Refleksi: Untuk membuat tenaga listerik dari berbagai sumber harus juga diikut 
sertakan dengan ada pendidikannya  yang meluas dan bermutu guna bisa 
menjalankan  dan pemeliharaan dengan baik, tetapi kalau cuma tindis knop saja, 
akan  tetap kedip-kedip lampu dan cepat rusak. Lantas bukan saja tidak 
mencukupi kebutuhan , tetapi harus cepat  beli baru lagi. 

Sayangnya listrik yang dibicarakan ini hanya untuk daerah terntu saja, bukan 
untuk menyeluruh. Seorang pembangkit dan rpemimpin  revolusi  sosial di salah 
satu negara menyatakan  bahwa "listerik adalah dongkrak kemajuan".   Kalau 
untuk kemajuan  di Indonesia  berazaskan  ilmu gurun pasir dengan pelita saja 
sudah cukup.

 http://www.poskota.co.id/redaksi_baca.asp?id=785&ik=31


Harapan Baru dari Sampah dan Angin 

Sabtu 26 Juli 2008, Jam: 8:47:00 

Pemerintah kini tengah berupaya keras untuk mendapatkan pinjaman sedikitnya Rp 
10 triliun untuk membiayai pembangunan proyek pembangkit listrik 10 ribu 
megawatt. Keberadaan pembangkit listrik ini merupakan keharusan untuk 
meningkatkan kemampuan pasokan daya dari pembangkit-pembangkit listrik yang ada 
sekarang. Tanpa ada pembangkit listrik 10 ribu megawatt, tak berlebihan bila 
dalam waktu dekat negeri kita akan berubah menjadi 'Republik Gelap Gulita.' 

Di luar upaya mencari pinjaman, PT PLN juga tengah berencana menerbitkan 
obligasi internasional (global bond) senilai Rp 10 triliun. Dana sebesar itu, 
yang ditargetkan mulai bisa digalang pada akhir tahun ini, akan digunakan untuk 
belanja operasional dan belanja modal agar kinerja PLN bisa ditingkatkan atau 
minimal dipertahankan dalam menghadapi krisis listrik. 

Kedua situasi di atas memberi gambaran kepada kita betapa persoalan listrik 
menjadi beban yang teramat berat. Siklus sederhana yang mestinya gampang 
dipahami, yakni hubungan timbal balik antara peningkatan ekonomi dan naiknya 
kebutuhan listrik, ternyata gagal diantisipasi sejak jauh hari. Krisis itu 
diperparah oleh krisis BBM dunia karena sebagian besar pembangkit listrik yang 
kita miliki memang digerakkan oleh BBM atau sumber-sumber energi fosil lainnya, 
seperti batubara. Sangat kecil daya listrik yang dihasilkan dari sumber panas 
bumi, air, dan energi alternatif lainnya. 

Di tengah situasi seperti itu, kita berharap banyak pada proyek-proyek 
pembangkit listrik dengan sumber energi alternatif. Pengelola Tol Cipularang, 
misalnya, kini tengah mengkaji untuk memasok kebutuhan listrik lampu penerang 
jalannya dari energi angin. Dalam bayangan kita, turbin-turbin angin akan 
dipasang di kanan kiri jalan bebas hambatan yang menghubungkan Jakarta-Bandung 
tersebut. Dengan kecepatan angin tiga meter per detik (konon ini kecepatan 
angin terendah di lokasi tersebut) turbin bisa menghasilkan listrik dengan 
harga Rp 2.000,- per KwH. Bila kecepatan angin lebih tinggi, mencapai enam 
meter per detik, maka harga listrik turun menjadi Rp 1.500,- per KwH. Ini semua 
masih lebih murah bila dibandingkan dengan harga listrik PLN yang saat ini 
ditetapkan pemerintah berkisar Rp 3.000,- per KwH. 

Kabar lain yang juga menumbuhkan harapan adalah rencana Pemerintah Kota Bandung 
membuat listrik dari hasil pembakaran sampah. Untuk memudahkannya, dalam tahap 
sosialisasi disebut dengan pembangkit listrik tenaga sampah. Secara sederhana, 
prosesnya adalah sampah dikumpulkan lalu dibakar sehingga menghasilkan gas 
murni. Gas murni ini dikemas dan dijual ke PLN untuk menjadi energi penggerak 
turbin pada pembangkit listrik tenaga uap. 

Gagasan tersebut layak dikaji untuk kota-kota besar di Indonesia yang selama 
ini kewalahan menghadapi volume sampah. Di kota-kota besar lain, seperti 
Singapura, Sydney, Hongkong, sampah telah diolah untuk turut membantu mengatasi 
krisis listrik. Rakyat menunggu, seberapa seriuskah pemerintah dan pihak-pihak 
terkait merepons gagasan-gagasan tersebut

Reply via email to