KOMPAS Selasa, 05 Juni 2007 Kekerasan dan Birokrasi
R Herlambang Perdana Mengejutkan dan menyakitkan. Saat terjadi tragedi penembakan terhadap petani kisma oleh oknum marinir TNI AL di Desa Alas Tlogo, Kabupaten Pasuruan (30/5), di UGM Yogyakarta sedang digelar seminar yang terkait akar masalah tragedi itu, Land Law and Land Tenure in Post-1998 in Indonesia: Changes in Rule of Law in The Field of Agraria. Tragedi penembakan yang menewaskan empat petani itu seakan mengulang sejarah kekerasan militer yang terjadi pada 25 September 1994 di Sampang Madura. Saat itu TNI AD menembaki petani yang menewaskan empat petani karena menolak tanahnya dijadikan waduk. Belajar dari peristiwa ini, meski berbeda antara rezim Orde Baru dan rezim reformasi, cara-cara kekerasan tetap digunakan untuk menyelesaikan sengketa tanah. Tulisan berikut menjelaskan mengapa sengketa hak tanah antara militer dan rakyat menjadi rentan akan kekerasan saat birokrasi negara yang mengurusi tanah tidak mampu menyelesaikannya. Masalah tanah Dalam sengketa tanah maupun klaim militer dalam mengambil tanah-tanah rakyat untuk kepentingan bisnis, pusat latihan tempur dan fasilitas lain, tidak sedikit yang penggunaan kekerasan. Memang, tidak mudah untuk memisahkan sejarah konflik tanah militer dengan sejarah politik di Indonesia yang menjadi konteks politik militer atas penguasaan tanah. Artinya, dalam kurun waktu berbeda antara rezim satu dengan rezim berikut, akan menunjukkan karakter relasi politiknya, yang bisa ditinjau dari peran penguasa birokrasi dengan peran militer, serta pola-pola yang dibangun keduanya. Persinggungan sejarah politik penguasa birokrasi dengan politik militer dari setiap pergantian rezim menjadi relevan dan penting dipahami. Misalnya, apa pengaruh Konferensi Meja Bundar (KMB) bagi politik militer, khususnya terhadap penguasaan aset-aset bekas kolonial yang kemudian dinasionalisasi pemerintah, termasuk nasionalisasi industri dan tanah-tanah perkebunan. Begitu pula pengaruh politik sebelum dan sesudah peristiwa tahun 1965 terkait penguasaan tanah-tanah rakyat di tengah gencarnya program land reform pascadiberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1960 dan UU No 51/Prp/1960. Sejumlah konteks politik lain yang amat penting dianalisis hubungannya dengan aneka kekuatan politik, khususnya militer terhadap problem ketimpangan penguasaan tanah-tanah yang menjadi warisan konflik sekarang. Pada sisi inilah yang menjelaskan penguasaan tanah-tanah militer, dengan dalih "pembelian", nasionalisasi aset-aset kolonial, tersertifikasi maupun penguasaan atas dasar hukum negara, sebagian besar merupakan hasil perampasan hak-hak tanah rakyat secara sistematik dan terorganisasi rapi. Karena itu, tidak mengherankan kalau banyak sekali tanah yang dikuasai militer kembali dipersoalkan rakyat maupun kaum tani saat terjadi perubahan situasi politik. Untuk kasus tanah yang dirampas militer di Jawa Timur, ada 25 kasus yang melibatkan militer, baik TNI AD (tujuh kasus), TNI AL (12 kasus), dan TNI AU (enam kasus), dengan luas sengketa 15.374,29 hektar. Kasus-kasus itu juga terjadi di berbagai provinsi lain. Kegagalan birokrasi Telantarnya penyelesaian sengketa tanah militer di Indonesia adalah salah satu pemicu benturan rakyat versus militer. Penyebab pertama, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan kantor pertanahan di daerah, sebagai lembaga birokrasi tanah, tidak mampu menjelaskan dan menjembatani konflik tanah jenis ini. BPN kerap lepas tanggung jawab dengan menyuruh petani membawa kasusnya ke pengadilan. Kedua, birokrasi tanah militer memiliki sejarah birokrasi sendiri sehingga banyak ditemui klaim kepemilikan militer disahkan oleh surat-surat keputusan militer. Contoh, Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) No 011 Th 1958, 14 April 1958 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Pemiliknya atau Kuasanya, yang diterbitkan Kepala Staf TNI AD Selaku Penguasa Perang Pusat untuk Daerah AD. Maka, banyak institusi negara memilih menghindar dari upaya penyelesaian sengketa tanah-tanah militer dengan berbagai alasan yang beragam dan tidak jelas. Ketiga, belum ada mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang memosisikan lebih baik petani maupun rakyat tunakisma, khususnya tanah-tanah yang dikuasai militer. Dalam kasus Grati di Pasuruan, kasus Buduran di Sidoarjo, dan kasus Harjokuncaran di Malang, petani telah bertahun-tahun dan puluhan kali mendatangi sejumlah institusi negara di Jakarta, tanpa mendapat ketegasan dan kejelasan arah penyelesaiannya. Faktor-faktor kegagalan birokrasi negara yang membiarkan penyelesaian sengketa tanah terkatung-katung inilah yang memicu perlawanan rakyat untuk menguasai dan mempertahankan tanahnya, apalagi banyak ditemukan penyalahgunaan fungsi tanah oleh militer, seperti untuk kepentingan bisnis tentara. Tanah di Grati konon akan digunakan untuk pangkalan militer. Benarkah? Faktanya, tanah-tanah itu disewakan untuk perkebunan tebu dan mangga. Ini menunjukkan, bisnis tentara lebih diutamakan dibanding memberikan hak-hak tanah bagi petani yang kehidupannya bergantung pertanian. Penyalahgunaan ini memperumit sengketa tanah yang dikuasai militer dan melahirkan masalah sistemik ketatapemerintahan urusan tanah. Kekerasan demi kekerasan akan terus terjadi dan korban akan terus berjatuhan jika negara tidak mengurusi birokrasi tanah yang menyangkut tanah-tanah militer secara serius. Di sinilah pemerintah atau penguasa politik harus memikirkan strategi penyelesaian kasus secara lebih menyeluruh, terbuka, dan mengutamakan kepentingan korban. Kita semua tidak berharap demokrasi yang sedang tumbuh dicederai kekerasan militer dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. R Herlambang Perdana Dosen Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga; Pernah Meneliti Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat (2004) [Non-text portions of this message have been removed]