Menarik, tapi saya belum baca tekad Gereja untuk memisahkan
    urusan gereja darai urusan negara. 


Pdt Natan Setiabudi, PhDGereja Bukan Organisasi Sosial PolitikSUARA 
PEMBARUAN 
DAILY


Pdt Natan Setiabudi, PhD
Gereja Bukan Organisasi Sosial Politik

Ardiles Rante
NATAN SETIABUDI
Melalui Sidang Raya XIII Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 
di 
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Maret lalu, Pendeta Natan Setiabudi, 
PhD, 
terpilih sebagai Ketua Umum PGI 2000-2005.
Ia berobsesi mengembalikan PGI sebagai umat Kristiani dan institusi 
gerejawi 
yang diutus untuk mengesa, melayani, dan bersaksi di semua bidang 
kehidupan, 
termasuk bidang politik. Jadi, bukan menjadi organisasi massa atau 
organisasi 
politik yang bersumber pada agama. 
''Siapa pun yang menjadi presiden dan wakil presiden saat ini, tidak 
akan dapat 
dengan mudah mengatasi persoalan, atau lebih baik daripada 
Abdurrahman Wahid dan 
Megawati Soekarnoputri. Hal itu karena warisan sejarah dengan 
persoalan-persoalan yang menumpuk sangat rumit dan berat,'' kata 
Natan kepada 
Pembaruan.
Wawancara di bawah ini dirangkum dari beberapa kali kesempatan 
pertemuan, 
ditambah dengan wawancara tertulis.
Berikut petikannya.
Bagaimana perasaan Anda ketika diberi kepercayaan sebagai ketua umum 
PGI?
Perasaan saya bercampur antara berat, tak berdaya, tertantang, 
bergairah, pasrah 
berharap. Pertama, rasa berat karena beratnya tanggung jawab yang 
terkandung 
dalam jabatan itu. Teristimewa memikulnya dalam situasi bangsa yang 
sedang 
mengalami cobaan berat, dan memikulnya dengan kondisi PGI yang perlu 
penyegaran 
dan pembongkaran besar dengan resistensi dan inertia kultural yang 
rumit dan 
mengarat, sehingga menampilkan rasa tak berdaya. 
Kedua, rasa tertantang karena situasi dan kondisi tersebut sekaligus 
mengandung 
tantangan besar. Membiarkannya berarti menghindari panggilan dan 
tanggung jawab.
Ketiga, rasa bergairah, karena menurut pemahaman dan keyakinan saya, 
kepercayaan 
yang diberikan itu datang dari pelbagai pemercaya, dengan isi dan 
harapan yang 
beraneka pula. Jadi rame. Sebagian gereja anggota memberikan suaranya 
memilih 
saya dengan isi kepercayaan dan harapan-harapannya yang tidak persis 
sama. 
Gereja-gereja yang memberikan suaranya untuk calon lain, secara tak 
langsung 
juga mempunyai harapan kepada ketua terpilih. 
Keempat, rasa pasrah dan berharap, karena keyakinan bahwa di dalam 
semua hal di 
atas itu Tuhan turut bekerja, dan bahwa kebersamaan dan kerja sama 
dengan 
seluruh Aktivis Oikoumenis Gerejawi (AOG) dan umat Kristiani 
mengandung janji 
penyertaan Tuhan yang membuat mungkin hal yang mustahil.
Apa visi dan misi Anda ke depan?
Visi saya adalah versi saya tentang visi GKYE (Gereja Kristen Yang 
Esa), 
keputusan Sidang Raya XIII PGI di Palangkaraya, Maret 2000 lalu. Visi 
itu 
berasal dari visi bersama bapak-bapak dan ibu-ibu gereja pendiri DGI 
(Dewan 
Gereja-gereja di Indonesia) pada 25 Mei 1950, yang terumus dalam satu-
satunya 
tujuan PGI, pembentukan GKYE di Indonesia dengan rumusan ''membentuk 
GKYE di 
Indonesia'', yang kemudian rumusannya disempurnakan menjadi 
''mewujudkan GKYE di 
Indonesia'' di Ambon, 1984.
Pemahamannya, mengembalikan PGI sebagai umat Kristiani dan institusi 
gerejawi 
yang diutus untuk mengesa, melayani dan bersaksi di semua bidang 
kehidupan, 
termasuk bidang politik. Jadi bukan menjadi organisasi massa atau 
politik yang 
bersumber pada agama. 
''Politisasi'' PGI selama ini menurut pandangan saya telah membawa 
PGI pada 
suatu stagnasi, dilihat dari tujuannya, yakni keesaan gerejawi untuk 
