Saya hanya ingin menarik perhatian para peserta berbagai milis ini
akan diskusi yang berlangsung antara orang-orang Islam: mengerikan!
Mengrikan!
Jusfiq
======================================================
Date sent: Thu, 6 May 1999 17:53:45 +0200
From: [EMAIL PROTECTED]
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: BOUNCE [EMAIL PROTECTED]: Header field too
long (>1024)
> >From [EMAIL PROTECTED] Thu May 6 17:53:41 1999
> Received: from antenna.nl (antenna [194.178.64.33])
> by mancha.antenna.nl (8.8.7/8.8.7) with SMTP id RAA30042
> for <[EMAIL PROTECTED]>; Thu, 6 May 1999 17:52:38 +0200
> Received: from mail02.dataphone.se by antenna.nl with SMTP id AA25438
> (5.67b/IDA-1.5 for <[EMAIL PROTECTED]>); Thu, 6 May 1999
> 19:11:11 +0200
> Received: from dataphone.se (p53d1.du.dataphone.se [212.37.2.116])
> by mail02.dataphone.se (8.9.3/8.9.3) with ESMTP id SAA59724;
> Thu, 6 May 1999 18:06:29 +0200 (CEST)
> (envelope-from [EMAIL PROTECTED])
> Message-Id: <[EMAIL PROTECTED]>
> Date: Thu, 06 May 1999 18:05:35 +0200
> From: Ahmad Sudirman <[EMAIL PROTECTED]>
> Reply-To: [EMAIL PROTECTED]
> X-Mailer: Mozilla 4.04 [en] (Win95; I)
> Mime-Version: 1.0
> To: Ahmad Utomo <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], DPP PAN
> <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
> Subject: AHMAD UTOMO: KHALIFAH ADALAH PENYELESAI SENGKETA.
> Content-Type: text/plain; charset=us-ascii
> Content-Transfer-Encoding: 7bit
>
> http://www.dataphone.se/~ahmad
> [EMAIL PROTECTED]
>
> Stockholm, 6 Mei 1999
>
> Bismillaahirrahmaanirrahiim.
> Assalamu'alaikum wr wbr.
>
> Untuk Akhi Rushdan (Ahmad Utomo) (AS).
>
> Saya ucapkan terimakasih atas tanggapan dan tambahan dari akhi Rusdhan
> (Ahmad Utomo). Semoga usaha kaum muslimin dimanapun berada yang ingin
> menegakkan kembali Daulah Islam Rasulullah dengan Undang Undang
> Madinah-nya mendapat ridha Allah, amin.
>
> Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
> [EMAIL PROTECTED] agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu
> untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung
> tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di
> kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
>
> Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita
> memohon petunjuk, amin *.*
>
> Wassalam.
>
> Ahmad Sudirman
>
> http://www.dataphone.se/~ahmad
> [EMAIL PROTECTED]
>
> ---
>
> Thu, 06 May 1999 03:11:31 -0500 (CDT)
> [EMAIL PROTECTED]
>
> KHALIFAH ADALAH PENYELESAI SENGKETA
> Oleh : Rushdan (Ahmad Utomo)
>
> Assalamu'alaikum wr wb
>
> Secara garis besar, saya sependapat dengan mas Sudirman bahwa dalam hal
> legislasi, kita tidak boleh bermusyawarah ataupun mengambil suara
> mayoritas. Perkenankan saya untuk menambahkan tentang peran khalifah di
> dalam jawaban mas Sudirman.
>
> Secara prinsip, pengambilan
> kebijaksanaan/peraturan/perundangan/legislation sebenarnya tidak
> dilakukan dalam bentuk ijma' dalam bentuk apapun (ijma' ulama maupun
> ijma' ummah). Sebab, kalau prinsip ijma' (konsensus) diambil, secara
> tidak langsung kita berarti mengakui 'suara mayoritas'. hal ini tentu
> bertentangan, karena kita sejak awal sudah setuju kalau suara mayoritas
> tidak mendapat tempat di dalam khilafah islam. Jadi, kalau pun mayoritas
> ulama memfatwakan bahwa suatu perkara X (yang kontroversial yang
> menyangkut hajat ummah dan negara,bukan masalah2 trivial seperti
> memelihara jenggot atau rakaat tarawih) adalah halal tidak berarti perkara
> A kontan menjadi perundangan/kebijaksanaan negara (walaupun fatwa tersebut
> diikuti oleh dalil syara').
