Apakabar bung Basri Adhi,
 
Ulasan anda menjadi bahan renungan untuk pebisnis agar berfikir dua kali
masuk ke bisnis penerbitkan . 
 
Saat ini mungkin sudah lebih dari 300ankoran/majalah yang beredar di pasaran
Jakarta, belum termasuk kelompok free magz. 
Saking ketatnya persaingan, sampai-sampai para agen/pengecer turut serta
dirangkul sebagi bagian strategi penetrasi persaingan pasar.
 
Saya ingin menambahkan satu alasan penting agar  jabaran bung basri menjadi
lebih lengkap.
 
Kedepan, secara nasional, kita punya kalender agenda besar , yaitu PEMILU
Gegap gempita agenda pemilu nanti sangat membutuhkan media yang subjektif,
sebagai bagian propaganda pesan2 politik mereka.
 
Mungkin saja, media yang beredar saat ini, kurang atau tidak dapat mewakili
aspirasi mereka.
 
 
Salute,
Ch
 
           Fs | YM : broercharlie
   HYPERLINK "http://sohoshare.blogspot.com/"http://sohoshare.blogspot.com/


   _____  

On Behalf Of Basri Adhi
Subject: [PROFEC] Ada koran baru mau terbit ?

,_,___ 
Salam,
 
Sabtu lalu, saya melihat ada iklan besar lowongan kerja bertajuk KARIER di
MEDIA, rupanya ada koran baru yang mau terbit di Jakarta.  Barangkali ada
yang tahu ini koran apa atau dari grup siapa.
 
Ramai beredar sas-sus bahwa SCTV akan menerbitkan koran melengkapi tayangan
Liputan 6 nya, lalu juga ramai beredar rumor INDOSIAR melakukan hal yang
sama, lalu TRANSCORP (yang kemudian ternyata memilih berkolaborasi dengan
GRAMEDIA jadi agak musykil menerbitkan koran sendiri)...lalu belakangan
katanya ANTV dengan Karni Ilyas di belakangnya mau menerbitkan koran.  Mana
yang benar? Wallahu alam.
 
Tapi, apapun atau siapaun yang bakalan menerbitkan koran ini, kalau dia tak
punya back up finansial dan SDM yang handal, maka bisa dikatakan dia cuma
menuju gerbang "buang uang"....
 
Saya pernah mengikuti perencanaan penerbitan dan membidani penerbitan
beberapa koran di Jakarta.  Umumnya, para perencana keuangannya melulu hanya
berpatokan pada faktor teknis...cost dan income.  Biaya cetak. biaya
operasonal biaya overhead versus income sirkulasi dan iklan...maka terbitlah
oplah harus sekian, iklan harus sekian.  Pada akhirnya--kebanyaka-n-- koran2
itu kehabisan napas di tengah jalan, karena ada beberapa faktor non teknis
yang lupa (atau tidak masuk pertimbangan) karena minimnya pengetahuan para
perencana itu ...
 
Faktor non teknis itu seperti :
 
1. Jeda waktu komersial karena masa konsolidasi intern.  Kalau ditilik dari
lowongan yang ada, dipastikan semua posisi di dalam tubuh redaksi kosong
(kecuali PEMRED yang tidak dicari).  Artinya, bisa jadi timnya bisa sama
sekali baru, dengan reporter yang --bisa jadi pula -- wajah-wajah baru.
Biasanya akan terjadi kesenjangan antara reporter baru dengan redakturnya
(yang sedikitnya pasti punya pengalaman, walaupun kaang background-nya bukan
di koran).  Persoalan kesenjangan mendasar adalah soal pemenuhan DEADLINE.
Rata-rata kejatuhan koran2 itu karena materi yang terlambat datang ke
percetakan.  Lebih celaka lagi, kalau percetakannya numpang alias bukan
percetakn sendiri...meleset dari kesepakatan dealine beresiko makin telat,
karena slot waktunya terpakai untuk mencetak koran lain.   Belum lagi
membicarakan kesenjangan lain soal visi, misi, gaya pelaporan, gaya
penulisan, flow sistem informasi penulisan hingga penilaian (yang rata2
pemain baru masih pakai manual alis sistem flash disk).  Walaupun tak
kelihatan (karena ada di dalam dapur), faktor ini biasanya SANGAT BERPOTENSI
membuat semua sistem distribusi (yang sebagus apapun) akan gagal, karena
koran terlambat (apalagi koran baru) bukan lagi koran namanya...tapi bungkus
martabak.  Di agen atau pengecer koran ini tak akan sampai di tangan
pembaca.
 
2. Pemahaman redaksi terhadap keseluruhan kerja bagian komersial.  Umumnya
redaktur pendatang baru (palagi yang bukan berasal dari koran) dan para
reporter baru yang fresh graduate mengira pekerjaan mereka selesai pada saat
tenggat terpenuhi.  Padahal tak begitu.  Dengan persaingan yang ketatnya
minta ampun seperti sekarang ini, faktor pemilihan isi yang tepat, headline
yang cocok dengan karakter si koran adalah persoalan maha penting yang
mempengaruhi kerja para pencari pelanggan dan para pencari iklan.  Tim
Redaksi yang old fashioned selalu dengan mudah menyalahkan tim sirkulasi
bila koran tak terlihat di lapangan, tak sampai di tangan pelanggan tepat
waktu atau oplah tak kunjung mencapai target; demikian juga dengan iklan.
Biasanya lingkaran setan ini yang membuat sebuah koran baru juga terjebak
dalam "circle down effect" : yaitu ketika oplah tak kunjung membesar (tapi
retur yang membesar), oplah justru dikurangi, timbullah display di lapangan
payah, pengiklan tak melirik karena koran sulit ditemukan, keuangan makin
payah lalu oplah makin dikurangi...-ujungnya wassalam.
 
