http://www.radartimika.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=16893

Rabu, 11/03/2009 | 02:11 (GMT+9)

Profil Jenderal Kurir Supersemar
Oleh Asvi Warman Adam *

Pada 11 Maret 1996, tiga jenderal (Basoeki Rachmat, Jusuf, dan Amir Machmud) 
pulang ke Jakarta setelah bertemu Presiden Soekarno di Istana Bogor. Terkesan, 
mereka seolah-olah hanya ''kurir'' yang membawa surat perintah yang ditujukan 
kepada Jenderal Soeharto. Namun, secara faktual, mereka berperan jauh lebih 
besar karena penyerahan surat tersebut terjadi setelah melalui perundingan yang 
cukup alot. 

Mengapa tiga jenderal itu yang diutus ke Bogor? Mengapa bukan Maraden 
Panggabean? Tentu alasannya karena mereka adalah orang yang dekat dengan Bung 
Karno. 

Tulisan ini menggambarkan peralihan posisi dan dukungan mereka dari Soekarno 
kepada Soeharto. Basoeki Rachmat jelas dipercaya Bung Karno karena selepas 
menjadi atase militer di Australia 1959, dia dipercaya menjadi kepala staf 
Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) di bawah Presiden Soekarno. Setelah itu, 
dia menjadi panglima Kodam Brawijaya Jawa Timur. Februari 1966, dia diangkat 
menjadi menteri urusan veteran dalam Kabinet Dwikora (yang disempurnakan) 
sambil merangkap rektor Universitas Bung Karno Cabang Surabaya. 

Menurut Achadi, mantan menteri era Soekarno, Brigjen Jusuf ditugasi menjadi 
rektor Universitas Bung Karno Cabang Makassar dan Amir Machmud memimpin 
Universitas Bung Karno Cabang Banjarmasin.  Brigjen Jusuf menjadi menteri 
perindustrian ringan sejak Juni 1965. Bahkan, Rosihan Anwar dalam sebuah 
artikelnya pernah mengungkapkan tentang upaya Presiden Soekarno mengangkat 
Jusuf sebagai wakil perdana menteri (Waperdam) ke-4 yang ditentang Jenderal 
Yani, sehingga melahirkan apa yang disebutnya sebagai ''mosi tidak percaya'' 
tentara terhadap Bung Karno, Agustus 1965. Kasus itu hampir tidak pernah 
terdengar dan perlu dicek ulang dengan sumber lain.

Memperlihatkan 
Peristiwa seputar Gerakan 30 September memperlihatkan jati diri ketiga jenderal 
itu. Jusuf termasuk anggota rombongan Indonesia yang pergi ke Beijing menjelang 
Hari Nasional Republik Rakyat Tiongkok, 1 Oktober 1965. Acara peringatan itu 
berlangsung meriah. Beberapa jam kemudian, dari pihak tuan rumah, mereka 
beroleh informasi, di Jakarta ''terjadi suatu gerakan untuk menyelamatkan 
Soekarno''. 

Secara naluriah, Jusuf memutuskan pulang malam itu juga ke Indonesia, sebagai 
dituturkan dalam biografinya yang terbit setelah dia meninggal. Karena tidak 
ada jadwal penerbangan saat itu, dia berdua dengan rekannya naik kereta api 
secara bersambung dari Beijing menuju Guangzhou yang berjarak lebih dari 2.000 
km selama dua hari satu malam, lalu menyeberang ke Hongkong. Dari Hongkong, 
dengan naik Pesawat Garuda yang bertolak dari Tokyo, mereka sampai di Jakarta. 
Pengalaman tersebut cukup dramatis. 

Walaupun kunjungannya ke RRT sebagai anggota kabinet, sesampai di Jakarta, 
Jusuf tidak melapor kepada Presiden Soekarno. Namun, dia langsung menemui Mayor 
Jenderal Soeharto. Tidak sempat berganti pakaian, dari Bandara Kemayoran, dia 
langsung ke markas Kostrad. ''Karena pertama-tama saya adalah anggota TNI,'' 
ujarnya. Dia langsung menyatakan kesediaannya mendukung tindakan yang diambil 
Mayjen Soeharto. 