>
> Salah satu kaidah fiqh yang terkenal adalah "khalifah adalah penyelesai
> sengketa".
>
> Kembali ke perkara X. Yang saya pahami, khalifah adalah satu-satunya yang
> berhak mengadopsi dalil syara' tertentu untuk dijadikan dasar suatu
> perundangan yang ia tetapkan. Jadi ketika perkara X muncul ke permukaan,
> sang Khalifah memiliki dua pilihan: menggunakan kemampuannya untuk
> berijtihad atau berkonsultasi (bermusyawarah) dengan Majelis Syura (salah
> satu pilar di dalam sistem khilafah).
>
> Pilihan pertama mungkin sudah jelas. Jadi sang khalifah boleh secara
> langsung (tanpa perlu berkonsultasi dengan siapapun) menyikapi perkara X
> dengan berdasarkan kepada dalil2 syara'. Perlu saya tandaskan bahwa sang
> khalifah juga harus siap memberikan penjelasan (dengan nash2 syara')
> ketika wakil majelis syura mempertanyakannya. Hal ini sesuai dengan
> hadith Nabi SAW bahwa kita dilarang memberontak kecuali sang Khalifah
> telah memerintah dengan kufr yang jelas (seperti demokrasi, misalnya).
>
> Pilihan kedua (yang mungkin akan lebih sering terjadi) adalah sang
> khalifah berkonsultasi dengan majelis syura. Biasanya yang terjadi,
> anggota2 majelis syura' akan memberikan opini yang berbeda-beda.
> Perbedaan opini adalah wajar dan wajib dihormati selama opini2 tersebut
> didasarkan oleh nash-nash syara'. lebih jauh lagi, perbedaan juga lahir,
> karena memang metoda penggalian suatu hukm dari nash-nash syara' memang
> berbeda. (itu sebabnya kita memiliki beberapa mazhab). lalu bagaimana?
> Disinilah peran khalifah sebagai penyelesai 'sengketa'. ia akan menimbang
> seluruh opini dari anggota majelis syura, dan menyimpulkan opini mana yang
> paling kuat dalilnya. kalau ia sudah menyimpulkan, sang khalifah akan
> mengambil opini tersebut sebagai peraturan/legislation.
>
> Bisa jadi sang khalifah juga tidak mengambil/mendengarkan opini dari
> majelis syura', kalau ia mempertimbangkan bahwa dalil yang digunakan
> tidak sekuat dalil yang ia (khalifah) sendiri gunakan. hal ini
> disebabkan, mendengarkan opini dari majelis syura adalah sunnah/mandub
> bagi sang khalifah. Namun adalah wajib hukumnya bagi majelis syura dan
> penduduk negara (citizen of the al khalifah) untuk taat terhadap keputusan
> yang telah diambil oleh khalifah.
>
> Jadi memang sangat mungkin kalau khalifah telah mengadopsi dalil
> tertentu dalam mengambil suatu kebijaksanaan, yang mungkin mengakibatkan
> keberatan dalam hal fisik/materi dari ummah. Namun sebagai muslim, ummah
> harus sadar bahwa selama dalil tersebut bersumber dari nash2 syara', ummah
> harus wajib taat (seperti yang difirmankan ALLAH :taatilah ALLAH ,
> rasulNya ,dan ulil amri (yang melaksanakan syariat islam) diantaramu."
> bahkan Nabi SAW pernah bersabda,"berjihad meski dipimpin oleh sang
> khalifah yang dhalim."
>
> Lalu apakah khalifah yang dhalim (dhalim disini tidak berarti memerintah
> dengan kufr, namun memerintah dengan kebijaksanaan yang melahirkan
> kesukaran terhadap ummah) akan dibiarkan oleh ALLAH begitu saja? Nabi SAW
> pernah bersabda bahwa seorang pemimpin yang memberatkan rakyatnya tidak
> akan mencium bau surga.
