Refleksi: Tadi siang saya ditelepon oleh seorang kawan baik yang berdiam di Denmark. Cerita punya cerita, saya tanya tentang keadaan keluarganya. Bagaimana dengan putri bungsunya? Dia katakan bahwa putrinya akan melanjutkan studi pada fakultas kedokteran. Saya bertanya, apakah mahal untuk sekolah tsb. Dia bilang satu sen pun tidak perlu bayar, terkecuali untuk makan, beli buku, karcis bus dan uang saku.
Patut diperhatikan bahwa di Denmark tidak ada suara keras halilintar gemuruh yang menghentarkan wahyu Mahaberkuasa Mahapenyayang kepada umatnya. Jadi boleh dibilang Denmark adalah negeri kafir. Tetapi sekalipun kafir, penduduknya memperoleh pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai tingkat universitas dengan cuma-cuma. Mungkin saja ada yang bilang bahwa Denmark kaya, tetapi bagaimana dengan Cuba [Kuba]? Negeri yang juga kafir Komunis, miskin hasil alam dan mengalami blokade ekonomi negeri raksasa tetangganya. Blokade ini berjalan sudah lebih dari 40 tahun. Tetapi, sekalipun bayak kesulitan bisa juga memberikan pendidikan, pelayanan kesehatan dengan cuma-cuma kepada rakyatnya. Jangan dilupakan bahwa baik Denmark maupun Cuba tidak termasuk negeri pemilik milyoner terbanyak di dunia seperti Indonesia, berkedudukan no. 4 dalam skala dunia. Apakah Allah yang Maha adil, Maha Kasih serta Maha Penyayang yang dikumandangkan dengan hirukpikuk di Indonesia adalah hanya milik orang kaum berada dan oleh karena itu pendidikan adalah superlux diluar kemampuan bagi rakyat mayoritas yang miskin melarat? Oh Allah, di manakah Kau? Dimana kasihMu? Dimana keadilanMu? Apakah Kau tidak melihat umatumu, penghuni negeri pewaris begitu banyak kekayaan berkatmu ditipu oleh kaum berkuasa menjadi miskin melarat? Mereka ini dimarginalisasikan dari pendidikan dan pengetahuan berguna untuk bisa hidup layak. Oh Allah, dimana pun Kau berada, hendaklah Kau melihat bahwa pendidikan menjadi barang superlux bagi umatmu di negeri yangan namanya NKRI, sedangkan di negeri-negeri kafir, pendidikan hal wajar tanpa bayar bagi penghuninya! Amin. http://www.indomedia.com/bpost/072007/16/opini/opini3.htm Sekolah, Barang Superlux Setiap awal tahun ajaran baru, orangtua terutama yang kehidupan keluargannya pas-pasan dan memiliki anak yang akan masuk sekolah harus berpikir keras untuk bisa melanjutkan pendidikan anaknya itu. Dana yang harus mereka sediakan terbilang tidak sedikit, mencapai jutaan rupiah. Bahkan di Kotabaru, ada sekolah yang memasang tarif Rp 2 juta untuk mendaftar ulang. Bagi orangtua yang mampu, hal ini jelas tidak menjadi masalah. Dari banyaknya SMS yang masuk ke redaksi BPost khususnya SMS Siswa, hampir seluruh isinya mengeluhkan besarnya biaya yang harus disediakan orangtua untuk keperluan pendidikan anak mereka di berbagai tingkat: dari TK sampai SMA terutama yang berstatus sekolah negeri. Keluhan mereka ini muncul karena dikatakan masuk sekolah tidak dikenakan biaya. Kalau pun ada, orangtua hanya menyediakan dana untuk membeli seragam dan peralatan sekolah lainnya yang jumlahnya tidak seberapa sehingga tidak terlalu membebani. Ternyata, fakta di lapangan berbicara lain. Sebagian orangtua calon siswa terbelalak dan sebagian lagi tertunduk lesu, begitu mengetahui mereka harus menyediakan dana yang cukup besar demi kelanjutan pendidikan anaknya. Belum lagi, biaya yang harus disediakan dan dikeluarkan selama anak mereka menjalani pendidikannya di bangku sekolah. Memang untuk tingkat SD dan SMP negeri, semua siswa dibebaskan dari pungutan SPP. Tapi ini tidak menjamin orangtua siswa tidak mengeluarkan biaya sama sekali untuk kebutuhan sekolah anaknya. Ungkapan 'orang miskin dilarang sekolah' di negeri ini, ada benarnya. Hal ini bisa kita saksikan sendiri, hanya kalangan orang berduit yang bisa menyekolahkan anaknya walau sampai setinggi apa pun. Sebaliknya, bagi anak dari keluarga miskin dan orangtua yang tidak memiliki penghasilan tetap, terpaksa hanya bisa menjadi penonton. Harapan untuk bisa memperbaiki ekonomi keluarga dengan mencari bekal melalui sekolah, menjadi pupus karenanya. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, kemudian diejawantahkan melalui UU No 20/2003 tentang Pendidikan Nasional, tidak berlaku bagi mereka. Padahal pasal ini menyebutkan setiap warga negara, tapi fakta yang terjadi di lapangan tidak demikian. Bagaimana anak mereka bisa melanjutkan sekolah, untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga saja kembang kempis. Harus pontang panting mencari rezeki dengan kerja keras dan apa saja. Apalagi di saat seperti sekarang, untuk mendapatkan pekerjaan yang layak saja semakin sulit. Sebenarnya hal ini berakibat sangat luas, upaya peningkatan SDM kita yang digembagemborkan pemerintah menajdi sia-sia karena tidak sampai menyentuh masyarakat yang berpenghasilan minim. Biaya masuk sekolah dalam hal ini pendaftaran ulang tak terjangkau masyarakat berpenghasilan minim. Hal ini berakibat tidak menutup kemungkinan, orangtua calon siswa dengan sangat terpaksa membatalkan niat anak mereka untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Walaupun anak mereka pintar, kalau biaya bisa menikmati pendidikan tidak dimiliki, jelas kepintarannya itu menjadi tiada arti. Dengan sangat terpaksa pula, si anak rela bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Masa kanak-kanak yang seharusnya dinikmati di bangku sekolah, terpaksa mereka habiskan untuk ikut membanting tulang sebagai tenaga kerja anak. Padahal, hal ini sangat bertentangan dengan UU RI tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, kita tidak bisa menyalahkan kenapa ada anak yang katanya sebagai penerus bangsa ini melakukan jalan pintas dengan tindakan nekat --bunuh diri, misalnya-- karena ketidaksanggupun untuk membayar biaya sekolah. Memang kita semua tahu, pendidikan --yang tak terlepas dari biaya sekolah-- bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Kita mengetahui dan sangat menyadari, pendidikan adalah tanggung jawab semua bangsa ini. Tapi kalau biaya untuk bisa menikmati pendidikan itu tak terjangkau masyarakat khususnya yang berpenghasilan minim, kepada siapa tanggung jawab ini dibebankan. Sekolah di negeri ini, benar-benar menjadi barang superlux. [Non-text portions of this message have been removed]