http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2010/02/08/brk,20100208-224421,id.html


Pemerintah Tak Mau Didikte Kreditur
Senin, 08 Februari 2010 | 20:25 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Pemerintah tak ingin terus-terusan didikte lembaga 
donor (kreditur). Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, 
Armida Alisjahbana mengatakan, pemerintah menginginkan negara atau lembaga 
donor mengikuti tata cara yang telah ditetapkan Indonesia bila ingin memberikan 
hibah ataupun pinjaman luar negeri. 

"Mereka harus menyesuaikan dengan prioritas kita," ujar Armida dalam konferensi 
pers di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin (8/2). Armida pun mengharapkan istilah 
"donor" tak lagi digunakan. Istilah yang lebih pas adalah "mitra pembangunan." 
"Ini karena pemerintah menekankan pada kemitraan yang setara dan kerjasama yang 
lebih erat," kata dia.

Keinginan pemerintah tersebut tertuang dalam Komitmen Jakarta yang telah 
ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia pada 12 Januari 2009 dan diadopsi oleh 
26 mitra pembangunan, diantaranya Jepang, Australia, Belanda, Bank Pembangunan 
Asia (ADB) dan Bank Dunia.

Melalui Komitmen Jakarta, diharapkan pemerintah yang akan memegang kendali 
terhadap dana hibah atau pinjaman yang diberikan mitra pembangunan. "Mereka 
(kreditur) hanya berkontribusi pada program yang sudah kita canangkan. 
Misalnya, mereka ingin membantu dalam pendidikan, atau perubahan iklim, atau 
kemiskinan, maka mereka harus ikut program dan skema kita. Tempat di 
mana-mananya juga sudah kita tentukan," ujar Armida.

Sekretaris Kementeriaan Negara PPN/Bappenas, Syahrial Loethan, mengatakan 
sampai saat ini 40 persen total  hibah dan pinjaman luar negeri masih berupa 
pinjaman dengan persyaratan ketat. Dalam skema ini, meski bunga lunak, biasanya 
kreditur memberikan aturan dan syarat teknis dalam pelaksanaan proyek yang akan 
dikerjakan. Semua teknis pengerjaan proyek diatur kreditur termasuk material, 
desain, dan tenaga kerja.

Namun, untuk dua tahun ke depan, pemerintah menargetkan untuk bisa terbebas 
dari persyaratan ketat sehingga tidak ada lagi aturan yang mengikat, baik dalam 
pinjaman maupun hibah. Ia menekankan bahwa Komitmen Jakarta ini dibuat agar 
mitra pembangunan dapat mengikuti tata cara yang telah diatur oleh pemerintah. 
"Kita bukan berharap pada uangnya, tapi tata cara kita yang diikutin," 
tambahnya. "2012 kita yang ada di depan setir," kata dia

++++

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010021002332973

      Rabu, 10 Februari 2010 
     
      OPINI 
     
     
     
Kedaulatan di Tangan Utang 

      Farid

      Praktisi HRD di sebuah perusahaan di Jakarta dan Sapta Consultan di 
Bandar Lampung



      BELUM lama ini di kampus Universitas Hasanudin Makasar diselenggarakan 
sebuah seminar. Salah satu pembicaranya adalah mantan PM Malaysia, Mahathir 
Mohammad. Dia mengatakan kedaulatan sebuah negara sangat ditentukan pengelolaan 
sumber daya untuk kesejahteraan rakyat tanpa tergantung pada kekuatan asing. 
Negara yang berdaulat tidak gandrung menumpuk utang luar negeri karena tidak 
ingin didikte oleh negara asing.

      Ungkapan itu tentu menohok republik yang kita cintai ini. Karena pada 
kenyataannya sejak merdeka, utang pemerintah kita selalu menunjukan grafik 
naik. Saat ini tercatat sekitar Rp1.300 triliun utang kita. Jumlah yang tidak 
sedikit, karena setiap warga negara Indonesia harus terbebani Rp5,6 juta jika 
diasumsikan jumlah penduduk 230 juta jiwa.

      Memang bisa dikatakan bahwa tidak ada negara berkembang yang tidak 
memiliki utang luar negeri. Mereka belum memiliki kemampuan secara mandiri 
untuk membiayai pembangunan, sehingga mau tidak mau harus bergantung pada 
kreditor luar negeri. Tidak ada yang salah untuk urusan utang ini. Yang keliru 
adalah jika utang lantas menjadi faktor yang mereduksi kedaulatan suatu negara 
jika jumlahnya terlalu besar dan menjerat pemerintah untuk tidak mampu 
melakukan sesuatu yang baik bagi rakyatnya karena dianggap tidak sesuai dengan 
pasal-pasal dalam perjanjian utang.

      Utang tentu akan sangat baik dan memberikan manfaat seluas-luasnya bagi 
kemakmuran rakyat jika utang tersebut dikelola oleh pemerintahan yang bersih. 
Pemerintahan yang menjalankan amanat konstitusi untuk menyejahterakan 
masyarakatnya. Pemerintahan yang memiliki keyakinan bahwa setiap rupiah yang 
mereka kelola harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, dengan segala 
konsekuensi yang diterimanya.