>
> Bukan main, memang luas sekali wewenang khalifah.
>
> Jadi paparan diatas adalah dalam hal-hal yang sifatnya legislatif.
>
> Ada kalanya, 'suara mayoritas' diambil dalam perkara yang bersifat
> praktis ataupun mubah. Jadi ketika suatu perundangan sudah ditetapkan
> (yang berdasarkan dalil), maka segi pelaksaanaan /eksekusinya boleh
> diambil dengan suara mayoritas. Disini muslim sering bingung membedakan
> antara legislasi/ruling(yang wajib diambil berdasarkan nash syara') dan
> administrasi. Seperti kisah perang Uhud (yang mas juga kutip) sering
> digunakan sebagai dalil oleh para muslim pendukung demokrasi. Padahal
> kalau kita lihat, legislasi perang itu sudah jelas bahwa ALLAH telah
> memerintahkan untuk berjihad, memerangi kaum kuffar. Yang jadi
> pertimbangan adalah segi administrasinya : bagaimana sebaiknya, ofensif
> atau defensif. (dalam kasus uhud, nabi SAW mengikuti suara
> mayoritas--untuk ofensif).
>
> Mudah-mudahan saya tidak membingungkan mas Sudirman.
>
> Insha Allah kita akan terus saling belajar.
>
> Jazakallahu khairan. Barakallahu fiikum
>
> Wasssalamu'alaikum warrohmatulloh wabarakaatuh
>
> Your brother in Islam
>
> Rushdan
>
> -----
>
> Thu, 06 May 1999 03:11:31 -0500 (CDT)
> [EMAIL PROTECTED]
>
> Ahmad Sudirman menulis :
>
> ISLAM TIDAK MENGAJARKAN PEMELUKNYA UNTUK MENETAPKAN DAN MEMBUAT SUATU
> HUKUM HARUS SELALU MELALUI PENGAMBILAN SUARA MAYORITAS SEPERTI YANG
> DIAJARKAN OLEH SISTEM DEMOKRASI BARAT.
>
> Tanggapan untuk saudara Doni Wisnu Bharata, Rafdian Rasyid, Dodi
> Supriadi, Endang, Hafizh dan Edwin Purwandesi (semuanya dari Indonesia).
>
> Dalam kesempatan ini saya akan berusaha untuk menjawab sekaligus
> pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh saudara-saudara diatas pada
> tanggal 30 April, 2 Mei dan 4 Mei 1999, karena kebetulan
> pertanyaan-pertanyaannya itu isinya hampir serupa, yaitu apakah memang
> harus secara eksplisit (jelas) untuk memecahkan persoalan dan membuat
> hukum dalam Daulah Islam Rasulullah dengan Undang Undang Madinah-nya harus
> dikembalikan segala persoalan dan hukum itu kepada Allah dan RasulNya,
> bukan berdasarkan dan diputuskan oleh suara terbanyak dari sebuah majlis
> permusyawaratan?
>
> Baiklah, jawaban saya adalah memang kaum muslimin diseluruh dunia
> sekarang sedang berada dibawah pengaruh sistem Demokrasi Barat yang
> diterapkan oleh hampir semua negara-negara sekuler didunia modern
> sekarang ini. Dimana semua keputusan yang akan menjadi suatu peraturan,
> hukum, undang undang ditetapkan melalui pengambilan suara mayoritas atau
> kalau tidak berhasil, dilakukan melalui jalan kompromi.
>
> Sekarang yang menjadi pertanyaan yaitu, benarkah yang diajarkan oleh
> Islam untuk menetapkan dan memutuskan sesuatu hukum harus selalu melalui
> pengambilan suara mayoritas dan atau melalui jalan kompromi seperti yang
> diajarkan oleh sistem Demokrasi Barat?.
>
> Jawabannya adalah Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk menetapkan
> suatu hukum harus selalu melalui pengambilan suara mayoritas seperti yang
> diajarkan oleh sistem Demokrasi Barat yang diterapkan oleh hampir seluruh
> negara-negara sekuler di dunia sekarang ini.