3. Hambatan atau perlawanan dari kompetitor.  Terutama di jaringan
DISTRIBUSI.  Bila manajer sirkulasinya tipe koboi tahun 1960-an atau fresh
graduate yang direkrut karena gelas masternya saja, maka bisa dipastikan ini
mempercepat  proses kehancuran sebuah koran.  Jaringan distribusi ibarat
urat nadi, dan kompetitor yang sudah exist tahu betul soal itu.  Repotnya,
belum ada penerbit yang bisa membuat jaringan distribusi sendiri karena
sangat mahalnya biaya (bayangkan, susah lho mencari orang yang mau kerja
tiap hari tanpa libur dari jam 03.00 - 08.00 gak peduli hujan atau
panas...kalaupun ada pasti minta gaji gede).  Bila kompetitor sudah mulai
bergerak. maka tidak melulu cuma insentif yang diberikan kepada agen atau
pengecer, tapi juga tekanan untuk tidak dikirim produk.  Ini yang menakutkan
para agen...
Mensikapi sistem insentif, bagi pemain baru yang punya back up keuangan
cukup sih barangkali tak jadi masalah....tapi buat penerbit dengan uang
pas-pasan pasti ini jadi problem (dan hampir dipastikan, biasanya ini tidak
masuk dalam perencanaan keuangan).  Apalagi menghadapi tekanan distribusi di
tingkat agen.... 
 
4.  Di Jakarta, hampir bisa dikatakan semua percetakan koran sudah "penuh".
Bukan persoalan mudah menumpang cetak di percetakan2 itu, serta umumnya
percetakan itu milik grup mereka sendiri yang notabenen menerbitkan koran
juga.  Kecuali mau invest untuk bikin percetakan sendiri, maka lain
persoalan.  Persoalan yang dihadapi dengan numpang cetak adalah slot waktu
yang disediakan terbatas...umumnya slot yang tersedia sudah lewat dari prime
time...yang membuat koran baru pasti telat.  Padahal, tuntutan dari jaringan
distribusi untuk koran baru adalah kedatangannya yang lebih bapgi ketimbang
kompetitor yang sudah eksis...ini boleh dibilang tak bisa ditawar.  Repotnya
lagi, koran2 besar seperti Kompas dan Sindo, dengan percetakan mereka
sendiri (yang notabene cukup canggih), bisa membuat koran mereka datang
sebelum jam 03.00 di tangan agen agen.  Ditinggal agen atau
pengecer?...-maka koran baru akan langsung masuk gudang retur !
 
5. . SDM yang direkrut pas-pasan.  Tidak mudah mencari tenaga yang bisa
menggerakkan koran menjadi besar saat ini.  Di Redaksi, bajak-membajak
adalah hal yang jamak dilakukan.  Posisi tawar yang tinggi, membuat gaji
redaktur berpengalaman akan makin mahal.  Kecuali, ngakunya pengalaman tapi
berasal dari koran2 kelas kambing dengan oplah di bawah 30.000 per hari.
Kalau sebagian besar model begini yang direkrut maka bisa dipastikan si
koran baru juga bakalan bernasib sama.  Belum lagi mencari tenaga pemasaran
yang handal, terutama di sirkulasi dan distribusi sebagai ujung tombak
pendobrak.  Untuk tenaga ini tak ada sekolahnya..-.yang berpengalaman sulit
dicari yang "bersih" rekord-nya.  Tanya saja ke agen, maka agen akan
membeberkan daftar black list para sirkulator media cetak.  Belum lagi,
manager sirkulasi yang punya pengalaman menerbitkan koran baru dengan kelas
oplah di atas 50.000 dan pernah menghadapi tekanan kompetitor seperti
Kompas...satu dari seratus berangkali.
Persoalan lain, ya...iklan.  Tingkat "perpindahan" orang iklan cukup tinggi,
harga mereka jadi mahal.  Lagi-lagi lain urusannya kalau asalnya dari koran
yang iklannya asal tembak atau injak kaki...yang ada, si koran baru akan
juga terima image yang sama seperti si orang tersebut   
 
Manajemen yang tak bisa cepat memahami kesalahan itu akan cenderung membuat
koran terperosok makin dalam.  Duitnya makin lama makin habis, biaya promosi
makin bengkak...tapi kinerja tak kunjung membaik (internal dan eksternal).
Akhirnya, biasanya keputusan panik seperti mengurangi halaman, memperkecil
ukuran, banting harga....smpai mengurangi gaji (dan at lasti mengurangi
orang alias PHK) akan dilakukan.  Tidak ada jaminan yang berpengalaman tak
mengalami ini...liat Koran Tempo atau kalau kasus koran baru ya...Jurnal
Nasional misalnya.
 
Tapi, show must go on.  Pilihan ada pada "yang punya duit"  sadar
duluan....atau terperosok belakangan (karena sadarnya belakangan).  
 
Wassalam, 
 
 
Basri Adhi
HYPERLINK "mailto:[EMAIL PROTECTED]"[EMAIL PROTECTED]
Veteran tukang koran


Internal Virus Database is out-of-date.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.476 / Virus Database: 269.10.0/887 - Release Date: 7/5/2007
1:55 PM



Internal Virus Database is out-of-date.
Checked by AVG Free Edition. 
Version: 7.5.476 / Virus Database: 269.10.0/887 - Release Date: 7/5/2007
1:55 PM
 

Kirim email ke