Betawi dengan: “Nona, belanja???!! !” 

Memang, pada masa lampau tidak lazim seorang non-Tionghoa memanggil orang 
Tionghoa (Peranakan dan Totok) dengan panggilan Ngko/Nci, tapi BABA/NONA. 
Padahal Ngko/Nso (bukan Nci, bila yang bersangkutan sudah mempunyai suami) 
hanya dipakai oleh seorang Tionghoa terhadap orang Tionghoa lain yang kira-kira 
SEBAYA umurnya dengan kita, bukan yang seumuran orangtua kita!!! Makanya, owe 
pernah mengritik habis novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado yang “tidak sesuai 
dengan kenyataan sejarah”… Apalagi settingnya pada masa lalu, sehingga dianggap 
novel sejarah, tapi ternyata si pengarang tidak tahu adanya aturan seperti itu… 
Parahnya, semua dipanggil Ngko…

Kiongchiu,
DK



 


      

Kirim email ke