Dear Teman Sejawat,
Mungkin tulisan Ts kita ini (harian Kompas) bisa menjadi penggugah untuk ikut 
membenahi pelayanan kesehtan di tanah air..
wslm
Taruna


Malu Aku Jadi Dokter Indonesia

Sabtu, 25 April 2009 | 03:26 WIB

Lewat tulisan rumah (yang) sakit (Kompas, 14/3/09) Radhar Panca Dahana mengeluh 
buruknya layanan medik kita. Tulisan itu mewakili nasib banyak pasien. Yang 
diungkapnya fakta keresahan tak sedikit pasien kita. Betul harus diakui banyak 
pasien kita terpojok sebagai pihak yang dirugikan. Handrawan Nadesul
Resep dokter ditulis tak rasional, lebih banyak pasien berobat kalau punya uang 
saja, komersialisasi layanan medik, layanan medik dirasakan tak manusiawi. 
Itulah potret layanan medik yang dibaca dengan kacamata bukan orang medik. Saya 
ingin mengulasnya dari kacamata pekerja medik.
Membangun di hulu
Untuk menguak mengapa layanan medik kita meresahkan masyarakat, tugas dan 
kewajiban pekerja medik kita perlu dikenali masyarakat.
Lebih banyak rakyat Indonesia baru berobat kalau punya uang. Dua pertiga dari 
mereka tidak sekolah tinggi dan lemah kemampuan hidup sehatnya. Karena itu, 
arah pembangunan kesehatan kita jelas garisnya pencegahan.
Dengan konsep pencegahan (primary health care) kesehatan di hulu kita bangun. 
Pilihan itu dinilai lebih efisien. Lihat saja Banglades. Bukan sebab anggaran 
kesehatan dinaikkan maka Banglades lebih sehat dari kita, melainkan karena 
Banglades teguh melakukan layanan pencegahan.
Membangun di hulu ongkosnya jauh lebih murah. Karena jika hulu tidak dibangun, 
di hilir jumlah orang sakit terus meningkat. Karena angka penyakit meningkat, 
anggaran habis buat belanja obat. Belanja obat lebih mahal ketimbang ongkos 
bikin rakyat tidak sakit sejak di hulu.
Puskesmas menjadi tulang punggung pembangunan kesehatan di hulu. Namun, 
puskesmas bukan rumah sakit sehingga hanya mampu melayani satu dari lebih 12 
program. Di sana, masyarakat kita yang masih belum melek sehat dilatih menjadi 
pintar agar tidak sakit. Namun tidak semua puskesmas mampu melakukan 
pembangunan di hulu. Akibatnya, rumah sakit masih seperti pasar malam. Yang 
dilayani melebihi kapasitas yang melayani. Maka, layanan medik cenderung tak 
profesional.
Konsekuensi sistem
Dari dulu sukar mengatur distribusi tenaga dokter. Semua dokter muda kepingin 
praktik di kota besar supaya lekas maju. Kalaupun mau di puskesmas, apalagi di 
daerah terpencil, mereka minta imbalan gaji atau janji spesialisasi. Hal itu 
normal, bukan saja sekolah dokter memakan waktu lama dan ongkosnya tidak kecil, 
tetapi juga pencitraan: bukan dokter kalau tak punya rumah dan mobil pribadi.
Citra kumuh dokter mengurangi kepercayaan pasien. Profesi dokter butuh faktor 
trust. Di mata pasien, lulus cum laude saja tak cukup, kalau dokter pergi 
praktik naik ojek.
Berbeda dengan dokter di negara dengan sistem layanan medik, citra profesi 
cukup dibangun dengan berpraktik di satu rumah sakit. Perhatian dan konsentrasi 
kerja dokter tak perlu pecah terbagi mencari tambahan di tempat lain.
Lebih berat
Bobot kerja profesi dokter kita jauh lebih berat daripada dokter negara maju. 
Pasien puskesmas bisa ratusan. Bagaimana bisa teliti memeriksa. Akibatnya, 
kesehatan gagal dibangun di hulu sehingga orang sakit terus meningkat.
Tugas dokter puskesmas bukan hanya memeriksa pasien. Dua pertiga jam kerjanya 
harus di lapangan untuk menyuluh, rapat dengan pamong, dan meninjau masyarakat.
Bobot kerja dokter rumah sakit juga melebihi ketika bekerja profesional. Tak 
heran kalau ada profesor kita yang salah membaca hasil rontgen. Tentu bukan 
karena kebodohan. Kasus malapraktik acap terjadi akibat bobot kerja dan kondisi 
profesi seperti dipikul rata-rata dokter kita.
Kekuasaan dokter
Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta 
dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat pasien 
tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari untung dari 
ketidaktahuan pasien.
Sekolah dokter mengajarkan agar menulis resep rasional. Kalau ada obat lebih 
murah dengan efek sama mengapa menulis yang lebih mahal. Kalau tak perlu 
dirawat atau wajib operasi, mengapa memilih memberatkan pasien. Sumpah dokter 
melarang memperlakukan pasien seperti nomor. Dokter wajib menjawab pertanyaan 
pasien, menjelaskan sebelumnya mengenai operasi yang akan dilakukan.
Industri medik juga meningkatkan overutilisasi alat pemeriksaan (karena 
memeriksa apa saja yang sebetulnya tidak diperlukan) menjadikan rakyat yang 
sungguh memerlukan akhirnya tak mendapatkannya sehingga mereka merasa 
diperlakukan diskriminatif. Di beberapa negara ada regulasi pembatasan jumlah 
pasien sehari. Kita tidak.
Sekarang terjawab mengapa kalau lebih sering muncul kasus malapraktik, kalau 
pasien lebih sering bertemu dokter yang tak ramah (misconduct). Sebagian muncul 
sebagai konsekuensi sistem kesehatan yang kita pilih, tingginya otonomi dokter, 
dan moral profesi yang goyah. Ditambah dengan struktur penggajian tenaga dokter 
dan kebijakan praktik dokter membuat masyarakat masih berpikir untuk berobat ke 
Ponari. Ketika rakyat masih memerlukan layanan kesehatan primer, industri medik 
malah terus menekan.
Sebagai dokter, tak patut bila karena potret buruk, cermin dibelah. Namun, 
karena profesi dokter masih dipagari oleh etika profesi, posisi saya serba 
salah. Otokritiknya, perlu solusi membangun ”praktik bersama” agar berlangsung 
proses tilik-sejawat (peer review) sehingga kekuasaan dokter tidak tanpa batas.
Untuk itu sistem kesehatan saatnya menggratiskan setiap warga negara. Kita 
mampu melakukannya. Pendidikan etika medik menjadi modul tersendiri bagi setiap 
calon dokter sehingga pembangunan kesehatan di hulu dapat berhasil.
Bila rakyat makin pintar sehat, makin kritis, dan skeptik, makin berkuranglah 
kekuasaan dokter. Dokter tak berani berpraktik seenaknya lagi. Kekuasaan dokter 
perlu dibagi untuk hak pasien. Hukum kedokteran saatnya ditegakkan. Walau tidak 
setiap kasus yang merugikan pasien adalah salah pihak medik, dan masih banyak 
dokter yang baik, tetapi jika perubahan di atas tak terjadi, malu aku jadi 
dokter Indonesia.
HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/25/0326331/malu.aku.jadi.dokter.indonesia



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke