http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/09/taj01.html

Pers Mesti Mawas Diri   



Pers Indonesia lahir dari kancah perjuangan, atau dengan kata lain mempunyai 
peran dalam mewujudkan kemerdekaan. Suatu pertanyaan klise yang muncul kemudian 
adalah apa yang seharusnya dilakukan pers dalam mengisi kehidupan berbangsa dan 
bernegara pasca kemerdekaan?


Peran pers bersifat universal yakni menjadi mitra pemerintah dan sekaligus 
melakukan fungsi pengawasan. Peran ini tumbuh subur pada negara-negara yang 
menganut sistem politik yang demokratis.
Pemerintah tidak dapat membekukan izin terbit karena bertentangan dengan 
prinsip-prinsip demokratis, tetapi pers tetap dituntut untuk turut bertanggung 
jawab. Tuntutan itu antara lain datang dari pembaca. Inilah tuntutan yang tidak 
bisa dikesampingkan.


Dewasa ini masih ada negara-negara yang tidak memberi kebebasan secara 
semestinya kepada pers, baik cetak maupun elektronika. Negara-negara ini 
biasanya mempunyai pemerintahan yang menilai pers atau media menjadi sumber 
destabilisasi hingga berpotensi menghambat jalannya pemerintahan. Pengekangan 
pemerintah terhadap media sebenarnya sudah tidak efektif lagi. Kemajuan 
teknologi informasi yang begitu cepat membuat jarak tidak menjadi masalah. 
Suatu berita berkat perangkat berteknoligi informasi tinggi dapat diketahui 
khalayak di tempat lain yang jauhnya beribu-ribu mil.


Baru-baru ini terbetik kabar betapa tidak berdayanya penyembunyian fakta. Para 
anggota masyarakat saling mengirimkan pesan singkat (SMS) hingga fakta itu 
diketahui tidak hanya satu orang melainkan jutaan orang yang tak secara 
langsung menyaksikannya. Kondisi ini membuat pemerintah akhirnya mengakui 
adanya fakta tersebut. Pada negara-negara yang menganut sistem politik yang 
demokratis, telah terbentuk suatu saling pengertian. Media telah menjadi tempat 
untuk menyebarkan luaskan kebijaksanaan pemerintah. Supaya kebijaksanaan itu 
dimengerti dan difahami rakyat.


Sebaliknya, media juga menjadi tempat bagi masyarakat untuk menyampaikan 
aspirasinya atau uneg-unegnya. Aspirasi ini bisa disampaikan kalangan 
intelektual, akademisi atau bahkan rakyat jelata.
Sampai disini, media merupakan tempat pertemuan aspirasi masyarakat maupun 
pemerintah, antara obyek dengan subyek. Perjumpaan antara yang memimpin dan 
yang dipimpin. Pertemuan antara yang membuat dan menjalankan kebijaksanaan 
dengan mereka yang mempunyai fungsi mengawasi Tak bisa disangkal, media juga 
punya pandangan sendiri. Pandangan yang kerap dicerminkan dalam isi tajuk 
rencana, pemilihan berita, pemilihan nara sumber, cara penyajian maupun foto. 


Pandangan media inilah yang membuat media yang bersangkutan dinilai mempunyai 
identitas atau ciri. Ada media yang mempunyai yang kental dengan identitas 
bisnis, kuat dengan warna politik atau percampuran diantara keduanya. Ada media 
yang pro pemerintah dan yang beroposisi. Lantaran lahir pada kancah 
kemerdekaan, maka idealisme mau tidak mau tetap ada. Maka ketika terjadi 
perselisihan dengan negara tetangga, idealisme itu muncul dengan kuat. Sikap 
yang bersendikan nasionalisme menghambur ke permukaan.


Media harus mempunyai idealisme, bukan hanya idealisme yang dihadirkan ketika 
terjadi konflik namun juga terasa keberadaannya pada persoalan-persoalan yang 
dirasakannya merusak tatanan nasional. Persoalan itu bisa berbentuk korupsi, 
penyalahgunaan wewenang hingga perusakan lingkungan. Media wajib menghadirkan 
fungsi pengawasan secara kritis dengan terlebih dulu melihat permasalahan dalam 
konteksnya secara utuh. Dari situlah muncul tinjauan secara kritis dan 
mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi.


Masyarakat berhak mengetahui ada apa dibalik berita dengan sejelas-jelasnya 
hingga memahami persoalan yang sebenarnya. Tanpa bermaksud lain, media memang 
memiliki juga fungsi pembelajaran kepada pembacanya, dalam artian juga 
masyarakat luas.


Pers Indonesia mengalami kebebasan sejak era reformasi 1998, setelah 
terkungkung selama masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Presiden Soeharto 
ketika itu merasa tengah menjalankan tugas suci yakni melaksanakan pembangunan 
hingga mesti meminimalisir kebebasan mengutarakan pendapat. 


Belakangan ini muncul kegelisahan yang selayaknya membuat kalangan pers mawas 
diri. Sistem politik yang demokratis dianggap tidak membawa Indonesia ke arah 
atau tempat yang dibayangkan, Demokrasi tidak dimanfaatkan untuk kepentingan 
nasional, melainkan kepentingan kelompok atau perorangan. Entah kepentingan 
yang bermotif kekuasaan atau ekonomis.


Pers dinilai larut dalam suasana demokrasi hingga malah menikmati keleluasaan 
itu, tanpa mempedulikan kepentingan dalam arti yang lebih luas. Telah muncul 
arogansi pada kalangan pers.Tidak berlebih bila pers mesti melakukan 
introspeksi dan merenungkan kembali perannya dengan mengutarakan pandangan yang 
kritis namun demi kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat.


Kini waktu yang tepat bagi pers untuk menggelorakan idealisme di tengah 
kerapuhan. Bukankah negara kita tengah mengalami kesulitan yang tak terperi dan 
berulang-ulang ? Bencana demi bencana terjadi. Aspek internasionalisasi sudah 
merasuk kemana-mana hingga menimbulkan ketergantungan eksternal. Para elite 
secara tidak sehat berselisih pendapat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam. 
Kesemuanya itu berkembang ke arah yang mencemaskan. Jangan lupa pers berada di 
dalamnya.

Kirim email ke