http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=63508

      Senin, 06-07-09 | 10:47 | 96 View




      Datangi BIN, KPU Mainkan Teror Politik




      JAKARTA -- Inisiatif Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz 
Anshary menemui Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar Jumat lalu 
terkait dengan potensi gangguan pada hari H pemungutan suara pilpres menuai 
kritik. Langkah ketua KPU itu dianggap sudah keluar dari norma demokrasi dan 
acuan di UU Pilpres.

      "Kalau urusan pengamanan pemilu, KPU seharusnya berkoordinasi dengan 
polisi. UU mengatur begitu," kata Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti 
di Restoran Omah Sendok, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 5 Juli 2009. Dia 
mengimbau agar BIN menolak bila KPU meminta BIN untuk terlibat aktif dalam 
pengamanan pilpres. 

      Menurut dia, BIN yang menjalankan fungsi "mata-mata" bersifat independen. 
Institusi tersebut langsung berada di bawah presiden. Karena itu, BIN hanya 
menerima instruksi langsung dari presiden. "Kalau nanti ini menjadi preseden, 
Komnas HAM atau KPK minta jasa BIN dengan alasan berbagi informasi kan repot," 
tegas mantan aktivis mahasiswa itu. 

      Ray menilai, pertemuan ketua KPU dengan kepala BIN lebih terasa sebagai 
politik teror terhadap proses demokrasi yang sedang tumbuh. "Apalagi masih ada 
kengerian terhadap peran BIN semasa Orba," tegasnya. 

      Jubir Blok Perubahan Adhie Massardi mengatakan, KPU seharusnya 
membersihkan daftar pemilih tetap (DPT) dari data-data pemilih ganda. Bukan 
melindungi diri dengan kawat berduri dan sekarang meminta "perlindungan" BIN. 

      Menurut Adhie, suatu institusi demokrasi yang mengundang keterlibatan BIN 
merupakan kesalahan besar. Tanpa dimintai tolong sekalipun, ungkap dia, BIN 
tentunya akan ikut mengamankan agenda politik dalam negeri sesuai batas 
kewenangan yang diatur undang-undang. "BIN sebaiknya mengingatkan KPU agar 
jangan dipakai sebagai pemadam kebakaran," ujarnya. (pri/agm/jpnn)  

Reply via email to