menjadi 
berkat sepenuh potensinya bagi bangsa, negara dan masyarakat 
Indonesia. Dari 
tujuan ini terkandung pengertian bahwa gereja hanya gereja kalau 
mengesa dan 
bahwa gereja bukan perusahaan atau organisasi sosial politik.
Persoalan intern dan persoalan ekstern yang paling mendesak?
Intern, konsolidasi dan ''rekonsiliasi''. Untuk ekstern, kredibilitas 
PGI 
khususnya, dan umat Kristen pada umumnya.
Bagaimana pendapat Anda tentang ''kembali ke agama'' sebagai salah 
satu penopang 
untuk tetap bertahan dalam iman dalam menghadapi arus globalisasi?
Dalam rangka menghadapi arus globalisasi, ungkapan ''kembali ke 
agama'' kabur 
artinya. Kalau itu berarti melarikan diri dari globalisasi, 
bersembunyi, 
berlindung di balik agama, maka itu suatu upaya yang sia-sia dan 
bunuh diri, 
sama dengan membiarkan diri terbawa hanyut oleh arus tersebut. 
Di antara kedua ekstrem itu, sikap yang benar adalah menafsir kembali 
agama 
dalam interaksinya dengan konteks globalisasi untuk menemukan peran 
agama, 
sehingga globalisasi dapat dijadikan berkat bagi manusia dan 
kemanusiaan, dan 
tidak menjadi malapetaka. 
Misalnya, dua kekuatan yang ditampilkan oleh globalisasi ialah 
kecepatan dan 
konektivitas. Kecepatan perubahan begitu akseleratif dan penyesuaian 
diri 
gereja, terutama dalam ketradisionalan di semua aras dan bidang, 
seperti pola 
pikir, pola tindak, pola berorganisasi, membuat banyak gereja 
ketinggalan dalam 
segala hal, terutama PGI dan yang disebut mainline churches. Gereja-
gereja itu 
sangat tertinggal dan teredusir menjadi organisasi yang rutin, dan 
terseret 
dalam urusan yang terlampau berbau politis belaka. 
Politisasi PGI yang sudah berjalan lama makin tidak diimbangi dengan 
kesadaran 
sebagai gereja yang utuh. Kaum muda yang paling menjadi korban, 
karena mereka 
berada dalam tahap usia atau kehidupan yang paling dinamis, sehingga 
paling 
terkena dampak globalisasi, sementara gereja terlampau lamban 
menyerap perubahan 
dan menyesuaikan diri, baik secara struktural maupun kultural. 
Akibatnya kaum 
muda tidak mendapat tempat dan bimbingan yang memadai dan relevan 
dari gereja.
Degree of connectivity, derajat konektivitas, di samping kecepatan, 
adalah suatu 
ciri pokok paling penting dari globalisasi.
Globalisasi juga memperlebar jurang kaya miskin, dan kalau dibiarkan 
juga 
memperbesar ketidakadilan. Namun peran gereja ''tercuri'' oleh LSM-
LSM (lembaga 
swadaya masyarakat) karena kelambanan dan keterpecahan di atas. 
Dibandingkan 
cara kerja, sumber daya manusia, fasilitas LSM, gereja pada umumnya 
adalah 
amatiran. Gereja cuma menang dalam luasnya cakupan garapan, tapi itu 
hanya 
memperkuat kelemahan gereja, karena makin luas cakupan pelayanannya 
makin tidak 
efektif dan tidak terasa kinerjanya.
Keesaan dengan derajat konektivitas yang canggih meliputi semua, 
cepat, tepat, 
dan posisi sebagai bagian dari civil society, adalah kondisi bagi 
gereja untuk 
dapat berperan secara signifikan bagi mengatasi persoalan kemiskinan 
dan 
ketidakadilan dalam arus globalisasi dan dengan memanfaatkan 
globalisasi itu.
Bagaimana peranan PGI agar lebih diperhitungkan dalam percaturan 
pembangunan 
politik di Indonesia dan bagaimana agar perjuangannya berhasil?
Dengan jalan menjadi GKYE yang indispensable secara sosial dalam 
kemanusiaan, 
yakni mengatasi kekerasan, penegakan keadilan dan hak asasi manusia 
dan dalam 
demokratisasi, yakni menjadi civil society, jurnalisme profesional 
gerejawi, 
pusat kajian strategis, pusat bina kader ekumene, AOG seluruh 
Indonesia, dengan 
derajat konektivitas yang tinggi; diferensiasi fungsi dari jabatan 