>
> Islam telah memberikan pedoman dan bimbingan untuk membuat hukum,
> peraturan, undang undang yaitu "..Dan barangsiapa yang tidak memutuskan
> menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
> kafir" (Al Maaidah, 44). "..Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut
> apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim"
> (Al Maaidah, 45). "..Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
> yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" (Al
> Maaidah, 47).
>
> Jadi dalam membuat dan menetapkan aturan-aturan, hukum-hukum,
> undang-undang yang akan diterapkan di Daulah Islam Rasulullah harus
> melalui musyawarah yang didasarkan pada Al Qur'an dan Hadist. Tentu saja
> kadang-kadang tidak dijumpai nas yang jelas, tetapi pada suatu masa telah
> ada kesepakatan (ijma) mujtahidin atas hukum-hukumnya, maka ijma
> mujtahidin itulah yang dipakai. Kemudian kalau memang tidak dijumpai nas
> yang jelas dan tidak dijumpai kesepakatan (ijma) mujtahidin, maka dalam
> hal ini dilakukan ijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan
> meneliti ayat-ayat dan hadist-hadist yang umum serta menyesuaikan dan
> mempertimbangkan dengan perkara yang sedang dibicarakan kemudian diqiaskan
> dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang
> dibicarakan itu.
>
> Sehingga lahirlah ulama-ulama besar yang telah mampu berijtihad untuk
> menetapkan hukum suatu perkara. Sehingga hukum-hukum yang dihasilkan
> melalui ijtihadnya inilah yang melahirkan mazhabnya. Karena itu diantara
> ulama-ulama besar yang berhasil menetapkan hukum-hukum atas sesuatu
> perkara, diantaranya Imam Abu Hanifah (80 H - 150 H) yang lahir di Bagdad
> dengan Mazhab Hanafi-nya yang banyak tersiar di Bagdad, Parsi, Mesir,
> Syria dan Bukhara. Begitu juga Imam Malik bin Anas Al-Ashbahi (93 H- 170
> H) dengan Mazhab Maliki-nya yang menulis kitab Al-Muwaththa yang mazhabnya
> banyak diikuti orang di Tunisia, Mesir, Maroko dan Libya. Kemudian Imam
> Muhammad bin Idris bin Syafi'i (150 H - 204 H) yang lahir di Khuzzah
> dengan Mazhab Syafi'i-nya. Dimana ketika beliau masih berusia tujuh tahun
> sudah hapal seluruh Al Quran diluar kepala dan dalam usia sepuluh tahun
> hafal semua isi kitab Al Muwaththa karya gurunya, Imam Malik. Pikiran Imam
> Syafi'i ini banyak diikuti oleh orang-orang di Pakistan, Mekkah, Aden,
> Yaman, Kurdistan, Mesir, Hadramaut dan Indonesia. Lalu Imam Ahmad bin
> Muhammad bin Hambal bin Hilal dengan Mazhab Hambali-nya yang meninggal
> pada tahun 241 H. Dimana beliau adalah murid Imam Syafi'i. Pengikut mazhab
> Hambali ini banyak di Bagdad dan di Saudi Arabia.
>
> Jadi tidak ada dalam Islam untuk membuat suatu hukum melalui musyawarah
> kemudian diputuskan melalui pengambilan suara terbanyak, melainkan
> peraturan-peraturan, undang-undang dan hukum-hukum semuanya harus
> didasarkan pada Al Qur'an dan Hadist dan kalau tidak ada nas, tetapi telah
> ada kesepakan (ijma) mujtahidin terhadapnya, maka ijma itulah yang wajib
> diakui dan dijalankan sedangkan kalau tidak ada nas, baik qath'i ataupun
> zhanni dan tidak ada kesepakatan mujtahidin atas hukum tersebut, maka
> berijtihadlah untuk memutuskan dan menetapkan hukum tersebut.
>
> Inilah yang menjadi dasar mengapa dalam Islam tidak dikenal dan
> diajarkan dalam membuat dan memutuskan hukum-hukum dilakukan melalui
> proses pengambilan suara terbanyak atau mayoritas dalam suatu
> permusyawarahan seperti yang berlaku dalam negara-negara yang menerapkan
> sistem Demokrasi Barat.