Pilihannya tersebut ternyata tidak meleset. Dalam biografi Jusuf disebutkan 
bahwa dia satu-satunya pejabat Indonesia yang berangkat ke RRT menjelang 1 
Oktober 1965 yang tidak diinterogasi aparat keamanan setelah pulang ke Jakarta. 
Jusuf kemudian merangkap menteri perindustrian kabinet Soekarno dan anggota tim 
bidang politik Soeharto. 

Jendral Basoeki Rachmat adalah tokoh yang diangkat menjadi pahlawan nasional 
hanya berselang sehari setelah meninggal pada 1969. Itu menunjukkan eratnya 
persahabatan Soeharto dengan Basoeki Rachmat. Bahkan, ketika meninggal, 
Soeharto melayat dua kali dalam sehari ke rumah Basoeki Rachmat. 

Namun, Basoeki Rachmat juga perwira yang dipercayai Bung Karno. Setelah pulang 
dari menjabat atase militer di Australia 1959, dia ditunjuk menjadi kepala staf 
Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) di bawah Presiden Soekarno. Pada 1962, dia 
diangkat menjadi Pangdam Brawijaya Jawa Timur. 

Pada 27 September 1965, terjadi demontrasi yang dilakukan GOW (Gabungan 
Organisasi Wanita), termasuk Gerwani, terhadap Gubernur Jawa Timur Kolonel 
Wiyono. Aksi menuntut penurunan harga beras itu berlangsung ricuh. Dalam 
biografi Basoeki Rachmat yang ditulis Dasman Djamaluddin, disebutkan tujuan 
demontrasi perempuan itu konon kabarnya untuk ''menangkap gubernur, kemudian 
diarak keliling kota dan selanjutnya dibunuh''.

Ke Jakarta 
Pangdam Basoeki Rachmat tidak berada di tempat karena sedang melakukan latihan 
militer di luar kota. Setelah kejadian tersebut, 30 September seusai salat 
asar, Pangdam berangkat ke Jakarta dengan Pesawat Dakota. Pada malam pukul 
20.00 tanggal 30 September 1965, Basoeki Rachmat melapor kepada Menpangad 
Jenderal A. Yani di kediamannya di Jakarta. Tentu dia melaporkan perkembangan 
situasi politik dan keamanan di Jawa Timur, walaupun tidak diketahui secara 
rinci rekaman pembicaraan mereka justru beberapa jam sebelum Yani tewas 
ditembak. 

Pada 1 Oktober 1965, dengan berpakaian preman, Basoeki Rachmat bergabung ke 
markas Kostrad. Kecuali satu kompi yang terlibat Gerakan 30 September, Batalyon 
530 Raiders dari Jawa Timur melalui Kolonel Sabirin Mochtar berhasil digiring 
Basoeki Rachmat ke markas Kostrad. Di sana mereka mendapat jatah makanan. 
Basoeki Rachmat baru pulang ke Surabaya pada 4 Oktober 1965. 
Tidak dirinci apa saja yang dikerjakan Basoeki Rachmat selama tiga hari di ibu 
kota dalam suasana yang sangat genting tersebut. Setelah itu, dia diangkat 
menjadi staf khusus Menpangad Soeharto. 

Ketiga jenderal yang dibicarakan tersebut adalah perwira yang memiliki naluri 
kuat dan mampu bertindak strategis. Jelas mereka dipercayai oleh Bung Karno. 
Basoeki Rachmat dan Jusuf menjadi anggota kabinet. Tidak mungkin Amir Machmud 
menjadi Pangdam di ibu kota bila dia tidak disukai oleh Presiden Soekarno. 
Walaupun kemudian, Amir Machmud pada 1968 selaku Pangdam/Pepelrada Jaya pernah 
mengeluarkan surat perintah agar semua dokter yang merawat Bung Karno 
berhubungan atau di bawah koordinasi Mayor dr Suroyo, seorang dokter umum, 
bukan ketua tim dokter kepresidenan.  Musim berganti, kepercayaan yang 
diberikan Bung Karno mereka alihkan kepada pemimpin baru Jenderal Soeharto. 
Mereka bergeser posisi pada saat yang tepat. 

* Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan 
Indonesia) di Jakarta

 Komentar (0)       Print       Atas









 



 

Kirim email ke