gerejawi/PGI 
dan jabatan kenegaraan/partai agar dapat diintegrasikan secara benar 
demi 
kehadiran tubuh Kristus secara institusional dan keumatan yang 
sinergis.
Apa tantangan-tantangan PGI sebagai wadah yang mengkoordinasi gereja-
gereja 
lokal yang cenderung primordial, berkaitan dengan persatuan dan 
kesatuan?
Pertama, mewujudkan GKYE di Indonesia. Konsisten dengan pendirian DGI 
1950, 
dengan satu-satunya tujuan, yaitu pewujudan GKYE di Indonesia, bahwa 
gereja 
hanya gereja kalau esa dan mengesa.
Kedua, mengeliminasi pemberhalaan dasar gereja. Dinamika eksternal 
gereja 
dijadikan dinamika internal gereja; dengan tradisi, teologi, 
struktur, kultur, 
dan sebagainya dijadikan pengganti dasar yang satu-satunya yang benar 
dan mampu, 
yakni Tuhan Yesus Kristus.
Pendapat Anda tentang penyaluran aspirasi umat Kristen dalam politik?
Tidak mendirikan negara Kristen, seandainya secara politik hal itu 
dimungkinkan 
sekalipun.
Saat ini, percaya pada kebijakan rakyat, tersalur dalam Pemilu 1999 
dan para 
wakilnya, yang dalam Sidang Umum MPR 1999 memilih Gus Dur dan 
Megawati sebagai 
presiden dan wakil presiden. 
Sampai dengan Juli 2000, tetap yakin belum ada dan belum perlu diada-
adakan 
pengganti, dengan dasar pemikiran bahwa siapa pun yang menjadi 
presiden dan 
wapres tidak akan dapat dengan mudah mengatasi persoalan, atau lebih 
baik 
daripada Gus Dur dan Mega, karena warisan sejarah dengan persoalan-
persoalannya 
yang menumpuk dan sangat rumit dan berat. 
Kecenderungan mengarahkan kritik secara tidak proporsional terlalu 
hanya pada 
mereka berdua, mencerminkan adanya agenda politik tersembunyi atau 
ketidakmatangan dan ketidakproporsionalan sikap. Itu tercermin juga 
dalam hasil 
Forum Rembuk Nasional yang diselenggarakan di Denpasar itu, sejauh 
dilaporkan 
media massa. 
Tak ada yang baru kecuali memerintahkan pemerintah supaya memerintah. 
Nada 
menggurui itu terdengar juga di seminar yang diselenggarakan Iluni-UI 
(Ikatan 
Alumni Universitas Indonesia) akhir Juni 2000, ketika dari floor 
mahasiswa 
menagih tanggung jawab Gus Dur mengenai enam butir agenda reformasi 
yang 
dirumuskan mahasiswa. 
Cara dan nada penyampaiannya, oleh Gus Dur dinilai sebagai ''merasa 
seolah-olah 
yang paling tahu''. Mengkritik Gus Dur harus. Itu kewajiban warga 
negara yang 
bertanggung jawab dan fungsi civil society demi demokratisasi dan 
demokrasi. 
Dengan kritik yang proporsional, akan dapat dibangun sinergi dari 
seluruh 
kekuatan bangsa dan negara untuk menanggulangi persoalan dengan 
prioritas-prioritas yang strategis. Tanpa itu akan habis tenaga 
bangsa Indonesia 
hanya untuk ngomong saja secara tak proporsional, sementara kekuatan-
kekuatan 
jahat merajalela dan mematikan orang-orang di Maluku, Maluku Utara, 
dan 
lain-lain, dan membiarkan (atau menyulut, memanfaatkan) konflik-
konflik berdarah 
di tengah masyarakat, misalnya di Tegal dan di Jakarta.
Apakah rencana jangka pendek dan jangka panjang PGI?
Dalam konteks Indonesia sekarang dan lima tahun ke depan, menyangkut 
puluhan 
juta umat Kristiani, yang sehari-hari berkomunitas dalam 40-50-an 
ribu jemaat di 
seluruh Indonesia, hal itu dapat diterjemahkan dalam kerinduan-
kerinduan. 
Pertama, kerinduan bahwa mereka ter-networked, atau mulai ter-
networked, dalam 
suatu kesatuan tubuh yang memiliki derajat konektivitas yang tinggi, 
seperti 
tubuh manusia ciptaan Tuhan yang canggih tiada banding, yang tertulis 
dalam I 
Korintus 12. Sehingga, menjadi kekuatan moral dan sosial yang 
memadai, untuk 
bersama-sama umat beragama lain dan kelompok sosial lain, benar-benar 
dapat 
