Jalan Neoliberal Pak Bud

Prakarsa Rakyat,
* Oleh: Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM,
Yogyakarta
PIDATO pengukuhan DR Boediono sebagai guru besar ekonomi di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, menarik untuk dicermati. Peristiwa itu tidak
hanya penting karena berkaitan dengan puncak karier seseorang sebagai
staf pengajar perguruan tinggi. Pada saat yang sama, sebagai seseorang
yang sedang menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomi, peristiwa
itu juga penting karena mengungkapkan garis pemikiran Boediono dalam
melaksanakan tugas pemerintahannya.   Pertanyaan besar yang dicoba
dijawab Boediono dalam pidato pengukuhannya itu secara singkat berbunyi
sebagai berikut, apakah kita sudah berada di jalan yang benar? Walaupun
Boediono memiliki latar belakang sebagai ekonom, pertanyaan besar itu
tidak ia ajukan hanya untuk menilai perjalanan perekonomian Indonesia.
Melainkan juga untuk menilai perjalanan perpolitikan Indonesia. Artinya,
secara keseluruhan, pertanyaan besar yang dicoba dijawab Boediono ialah,
apakah secara ekonomi dan politik Indonesia sudah berada di jalan yang
benar?   Dalam menjawab pertanyaan besar itu, Boediono membagi isi
pidatonya dengan mengupas tiga pokok bahasan. Pertama, mengenai sejarah
perekonomian Indonesia. Kedua, mengenai hubungan antara tingkat
pendapatan per kapita dengan demokrasi. Dan ketiga, mengenai kebijakan
ekonomi yang perlu menjadi prioritas Indonesia dalam beberapa tahun ke
depan. Halaman yang dihabiskan Boediono untuk membahas ketiga pokok
bahasan itu meliputi 28 halaman. Sedangkan referensi yang diacunya
berjumlah 24 buah.   Semula saya agak terkesima dengan kepedulian
Boediono terhadap sejarah perekonomian Indonesia. Lebih-lebih, dalam
membahas sejarah perekonomian Indonesia, Boediono tidak hanya
menelusurinya sejak akhir atau awal era pemerintahan Soeharto.   Ia
menelusurinya jauh hingga ke era pemerintahan Soekarno. Walaupun
demikian, setelah mengikuti ulasannya, saya merasa ada sesuatu yang
hilang. Bagi Boediono, sejarah ternyata tidak lebih dari rangkaian
peristiwa. Artinya, selain cenderung mengabaikan dinamika internasional
ekonomi-politik Indonesia, Boediono juga cenderung mengabaikan aspek
struktural yang melatarbelakangi dinamika sejarah.   Dengan
kecenderungan seperti itu, mudah dimengerti bila Boediono cenderung
sangat mudah melupakan era kolonial sebagai bagian integral dari sejarah
perekonomian negeri ini. Padahal, era kolonial ialah bagian teramat
penting dari sejarah perekonomian Indonesia. Ia tidak hanya penting
karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Ia juga penting
sebab aspek ekonomi adalah aspek utama dari kolonialisme.   Sebab itu,
era pemerintahan Soekarno, selain masih terus dirongrong kekuatan
kolonial, harus dipahami sebagai periode saat berbagai upaya sistematis
dengan sadar dilakukan untuk mengoreksi warisan struktural yang
ditinggalkan kolonialisme. Tetapi justru pada titik itulah kekuatan
kolonial, di tengah-tengah situasi perang dingin yang menyelimuti dunia
ketika itu, berusaha keras menelikung Soekarno.   Artinya, berakhirnya
era Soekarno tidak dapat dilihat semata-mata karena krisis ekonomi.
Keterlibatan Amerika Serikat (AS), Dana Moneter Internasional (IMF), dan
Bank Dunia dalam memicu krisis ekonomi Indonesia layak untuk dikaji
secara seksama. *** Logika serupa dapat pula diterapkan untuk memahami
kejatuhan Soeharto. Sebagai antitesis dari pemerintahan Soekarno,
pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan kesayangan kolonial.
Lebih-lebih selama era pemerintahan ini, para ekonom sahabat Amerika
terus-menerus dipercaya untuk menakhodai penyelenggaraan perekonomian
Indonesia.   Namun setelah 32 tahun, di tengah-tengah ketidakpuasan
internal yang cenderung meluas, serta tuntutan liberalisasi perdagangan
yang dilancarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), memelihara
pemerintahan Soeharto mungkin terasa sudah terlalu mahal ongkosnya.  
Dengan latar belakang seperti itu, melihat perkembangan demokrasi
semata-mata dari sudut tingkat pendapatan per kapita jelas sangat
menyederhanakan masalah. Lebih dari itu, demokrasi dalam pengertian
apakah yang dimaksud Boediono? Boediono memang berkali-kali menekankan
