http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=314437
Selasa, 27 Nov 2007, Golkar Mengukuhkan Bad Governance Oleh Laode Ida Hasil rapim Golkar tanggal 22-25 November 2007 kurang memperhatikan aspek good governance yang seharusnya ditekankan kepada seluruh kader Golkar yang berperan di legislatif, eksekutif, maupun para pengusahanya. Rapim Golkar hanya lebih berkonsentrasi pada bagaimana posisi diri dalam Pilpres 2009. Padahal, itu (aspek good governance, Red) bisa sekaligus dijadikan agenda kampanye dalam menghadapi pilpres maupun pemilihan legislatif, untuk mengubah persepsi publik dari parpol Orde Baru dengan berbagai catatan hitamnya ke parpol Golkar Baru yang reformis. Kecenderungan seperti itu (kurang memperhatikan aspek good governance, Red) pada tingkat tertentu semakin menguatkan kesimpulan dari sejumlah aktivis reformasi yang tetap konsisten bahwa Golkar makin menunjukkan karakternya yang tak bisa diharapkan lebih banyak lagi dalam upaya melakukan berbagai perubahan untuk perbaikan rakyat dan bangsa ini dalam arti sesungguhnya. Dengan demikian, pernyataan politik yang dikemukakan dan sekaligus menjadi kampanyenya di awal reformasi bahwa yang ada sekarang adalah "Golkar Baru" tak lebih dari slogan yang membohongi rakyat. Sebab, praktiknya masih seperti dulu-dulu saja. Dari berbagai fenomena yang dikaitkan dengan kebijakan dan sikap para fungsionaris partai berlambang pohon beringin itu, sangat sulit dikatakan bahwa kebijakan politik serta para kadernya yang berperan dalam proses pengambilan dan eksekusi kebijakan secara nyata bisa menjamin tercapainya agenda reformasi, berupa terwujudnya praktik pemerintahan yang bersih dan berorientasi kepada kepentingan rakyat. Yang terjadi justru kecenderungan sebaliknya. Yakni, memapankan praktik bad governance dengan memerankan berbagai kader atau fungsionarisnya yang berperan pada posisi-posisi strategis. Eksistensinya sebagai parpol dengan kursi terbanyak di parlemen, baik nasional (DPR) maupun sebagian daerah (DPRD) yang diperkuat dengan kedua pimpinan (ketua umum Jusuf Kalla/JK dan wakil ketua umumnya Agung Laksono), terkesan dimanfaatkan dalam wujud "aji mumpung" untuk memapankan posisi konservativisme atau enggan menerima berbagai upaya reformistik. Beberapa kadernya, misalnya, yang menghadapi masalah hukum atau melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di level nasional maupun daerah, diberi perlindungan politik. Tepatnya, "solidaritas separtai" terasakan sekali mengalahkan orientasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Celakanya, praktik-praktik seperti itu juga ditiru atau dijadikan kebiasaan bersama oleh umumnya parpol atau politisi di Indonesia sehingga menjadikan kejahatan atau mafia politik sulit terberantas. Karena itu, tidak heran kalau praktik-praktik kotor politisi yang sempat terbongkar ke permukaan, termasuk pengguna dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DPK) di masa pemerintahan Megawati dan juga yang menerima dana Bank Indonesia (BI), sulit dibongkar. Mereka saling melindungi. Pihak penegak hukum yang terkait pun tak bisa berbuat apa-apa akibat tekanan politik yang sangat kuat, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani kasus dana DKP sudah menyerah dengan alasan kesulitan menelusurinya. Padahal, nama-nama penerimanya sudah jelas dan mantan Menteri DPK Rokhmin Dahuri sudah dijatuhi hukuman alias berada di penjara. Dibaca Masyarakat Tetapi, fenomena seperti itu perlahan dibaca masyarakat. Mereka memberikan penilaian tersendiri, termasuk diekspresikan dalam pemilihan kepala daerah. Dengan kata lain, sebenarnya sudah terjadi perlawanan sosial atas kejahatan politik yang begitu kuat ditopang oleh penguasa. Para kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) yang sudah dikenal oleh masyarakat sebagai terindikasi korupsi, misalnya, begitu kuat pula memperoleh penolakan dari masyarakat. Karena itu, tidak heran kalau begitu banyak kasus demonstrasi dari masyarakat lokal yang menuntut pengusutan terhadap kepala daerah, termasuk berupaya ditolak pada saat yang bersangkutan (incumbent) mencalonkan kembali untuk dipilih. Namun, akibat kekuatan jaringan mafia politik pendukung, berbagai tuntutan perlawanan itu bagaikan angin yang berlalu saja. Sangat tidak banyak yang digubris meski indikasinya sangat nyata. Begitu juga terhadap para kepala daerah incumbent yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, begitu kuat ditopang oleh pimpinan dan jaringan politiknya, termasuk secara mudah memperoleh dukungan pendanaan dari kalangan pengusaha yang diuntungkan selama memimpin daerah. Kemiskinan rakyat kerap dimanfaatkan secara baik oleh para politisi, dengan cara memberikan uang atau materi, untuk kemudian dipilih kembali. Sebagian memang berhasil mempertahankan kepemimpinannya, sebagian lagi harus mau menelan pil pahit kekalahan. Hasil pemilihan gubernur/wakil gubernur (Pilgub) Sulawesi Selatan (Sulsel) yang baru saja berlangsung -di mana pasangan calon incumbent terkalahkan- merupakan wujud keberhasilan "penolakan sosial" di daerah-daerah itu. Dalam kaitan dengan Golkar, tentu yang paling menyakitkan adalah hasil Pilgub Sulsel. Soalnya, pasangan incumbent (Amin Syam-Mansyur Ramli alias "Asmara") di tanah Angin Mamiri itu kalah, padahal merupakan calon Partai Golkar dan secara terbuka didukung oleh Jusuf Kalla (JK), wakil presiden sekaligus ketua umum Golkar. Kekalahan pasangan "Asmara" di Sulsel itu tentu merupakan pukulan telak bagi Golkar dan terlebih lagi bagi JK. Soalnya, semua orang tahu bahwa Sulsel merupakan salah satu basis terbesar Golkar di luar Jawa, sekaligus daerah asal JK. Orang mengesankan JK merupakan figur kebanggaan masyarakat "juku eja" itu, sehingga sebelumnya dibayangkan siapa saja yang didukung olehnya pasti akan jadi pemenang. Tetapi, ternyata realita politiknya berbeda. Kekalahan dalam Pilgub Sulsel itu seharusnya dijadikan bahan evaluasi bagi Golkar dan JK sendiri. Pertama, kebijakan dan perilaku para politisi Golkar seharusnya dikoreksi secara mendasar karena ternyata sudah melawan harapan rakyat dan agenda reformasi. Partai penguasa era Orde Baru itu seharusnya, sekali lagi, dengan slogan "Golkar Baru" seperti yang pernah dikonsepsikan Akbar Tandjung, menjadi pelopor pemerintahan yang bersih. Kedua, pihak Golkar harus menimbang matang pencalonan kembali JK, baik sebagai cawapres maupun (bermimpi) capres. Logikanya sederhana: jangankan bisa memengaruhi dan dipilih oleh rakyat dari daerah lain, masyarakat di kampungnya sendiri saja ternyata sudah tidak patuh lagi. Laode Ida, wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI)