http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=1871

16 Juli 2007 04:16:39



Mantan Panglima TPN/OPM pun Menolak

Jika Bintang KejoraDijadikan Simbol Daerah




JAYAPURA-Ribut-ribut soal wacana Bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku Papua 
dan Burung Mamberuk sebagai simbul kultur orang asli Papua, juga mengundang 
perhatian mantan Panglima TPN/OPM (Tentara Pembebasana Nasional/Organisasi 
Papua Merdeka) wilayah Mamberamo-Scotiau, Mathias Tabu. 


Dirinya menolak dengan tegas jika Bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku 
Papua dan Burung Mamberuk dijadikan sebagai simbul kultur orang asli Papua. 
Sebeb menurutnya, Bendera Bintang Kejora bukanlah lambang kultur orang Papua, 
tapi itu murni sebuah lambang atribut perjuangan OPM.


"Siapa yang bilang Bendera Bintang Kejora itu merupakan lambang budaya orang 
Papua. Tidak ada dalam sejarah itu. Itu omong kosong. Jika itu dikatakan 
lambang perjuangan OPM, maka itu baru benar," ujarnya kepada Cenderawasih Pos 
usai bertemu dengan Dandim 1701/Jayapura, Letkol Kav A.H Napoleon di Makodim, 
Sabtu (14/7).


Menurut Mathias Tabu yang didampingi 12 orang mantan anak buahnya, selama 19 
tahun (1963--1982) dirinya mengunakan atribut Bendera Bintang Kejora sebagai 
lambang perjuangan dan semangat OPM. 


Untuk itu, dirinya minta kepada DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) dan MRP 
(Majelis Rakyat Papua) untuk menghentikan segala upayanya dalam melegalkan 
atribut Bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku Papua dan gambar Burung 
Mambruk sebagai simbol budaya orang Papua.


"Mereka tahu itu. Mereka (DPRP dan MRP) jangan tipu-tipu rakyat Papua dengan 
berbagai argumen dan komentar seolah-olah keberadaan atribut itu adalah hal 
yang biasa. Saya tahu persis sejarah keberadaan Bendera Bintang Kejora dan 
bendera inilah yang akan digunakan sebagai bendera kebangsaan Papua, jika nanti 
merdeka," ujarnya.
Sekadar diketahui, Mathias Tabu yang kini berumur 71 tahun, adalah mantan 
panglima yang juga Presiden TPN/OPM Mamberamo Scotiau Tahun 1963-1982. Dia 
menyerahkan diri dan kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi NKRI pada Tahun 1983.
Selama 19 tahun berjuang di hutan untuk meraih kemerdekaan Papua (OPM), dia 
memiliki wilayah perjuangan di wilayah Kabupaten Jayapura, Sarmi dan Keerom, 
yakni sepanjang Mamberamo-Usku-Ubrub-Senggi-Arso-Muara Tami- Scotiau-Bewani.
Saat itu, jabatan dia adalah Panglima TPN/OPM Kodap (Komando Daerah Perjuangan) 
II Mamberamo-Scotiau. Dia bersama kakaknya Marthen Tabu (Almarhum) di masa 
perjuangan tahun 1970-1980 adalah Panglima TPN/OPM Kodap II dengan pangkat 
Brigadir Jenderal (Brigjen) TPN/OPM.


Semasa perjuangan, Mathias Tabu memiliki anak buah sekitar 800-an, sehingga 
termasuk salah satu tokoh TPN/OPM yang disegani, bahkan masuk dalam daftar TO ( 
Target Operasi) atau orang yang paling dicari TNI pada saat itu.


"Jika adik mau tahu, Mathias Wenda itu dulu adalah anak buah saya. Saya 
berjuang untuk Papua merdeka setelah melihat penderitaan yang dialami rakyat 
Papua. Tapi sekarang saya melihat kondisi Papua jauh lebih baik dan sedikit 
makmur, apalagi katanya Papua banyak uang dari dana Otonomi Khusus," terangnya.


Selama berjuang di hutan, Mathias Tabu dilengkapi dengan persenjataan jenis 
AK-47 yang didapat dari hasil penyerbuan terhadap Pos Yonif 752 di Waris Tahun 
1972. Dalam penyerbuan itu, setidaknya empat anggota TNI tewas dan 5 pucuk 
senjata berhasil dirampas ke hutan. 


Setahun kemudian yakni 1973, kelompok Mathias Tabu kembali menyerang Polsek 
Waris. Dalam aksinya, 12 pucuk senjata milik Polsek berhasil dirampas dan 
menyandera Kapolseknya hingga akhirnya dilepas di perbatas RI-PNG.


"Saya menyerahkan diri setelah membaca brosur-brosur yang disebarkan TNI dari 
udara. Setelah saya baca, saya sadar ternyata perjuangan saya selama 19 tahun 
di hutan hanya sia-sia saja dan tidak ada tanda-tanda Papua Merdeka. Dari situ 
saya menyerah ke TNI dan hidup menjadi anggota warga biasa seperti sekarang 
ini," ungkapnya.


Dalam kesempatan itu, dirinya sekali lagi minta kepada DPRP untuk menghentikan 
segala upaya yang akan melegalkan semua atribut perjuangan OPM menjadi lembang 
budaya Papua. 


DPRP diminta agar lebih fokus pada urusan-urusan kesejahteraan rakyat, membahas 
Perda-perda/Perdasus yang berkaitan dengan pengunaan daya Otsus untuk 
pemberdayaan dan kesejahteraan rakyatnya.