demokrasi yang dikembangkan di Indonesia hendaknya tidak hanya demokrasi
prosedural. Secara substansial ia harus didukung dengan mengembangkan
kelas menengah yang mampu mempertahankan kelanggengan demokrasi.  
Walaupun demikian, dari uraian panjang Boediono, sama sekali tidak jelas
demokrasi jenis apa yang sedang dibahasnya. Ini penting saya tegaskan,
sebab dalam pengertian para bapak pendiri bangsa, demokrasi yang hendak
dikembangkan di negeri ini bukanlah demokrasi liberal.   Demokrasi yang
hendak dikembangkan di sini, meminjam ungkapan Bung karno, ialah
sosio-demokrasi, yaitu suatu bentuk demokrasi yang terdiri dari
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sekaligus. Sebab itu, dalam
ungkapan Bung Hatta, 'Jika di sebelah demokrasi politik tidak terdapat
demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka.'   Boediono tampaknya sengaja
mengabaikan amanat yang antara lain tercantum dalam Pasal Undang-Undang
Dasar 1945 itu. Konsekuensinya, bagi saya, yang perlu dicari korelasinya
bukanlah antara tingkat pendapatan per kapita dan demokrasi, melainkan
antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.   Berbagai studi yang
diacu Boediono mengenai hubungan antara tingkat pendapatan per kapita
dan demokrasi, saya kira lebih tepat dipahami sebagai preskripsi, yaitu
untuk memuja pertumbuhan ekonomi dan melancarkan pelaksanaan
agenda-agenda ekonomi neoliberal di negara-negara dunia ketiga.   Dari
sudut pandang yang lain, sesungguhnya bukan krisis ekonomi yang menjadi
batu sandungan demokrasi, melainkan tingkat demokratisasi ekonomi.
Krisis ekonomi, selain bisa direkayasa kekuatan kolonial, hanya akan
menjadi batu sandung demokrasi pada tingkat elite.   Pada tingkat rakyat
banyak, justru demokrasi tanpa demokrasi ekonomilah yang menjadi sumber
malapetaka. Mengapa? Sebagaimana dialami Indonesia saat ini, demokrasi
tanpa demokrasi ekonomi ternyata tidak hanya melahirkan
petualang-petualang politik. Ia menjadi dasar legitimasi bagi
pelembagaan sistem ekonomi pasar neoliberal di negeri ini. Sebab itu,
jika dikaitkan dengan pertanyaan besar yang diajukan dijawab Boediono,
mudah dimengerti bila ia dengan tegas menjawabnya dengan kata-kata,
'ya'. Saya, sesuai dengan perspektif yang saya gunakan di sini, tentu
akan dengan tegas pula menjawabnya dengan kata-kata, 'tidak'.   Dengan
mengemukakan hal itu sama sekali bukan maksud saya untuk menganjurkan
agar Indonesia kembali mengisolasi diri, atau agar negeri ini kembali ke
era pemerintahan otoriter. Yang ingin saya tegaskan ialah prioritas
agenda perekonomian Indonesia ke depan bukanlah pertumbuhan ekonomi
dengan embel-embel yang tersebar sekali pun. Melainkan, sesuai dengan
cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi, melakukan segala upaya untuk
mewujudkan demokrasi ekonomi secepatnya.   Jika dilihat dari sudut
pertumbuhan, terus terang saya lebih menekankan kualitas pertumbuhan
daripada tinggi atau rendahnya angka pertumbuhan. Artinya, embel-embel
yang tersebar saja jauh dari cukup untuk memahami kualitas pertumbuhan.
Pertumbuhan yang berkualitas harus dilihat baik pada segi proses,
keberlanjutan, maupun implikasinya terhadap kemandirian ekonomi
nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tersebar, tidak akan bermanfaat jika
bersifat teknokratis dan memperdalam cengkeraman neokolonialisme.  
Sebagai penutup, ada baiknya saya kemukakan, walaupun saya dan Pak Bud
(demikian saya biasanya menyapa beliau), sama-sama berasal dari Fakultas
Ekonomi UGM, sudut pandang kami dalam melihat perekonomian Indonesia
bertolak belakang 180 derajat.   Khusus mengenai substansi pidato yang
disampaikannya, saya merasa agak kesulitan menemukan pribadi Boediono
yang pada awal 1980-an pernah menjadi sahabat dekat Prof Mubyarto. Yang
terasa menonjol dalam pidato tersebut ialah pribadi Boediono sebagai
sahabat dekat William Liddle, yang menurut informasi yang saya peroleh,
memang turut terlibat sebagai pembahas penulisan isi pidato itu. Akhirul
kalam, saya ucapkan selamat kepada Pak Bud. Semoga perbedaan sudut
pandang ini tidak mengganggu kehangatan persahabatan kita.***

http://www.prakarsa <http://www.prakarsa/>  -rakyat.org/
<http://rakyat.org/>  artikel/fokus/ artikel.php? aid=16091

Reply via email to