>
> Memang ada satu contoh klasik dimana Rasulullah pada tahun ke tiga
> hijrah, ketika kaum kaffir Mekkah akan menyerang Madinah, membuat
> musyawarah dengan para sahabatnya untuk mengambil keputusan dalam
> menghadapi serangan kaum kaffir Mekkah itu. Dimana dalam musyawarah itu
> sebagian berpendapat bahwa sebaiknya mempertahankan Yatsrib dan berperang
> dari dalam dan pendapat ini lebih disenangi Rasulullah, sedangkan sebagian
> besar atau mayoritas berpendapat untuk pergi keluar dan berperang di medan
> terbuka. Karena dengan adanya desakan dan keinginan mayoritas dari para
> sahabatnya, maka Rasulullah memutuskan untuk mengikuti keinginan mereka
> yang mayoritas itu (Ibnu Sa'd, Ath-Thabaqat al-Kubra, Beirut, 1960).
>
> Ternyata hasil dari perang ini yang disebut perang Uhud walaupun tidak
> disebut dengan suatu kekalahan total dari pihak kaum muslimin, karena
> dalam perang itu kaum muslimin masih mampu memukul kembali mundur kaum
> kaffir mekkah (walaupun beberapa pasukan kaum muslimin telah melanggar
> perintah Rasulullah untuk bertahan di tempat posisi pertahannya karena
> tergiur oleh nafsu untuk memiliki harta rampasan perang yang ditinggalkan
> kaum musuh kaffir Mekkah).
>
> Jadi menurut saya dari pelajaran yang dicontohkan Rasulullah dengan para
> sahabatnya dalam penentuan taktik strategi perang Uhud, keputusan dari
> para sahabat yang mayoritas dalam menentukan taktik strategi perang Uhud
> itu adalah ternyata salah dan bertentangan dengan pendapat Rasulullah
> sendiri.
>
> Jadi kesimpulannya adalah para akhli dalam bidangnya masing-masing yang
> berada dalam suatu majelis ulil amri dalam Daulah Islam Rasulullah dengan
> Undang Undang Madinahnya adalah bukan langsung membuat dan memutuskan
> serta menetapkan hukum menurut pikiran dan hawa nafsunya melalui
> pengambilan suara terbanyak, melainkan didasarkan pada Al Qur'an dan
> Hadist dan kalau tidak ada nas, tetapi telah ada kesepakan (ijma)
> mujtahidin terhadapnya, maka ijma itulah yang wajib diakui dan dijalankan
> sedangkan kalau tidak ada nas, baik qath'i ataupun zhanni dan tidak ada
> kesepakatan mujtahidin atas hukum tersebut, maka berijtihadlah untuk
> memutuskan dan menetapkan hukum tersebut.
>
> Itulah cara praktis dan pelaksanaannya dalam penjabaran Undang Undang
> Madinah dalam hal penentuan dan pengambilan hukum dalam Undang Undang
> Madinah Bab IV PERSATUAN SEGENAP WARGANEGARA pasal 23 apabila timbul
> perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah
> penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad SAW. Yang jauh
> berbeda seperti apa yang terdapat dalam Kanun Azasinya NII, Anggaran
> Dasarnya Masyumi dan Anggaran Dasarnya Partai Keadilan serta UUD'45-nya
> Daulah Pancasila. Dimana dalam Anggaran Dasar mereka semuanya diputuskan
> berdasarkan pada suara mayoritas atau minimal dua pertiga dari seluruh
> jumlah anggota.
>
> Inilah sedikit jawaban dari saya untuk saudara Doni Wisnu Bharata,
> Rafdian Rasyid, Dodi Supriadi, Endang, Hafizh dan Edwin Purwandesi .
>
> Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
> [EMAIL PROTECTED] agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu
> untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung
> tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di
> kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
>
> Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita
> memohon petunjuk, amin *.*
>
> Wassalam.
>
> Ahmad Sudirman
>
> http://www.dataphone.se/~ahmad
> [EMAIL PROTECTED]
> ----
>
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo =
======================================
To unsubscribe send a message to [EMAIL PROTECTED] with in the
message body the line:
unsubscribe demi-demokrasi