Refleksi: Tentu saja kita sadar berteknologi. Tetapi, bukan teknologi dunia 
kafirisme, karena yang terpenting ialah teknologi keselamatan di dunia 
seberang, maka oleh karena itu dengan segenap biaya dan tenaga diadakan 
pendidikan ilmu yang sangat dibutuhkan untuk itu diberbagai pelosok Nusantara.

http://hariansib.com/?p=129633
Masihkah Kita Bisa Sadar Berteknologi ?
Posted in Opini by Redaksi on Juli 7th, 2010 
Oleh: Johnson BS Rajagukguk

Apa ciri-ciri sebuah negara yang sudah maju? Kalau boleh saya menjawab dari 
sudut pandang ilmu sosiologi (sociology behaivour approach) adalah budaya sadar 
masyarakatnya sudah sangat tinggi. Tanpa disuruh apa yang menjadi nilai 
kepatutan publik sudah dilaksanakan. Seperti tidak membuang sampah sembarangan 
tempat, tidak merokok di tempat umum, tidak meludah sembarangan, tidak 
menerobos lampu merah sekalipun tidak dijaga oleh polisi, berbicara yang sopan 
pada semua orang, dan memberikan apa yang menjadi hak orang lain. Sebenarnya 
masih banyak lagi nilai kepatutan publik yang tidak mungkin saya sebut satu 
persatu.


Pada tingkat kesadaran masyarakat kita yang sangat rendah memang sangat rentan 
terhadap berbagai pelanggaran. Misalnya, sekalipun sudah ada tertulis no 
smoking area, masih ada saja masyarakat kita yang merokok Sudah ada rambu-rambu 
dilarang masuk, kita masih masuk. Sudah ada tertulis harap antri, kita berusaha 
merobos. Sudah dibilang arus listrik berbahaya, masih kita main-main di sana. 
Masih banyak lagi contoh yang seharusnya kesadaran kita tanpa disuruh sudah 
seharusnya kita lakukan, tetapi justru kita langgar.


Ini merupakan hal-hal yang terkecil yang menggambarkan betapa sebenarnya kita 
sudah sampai pada krisis moral dan krisis prilaku. Akibatnya keadaban publik 
yang seharusnya kita bangun berubah menjadi ketidakberadaban publik. Mengapa 
sampai bisa terjadi demikian? Inilah yang menjadi renungan bagi kita di 
tengah-tengah klaim kita sebagai umat beragama, klaim bangsa yang bersopan 
santun, klaim bangsa yang berbudaya. Sebenarnya klaim kita selama ini hanyalah 
pepesan kosong yang tidak bisa memberi makna kepada kita.


Akhir-akhi ini kita gempar dan heboh oleh video porno dari beberapa artis yang 
membuat ruang publik kita terasa sakit dan tercabik. Mengapa tidak, video porno 
mirip Luna Maya dan Ariel Piterpan, serta Cut Tari beredar di dunia maya 
(internet) dan sangat mudah diakses oleh publik. Video porno merupakan bentuk 
dari puncak krisis moral. Hal yang paling private bagi diri manusia menjadi 
konsumsi publik dan tidak pantas dari segi kepatutan publik. Segi lagi ini 
menggambarkan bahwa kita tidak pernah membangun budaya sadar. Sadar dalam 
berteknologi dan dalam bidang lainnya. Padahal tujuan teknologi sebagai puncak 
hasil pemikiran manusia adalah untuk menolong manusia dalam menghadapi 
kesulitan hidup yang dihadapinya.


Coba kita lihat revolusi dunia maya di negara kita. Berbeda dengan bayangan 
pemerintah dan mungkin media, Internet Indonesia banyak didorong oleh dunia 
usaha dan content lokal berbasis masyarakat. Ini karena murahnya akses 
RT/RW-net dan broadband unlimited yang tidak sampai Rp 200.000 per bulan, 
bahkan akses di bawah Rp 5.000 per hari melalui seluler! Statistik di Bekas.com 
menunjukkan, akses warnet tinggal 21 persen, sebagian besar (42 persen) dari 
rumah (termasuk telepon seluler), 33 persen kantor, 4 persen hotspor. Hampir 
semua provider dan operator telekomunikasi mengakui bahwa 40-60 persen trafik 
internet didominasi oleh Facebook! Memang bandwidth Youtube mendominasi, 
terutama di Speedy, tetapi di seluler dan lainnya hampir semua didominasi 
Facebook. Data Checkfacebook.com menunjukkan, Indonesia peringkat ke-7 di dunia 
dengan 12 juta pengguna. Bahkan, Indonesia merupakan negara yang paling banyak 
menambah pengguna Facebook di dunia dengan lebih dari 700.000 pengguna per 
minggu! Hal ini dikonfirmasi Alexa (www.alexa.com) yang memeringkat Facebook 
sebagai situs nomor satu di Indonesia.