secara signifikan ikut mengatasi kekerasan dalam segala bentuknya, 
dampaknya, 
dan sumbernya, demi penegakan dan pembudayaan HAM bagi semua.
Kedua, menjadi bagian dari masyarakat warga atau masyarakat sipil 
Indonesia 
(civil society), yang dapat mengurus diri dan menyelesaikan persoalan 
secara 
damai dan beradab, memberi diri kepada bangsa dan bersuara nabi, demi 
proses 
demokratisasi, penegakan hukum dan keadilan serta pemakmuran 
masyarakat, bangsa, 
dan negara Indonesia. 
GKYE di Indonesia ini meliputi semua gereja, organisasi ekumenis, 
lembaga-lembaga, setiap orang yang mengaku nama Kristus tidak ada 
yang 
dieksklusifkan, dengan keyakinan bahwa dasarnya, yakni Tuhan Yesus 
Kristus, 
satu-satunya dasar yang mampu menampung segala macam perbedaan dan 
menjadikan 
masing-masing elemen kemajemukan dalam satu tubuh yang hidup.
Derajat konektivitas yang merangkai para aktivis ekumene gerejawi, 
sentra-sentra 
institusional, dan umat Kristiani dalam suatu keesaan yang majemuk, 
yang berdaya 
guna bagi penanggulangan dan pencegahan kekerasan, serta menopang 
proses 
demokratisasi bangsa dan negara seperti itu, dipelihara dan selalu 
dikoreksi 
melalui prinsip dan praktek akuntabilitas gerejawi. 
Di dalam gereja yang esa kita mempraktekkan transparansi dan saling 
bertanggung 
jawab sebagai sumbangsih dan dukungan bagi praktek akuntabilits 
publik dari 
seluruh pejabat dan institusi publik, sebagai kunci mekanisme 
penyelesaian 
persoalan secara beradab dan di dalam kasih.
Di dalam kaitan visi itu, misi dipahami sebagai istilah second order, 
artinya 
misi adalah fungsi dari visi, yaitu hakikat atau esensi dari setiap 
dan semua 
kegiatan untuk mewujudkan visi. Dalam pengertian itu, misi adalah 
semua upaya 
dan kegiatan yang memfasilitasi terjadinya perjumpaan antara orang 
(atau 
masyarakat atau lembaga atau dunia) yang dilayani dengan Tuhan. 
Dasarnya adalah 
keyakinan bahwa kekerasan hanya dapat diatasi dampak dan 
pencegahannya kalau 
terjadi perjumpaan antara korban atau pelaku dengan Tuhan. Tentu 
rumusan hakiki 
misi itu perlu diterjemahkan dalam konteks masing-masing.
Kalau keempat agenda visi itu terwujud, berarti, pertama, teratasinya 
kekerasan 
secara signifikan sehingga HAM dihormati dan semua manusia 
diperlakukan sebagai 
manusia, kedua, keikutsertaan gereja sebagai bagian dari civil 
society Indonesia 
yang tercipta demi bangsa dan negara yang demokratis dan sejahtera, 
ketiga, 
terciptanya derajat konektivitas antara puluhan juta umat Kristiani 
yang 
berkomunitas dalam 40-50an ribu jemaat di seluruh Indonesia dalam 
network of 
networks, yang sangat majemuk dan kaya dan efektif berdaya guna, dan 
keempat, 
berlakunya akuntabilitas di antara semua komponen umat Kristiani 
dalam suatu 
bentuk GKYE yang memadai. Dengan demikian setiap penyimpangan 
terkoreksi pada 
saatnya, tercapai, semua itu adalah buah hasil dari terjadinya 
perjumpaan antara 
manusia dan Tuhan dalam seluruh konteks dan aras kehidupan individu, 
kelompok, 
keluarga, masyarakat, dan institusi gerejawi dan sosial. 
Misinya adalah membuahkan hasil tersebut, dan itu pada hakikatnya 
adalah 
bagaimana kita memperjumpakan semua yang terlibat dalam keempat 
agenda itu 
berjumpa dengan Tuhan dalam konteksnya masing-masing. u
- PEWAWANCARA: CYPRIANUS AOER


Last modified: 8/13/00 

Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
=====================================

* Ijtihad untuk mencerdaskan ajaran Islam yang sekarang ini penuh ketololan, 
kedunguan, kegoblokan dan kebodohan

* Ijtihad untuk memanusiawikan ajaran Islam yang sekarang ini biadab, keji dan nista


Kirim email ke