Amien .....
--- On Thu, 8/21/08, Aditias Suyasninto <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Aditias Suyasninto <[EMAIL PROTECTED]> Subject: Re: CiKEAS> “I cried for my brother six times” ( dr milis tetangga ) To: CIKEAS@yahoogroups.com Date: Thursday, August 21, 2008, 3:43 AM iya ivonne... cinta yg tulus.... begitu mulia.... oh Tuhan... semoga cinta yg tulus... membawa bangsaku menjadi manusia yg berkemanusiaan.. salam -adit- 2008/8/21 vonny vitawati <[EMAIL PROTECTED]>: > > > -Note. : cerita ini udah aku baca ber kali2 .. tp tetep aja klo baca lagi > aku nangis . > > > Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi > hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka > menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda > dariku. > > Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di > sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri ima puluh sen dari laci > ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di > depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. > > "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut > untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau > mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" > > Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku > mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya! " Tongkat > panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya > sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. > Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu > sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan > kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu > pencuri tidak tahu malu!" > > Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh > dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan > malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup > mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi > sekarang. Semuanya sudah terjadi." > > Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian > untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih > kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku > ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. > > Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke > SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke > sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, > menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. > > Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu > baik…hasil yang begitu baik…" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan > menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya > sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan > berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca > banyak buku." > > yah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau > mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti > mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan > begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. > Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang > membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan > sekolahnya, kkalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan > ini." > > Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke > universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku > meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang > yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan > secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. > Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." > > Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air > mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. > Aku 20 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang > yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi > konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) . > > Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan > memberitahukan, " Ada seorang ppenduduk dusun menunggumu di luar sana !" > Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan > melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan > pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku > kamu adalah adikku?" > > Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka > pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan > menertawakanmu? " Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku > menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam > kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa > pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu." > > Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia > memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis > kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak > dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku > dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23. > > Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah > diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku > menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan > begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil > tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk > membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia > terluka ketika memasang kaca jendela baru itu." > > Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus > jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan > mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak > sakit.. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu > berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja > dan…" Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku > memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, > adikku 23, Aku berusia 26. > > Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku > mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka > tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak > akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, > "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." > > Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan > pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku > menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja > reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah > kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. > > Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya > menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah > harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, > luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" > > Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan > kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. > Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan > dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku > yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" > > "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia > berusia 26 dan aku 29. > > Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari > dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya > kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan > berpikir ia menjawab, "Kakakku." > > Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak > dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang > berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi > ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung > tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu > saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu > gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang > sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya > akan menjaga kakakku dan baik kepadanya." > > Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya > kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, > orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan > yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata > bercucuran turun dari wajahku seperti sungai. > > Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times" > > rgds > > ivonne > > ________________________________ > > ------------------------------------ _________________________________________________________________ www.kpk.go.id ||| [EMAIL PROTECTED] _________________________________________________________________ (^_^) ~ Bila Kejagung sudah menyerah, mengapa harus KPK ~ (^_^) Yahoo! Groups Links