Tidak heran, Gramedia banyak memajang buku kiat berkiprah di Facebook. Jika 
kita telaah statistik Alexa, Facebook, blogger.com, wordpress.com, dan 
kaskus.us merupakan situs yang banyak diakses Indonesia. Ini menjadi menarik 
karena semua situs tersebut, termasuk Facebook, hanya wadah. Semua isi situs di 
generate oleh pengguna internet, bukan pengelola situs. Bahkan, kaskus.us hanya 
forum diskusi elektronik. Baru sesudah kaskus.us bermunculan situs seperti 
detik.com, kompas.com, dan okezone.com di Alexa. Istilah kerennya user 
generated content ternyata menarik/marak. Pengguna di Indonesia tampaknya suka 
pada berita/content dari pengguna lain, bukan content yang "resmi" dan 
profesional. Hal ini secara tidak langsung menjadi "ancaman" bagi situs berita, 
content provider. Juga ancaman bagi berbagai inisiatif top down untuk membuat 
content lokal yang banyak menjadi proyek di APBN. Merangkul komunitas sebagai 
bagian dari produsen informasi menjadi sangat penting dan strategis. Yang tidak 
kalah menarik, situs jejaring sosial/forum ataupun blog ternyata tidak hanya 
digunakan untuk sharing pengetahuan dan silaturahim.


Menguntungkan
Mengais rezeki di internet menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari 
komunitas informasi. Situs Facebook, kaskus.us, dan bekas.com menjadi 
alternatif wadah mengais rezeki di internet. Caranya pun mudah dan gratis. Kita 
dapat aktif berdiskusi, menawarkan solusi, menempelkan produk di dinding atau 
catatan di Facebook, atau dengan sedikit uang memuat iklan baris di situs 
seperti bekas.com. Dengan 12 juta pengguna Facebook Indonesia, transaksi di 
Facebook menguntungkan. Nama Facebook yang digunakan eksplisit memperlihatkan 
usahanya, seperti Tripti Batik, the Bou-tique, teabag butik, Karina Jualan 
Sepatu, Jual Mobil Bekas, Jual-beli Sepeda, House of Nayza-Butik Kaus Muslimah, 
Butik Anakku, Sepatu Lukis, sepedaku.com. Adanya grup dan fans profile Facebook 
seperti motifbatik (1 juta fans), Aku Cinta Batik Indonesia (40.000 fans), 
Fotografer.net (17.000 fans) menjadi ajang pertemuan dan silaturahim komunitas. 
Penghasilan internet sebagai tambahan sangat lumayan. Pengalaman Lina, seorang 
ibu rumah tangga di Pekalongan, yang aktif di Facebook, dari rumah dapat 
menjual batik Pekalongan dengan keuntungan Rp 1-2 juta per bulan.


Biaya akses internet tertutup, putra-putri tetap terawasi tanpa perlu lelah 
kerja di kantor. Tren ini tampaknya menjadi solusi para ibu untuk berusaha di 
rumah, salah satu komunitas yang besar adalah http:/komunitas.bundainbiz.com 
yang dimotori Ibu Nadia, Ibu Sotya, Ibu Sharah, Ibu Riana, dan Ibu Mia. Selain 
Facebook, kaskus.us forum jual beli merupakan salah satu situs perdagangan 
Indonesia yang paling menarik. Ada 10 barang yang paling diperdagangkan di 
kaskus.us, yaitu action figures, Blackberry Onyx, Sony PSP Go, Sony Digital 
Camera, iPod Touch, HTC PDA Phone, Acer Notebook, Canon DSLR Camera, Motor 
Ninja, dan kaus distro. Cara jual sangat sederhana, penjual posting di forum 
beserta gambar dan harga. Pembeli dapat menawar di forum. Transfer uang melalui 
bank sebelum barang dikirim. Andrew Darwis, salah seorang pendiri kaskus.us, 
menceritakan, edaran uang di Kaskus lumayan. Seorang penjual kamera digital 
dapat memutarkan Rp 100 juta per minggu tanpa stok barang! Barang diambil dari 
distributor saat ada pemesanan.


Memang tidak semua usaha di internet berakhlak, lumayan banyak usaha yang tidak 
berakhlak, seperti foto bugil dan situs porno. Kasus video porno mirip Luna 
Maya, Ariel Peterpan, Cut Tari hanyalah sebagian fenomena kecil dari masalah 
pornografi di dunia internet. Sebenarnya masalah video porno sudah lama di 
internet. Hanya saja karena kebetulan Luna Maya, Cut Tari dan Ariel Peterpan 
merupakan figur publik dan sudah menjadi milik publik tersandung masalah 
pornografi dengan beredarnya video porno yang mirip mereka merupakan bentuk 
dari kesadaran berteknologi kita sangat rendah. Siapapun yang menyebarkan video 
porno itu ke ruang publik melalui dunia maya merupakan bentuk dari puncak 
krisis moral di negara kita. Penyebar video porno itu, apakah yang terlibat 
berhasil menaklukkan moralitas kita. 

Kita gagal membangun budaya sadar berteknologi karena kita tidak pernah tahu 
betapa sulitnya menemukan teknologi informasi. Sang penemu teknologi informasi 
itu tidak pernah bisa membayangkan, dunia maya telah berubah menjadi sarana dan 
fasilitator untuk mempertontonkan kebiadaban manusia. (Penulis adalah: Dosen 
STIE IBBI dan STMIK IBBI Medan/Mahasiswa S2 Pascasarjana MAP Universitas Medan 
Area (UMA) Medan/Koordinator Riset Kebijakan Politik dan Direktur Eksekutif 
PPAI (Public Policy Analisys Institute) Sumut/h)

<<postheaderend.gif>>

Kirim email ke