      Tetapi jika utang tersebut berada pada tangan-tangan pemerintahan yang 
korup, cukup banyak contoh negara-negara di Afrika dan Amerika Latin yang 
terperangkap utang luar negeri dan pada akhirnya menjadi sandera negara-negara 
pendonor. Mereka tidak bebas bergerak kemana pun karena harus mematuhi berbagai 
aturan yang tersurat dan tersirat dalam perjanjian utang. Lantas, di manakah 
letak kedaulatan bangsa?

      Kembali ke negeri tercinta kita ini. Dengan jumlah utang sebesar itu, apa 
yang bisa kita perbuat dengan kekayaan alam yang sangat luar biasa, yang tidak 
dimiliki oleh negara-negara lain? Siapa sesungguhnya yang menikmati utang 
tersebut? Apakah setiap warga negara yang dibebani utang Rp5,6 juta itu yang 
mendapatkan manfaatnya? Kalau jawabannya iya, tentu tidak perlu ada 30 juta 
jiwa yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tentu tidak perlu ada angka 
kriminal yang sangat tinggi. Tentu tidak ada lagi gelandangan dan anak jalanan 
yang berkeliaran. Tentu tidak ada lagi demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah 
dan kesejahteraan. Tentu masih banyak tentu-tentu lainnya yang mencerminkan 
bahwa utang dikelola dengan baik.

      Kenyataannya pemerintah masih "nekat" untuk membeli mobil berbandrol 
miliaran rupiah untuk operasional pejabatnya. Masih miliaran rupiah juga untuk 
pemugaran rumah-rumah para petingginya. Lebih miliaran rupiah lagi untuk 
pembelian pesawat kepresidenan. Dengan rasionalitas bahwa hanya Indonesia 
satu-satunya negara besar di Asia yang belum memiliki pesawat kepresidenan, 
bahwa anggaran sudah disetujui oleh DPR, bahwa lebih efisien daripada menyewa, 
pemerintah memaksa untuk segera merealisasikan pengadaan pesawat tersebut. Apa 
yang bisa kita perbuat untuk masyarakat dengan uang muka Rp200 miliar untuk 
pembelian pesawat tersebut? Apalagi jika digabungkan dengan dana renovasi rumah 
dan mobil pejabat. Jadi di mana letak rasionalnya jika masih banyak rakyat kita 
yang sangat kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan yang layak?

      Pada sisi yang berbeda, muncul pertanyaan yang menggelitik. Mengapa kita 
harus terbelit utang padahal kekayaan alam kita sangat besar. Mau bicara 
pertanian, perikanan, pertambangan, perminyakan, apalagi yang kurang. Sungguh 
ironis jika setiap tahun kita harus kehilangan ikan senilai 4--10 triliun 
rupiah karena laut kita dijarah kapal-kapal asing dan kita tidak bisa berbuat 
banyak. Adakah yang lebih ironis daripada kejadian di Kalimantan, di sana 
terjadi krisis listrik padahal pulau itu sumbernya minyak, gas, dan batu bara? 
PLN berteriak kekurangan pasokan bahan bakar, sementara jutaan ton batu bara 
dan gas melenggang bebas ke luar negeri. Itu baru sebagian contoh kecil saja.

      Tidak keliru jika banyak muncul ke permukaan pertanyaan-pertanyaan yang 
bersifat menggugat seperti itu. Karena masalahnya jelas, kita hidup miskin di 
atas bumi yang kaya raya. Tidak ada bedanya dengan ayam mati di lumbung padi. 
Tidak sedikit yang mensinyalir banyaknya campur tangan asing di dalam 
pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Mereka masuk melalui berbagai macam UU 
yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Masuk melalui kontrak kerja. Masuk 
melalui ranah politik. Masuk melalui berbagai pintu yang bermuara pada 
tersedotnya sebagian besar kekayaan alam itu ke pundi-pundi mereka.

      Jika demikian keadaannya masih mampukah kita berdiri tegak membusungkan 
dada, mendongakan kepala berhadapan dengan bangsa-bangsa lain di dunia jika 
segala kebijakan yang kita ambil dikendalikan negara lain. Bukan satu kebetulan 
jika ternyata kekuatan angkatan bersenjata kita semakin melorot. Bukan tanpa 
kesengajaan jika anggaran pertahanan kita tidak pernah tercukupi oleh APBN. 
Dengan pelemahan ideologi, pelemahan angkatan bersenjata, bukankah akan lebih 
mudah lagi bagi siapa pun untuk menguasai kekayaan alam yang melimpah ruah ini. 
Jadi jangan heran jika perusahaan-perusahaan strategis dikuasai asing, 
sementara kita harus puas menjadi office boy dan satpam saja. Juga jangan heran 
jika negara-negara tetangga sering "menggoda" kita di laut dan di udara. Karena 
mereka tahu tanpa ditembak pun pesawat kita akan jatuh dengan sendirinya atau 
kapal perang kita akan tenggelam dengan sendirinya.

      Sekali lagi utang bukan masalah jika dikelola dengan baik oleh tangan 
yang baik untuk menggali sebanyak-banyaknya kekayaan alam kita dan diperuntukan 
bagi kemakmuran rakyat. Yang keliru adalah jika utang menjadi tongkat pemukul 
yang setiap saat bisa dipukulkan ke kepala kita saat kita menjalankan kebijakan 
yang bertentangan dengan kehendak pendonor. Pilihannya adalah mau dipukul 
rakyat atau tongkat pemukul?
     

<<bening.gif>>

Reply via email to