"Yang dibutuhkan rakyat adalah kepekaannya melihat kebutuhan-kebutuhan rakyat 
di kampung-kampung. Katanya Papua memiliki uang triliuan rupiah tiap tahun, 
tapi mengapa rakyat di bawah masih menderita. Terus selama ini uang sebesar itu 
untuk apa?" tandasnya.


Untuk itu, dirinya mengharapkan jangan hanya pejabat yang bisa menikmati uang 
Otsus, tapi rakyat juga memiliki hak untuk menikmati dan merasakan uang 
tersebut.
Mathias menengarai, jangan-jangan uang rakyat itu malah dihambur-hamburkan oleh 
pejabat sendiri untuk pulang pergi ke Jakarta atau ke kota lain dan menginap di 
hotel mewah. Sementara masih banyak rakyat tidur digubuk-gubuk beratapkan daun 
sagu, dan anak-anak masih sulit mengenyam pendidikan, karena biaya sekolah 
semakin mahal. 


"Harusnya itu menjadi tugas DPRP untuk memperjuangankan hak-hak rakyat dan 
mengawasi pengunaan dana Otsus. Jadi masih banyak tugas penting yang harus 
dikerjakan DPRP ketimbang ngurus hal-hal yang tidak seperti itu," kilahnya. 


Ditanya soal aksi pembentangan Bendera Bintang Kejora pada Konferensi Besar 
Dewan Adat Papua (KBDAP), menurut Mathias Tabu, aksi itu sudah menyimpang dari 
kegiatan-kegiatan adat. Karena itu, dirinya mendukung penuh pihak kepolisian 
untuk memproses kegiatan itu, termasuk pengibaran Bintang Kejora di LP Abepura. 


Ditegaskan, rakyat Papua tidak lagi butuh bendera tambahan. Yang dibutuhkan 
adalah kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. Sebab, di Papua yang merupakan 
bagian dari NKRI sudah memiliki Bendera Merah Putih, Lagu Kebangsaan Indonesia 
Raya dan Garuda Pancasila sebagai lambang negara.


Dia juga menghimbau kepada anggota TPN/OPM yang masih berada di hutan, maupun 
digunung-gunung atau di pesisir pantai agar kembali ke pangkuan NKRI untuk 
bersatu guna membangun Papua agar lebih maju dan sejahtera. 


Diakhi wawancaranya, Mathias Tabu kembali meminta kepada DPRP untuk 
menghentikan pembahasan masalah bendera bintang kejora sebagai symbol budaya, 
hai tanahku Papua dan burung mambruk sebagai lambang daerah. Sebab, pembahasan 
itu hanya akan memecah belah rakyat papua yang saat ini hidup damai, rukun dan 
tentram.
Dalam kesempatan yang berbeda, Direktur Elsham (Lembaga Studi Advokasi dan HAM) 
Papua, Aloysius Renwarin SH berharap agar purpaganda soal Bendera Bintang 
Kejora tak dijadikan arena judi kepentingan politik.


Menurut Alosius, terlihat jelas muatan kepentingan yang menjadikan Papua 
layaknya sebuah mainan demi membangun barganning politik antar elite Jakarta. 
"Secara ekonomi, Papua ibarat sebuah koloni bagi Indonesia yang dimamafaatkan 
demi kesejahteraan dan kemakmuran segelintir orang yang berkauasa dan bermodal 
di Jakarta. Dan kami minta stop Papua dijadikan sebagai arena politik," kata 
Aloysius Renwarin kepada wartawan dalam konferensi pers di kantornya, Ahad 
(15/7). 


Berkaitan dengan itu, Elsham menyerukan beberapa poin terkait renteran kejadian 
di Papua. Pertama, meminta pihak kepolisian menghentikan proses penangkapan 
peserta Konferensi II DAP dan kelompok tari Sampari dari Manokwari. 


Kedua, meminta Pemerintah Jakarta membuka ruang dialog untuk menyelesaikan 
masalah Papua secara adil bermartabat yang dimediasi oleh internasional. 
Ketiga, dimohon kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera membubarkan 
segala macam bentuk organisasi Milisi Merah Putih bentukan TNI di seluruh Tanah 
Papua. 
Keempat, diomohon kepada Pemerintah Jakarta, Papua, TNI, Polri dan Organisasi 
Intelijen Indonesia segera menghentikan politik adu domba orang Papua dengan 
Papua, dan orang Papua dengan non Papua. 


Poin kelima, dimohon kepada pihak-pihak yang selama ini memobilisasi massa 
Paguyuban Nusantara untuk menghentikan sentimen ras dan agama. Keenam, stop 
menjadikan Papua sebagai arena politik. Ketujuh, segera menghentikan aksi teror 
dan intimidasi kepada aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan seluruh rakyat Papua. 
Kedelapan, pemerintah pusat (Jakarta) diminta segera menghentikan pengiriman 
pasukan dan menarik semua pasukan non organik dari Tanah Papua. Kesembilan, 
Pemerintah Indonesia harus membuka akses pengamat independen asing ke Papua. 
Dan kesepuluh, Pemerintah RI diminta segera membatalkan Inpres No 5 Tahun 2007. 
"Masyarakat Papua ingin hidup dalam suasana damai, jangan ada oknum-oknum 
tertentu yang ingin menjadikan daerah ini konflik," tandas Aloysius.(mud/ito)


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to